Jumat, April 19, 2024

Gus Dur, Pak Harto, dan Gelar Pahlawan Nasional

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.

gusdur-soehartoAkhir-akhir ini terbersit wacana dari beberapa kelompok untuk mengangkat mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan mantan Presiden Soeharto (Pak Harto) sebagai pahlawan nasional. Setya Novanto, Ketua Umum Golkar yang baru terpilih, langsung menyuarakan keinginannya untuk mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional beberapa saat setelah resmi terpilih sebagai ketua Golkar. Sementara itu, pengusulan Gus Dur sudah lama disuarakan oleh Nahdlatul Ulama (NU).

Menurut analis politik UIN Syarif Hidayatullah Ray Rangkuti, Gus Dur sangat pantas menjadi pahlawan nasional karena Gus Dur memperjuangkan pluralisme di negeri ini. Namun pendapat berbeda juga ada. Wakil Ketua DPR Fadli Zon berpendapat bahwa lebih pantas Pak Harto yang menjadi pahlawan nasional dibandingkan Gus Dur. Alasan Fadli Zon, Pak Harto terlibat secara langsung pada revolusi fisik tahun 1945-1949, sedangkan Gus Dur tidak demikian.

Pendapat menarik muncul dari Wakil Ketua Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan Jimly Asshiddiqie,yang menyatakan bahwa usulan nama Gus Dur dan Pak Harto sudah masuk ke tim mereka, namun belum diputuskan. Alasannya, masih banyak kontroversi terkait ketokohan mereka. Meski demikian, Jimly Asshiddiqie sangat yakin bahwa pada akhirnya Gus Dur dan Pak Harto akan diangkat sebagai pahlawan nasional, walau belum dalam waktu dekat karena pemerintah maupun bangsa ini masih punya prioritas lain.

Mekanisme legal formal pengusulan pahlawan nasional sebenarnya tidak sesederhana itu. Situs Kementerian Sosial bahkan sudah memberikan informasi standard operational procedure (SOP) lengkap terkait hal tersebut, beserta diagram atau ilustrasi untuk memperjelas SOP itu. Jika diagram SOP tersebut dikaji, birokrasi pengusulannya sangat berjenjang dari tingkat masyarakat sampai ke pemerintah pusat.

Salah satu “instrumen pengunci” bagi gelar kepahlawanan adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pada Pasal 25 dan Pasal 26, untuk memperoleh gelar, persyaratan menjadi pahlawan nasional harus “berkelakuan baik” dan “memiliki integritas moral”.

Menurut SOP, salah satu insentif atau bantuan yang disediakan Kementerian Sosial adalah tunjangan finansial bagi keluarga pahlawan nasional, yang merupakan penghargaan dari negara dalam menjamin penghidupan mereka. Mengikuti alur SOP tersebut secara terperinci dan rigid, pengusulan nama Gus Dur dan Pak Harto sebagai pahlawan nasional akan berlangsung tidak sebentar.

Verifikasi dan triangulasi (gabungan) data harus dilakukan secara komprehensif, hingga di kemudian hari tidak ada keluhan yang masuk ke pemerintah. Instrumen pengunci dari UU No. 20 Tahun 2009 mengenai integritas moral harus diperhatikan dengan benar dan cermat.

Di masa lalu, penganugerahan pahlawan nasional dapat memiliki nuansa yang sangat politis. Baik Orde Lama maupun Orde Baru menggunakan indikator yang terlalu subyektif untuk penganugerahan gelar pahlawan. Di era Orde Lama, hal ini terjadi pada kasus penganugerahan pahlawan nasional kepada Tan Malaka.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, Tan Malaka dikenal sebagai figur yang sangat kritis kepada pemerintahan Soekarno-Hatta yang dianggap terlalu lunak dalam berdiplomasi dengan Belanda, dan mendirikan Partai Murba sebagai kendaraan politiknya. Namun, sekian belas tahun kemudian, konstelasi politik berubah. Sewaktu Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli dan “menegakkan” demokrasi terpimpin, Partai Murba mendukung penuh kebijakan sang proklamator.

Sebagai “hadiah” dukungan tersebut, Tan Malaka diangkat sebagai pahlawan nasional. Walau ada banyak kontroversi terkait Tan Malaka, sampai sekarang gelar tersebut masih Tan sandang. Di zaman Orde Baru, hal serupa juga terjadi. Pemerintah Orde Baru memberi gelar Soekarno-Hatta sebagai “Pahlawan Proklamator Dwi-Tunggal”, bukan pahlawan nasional secara tersendiri. Hal tersebut dilakukan pihak Orde Baru karena ingin menjaga jarak dengan pemerintahan sebelumnya.

Kasus subyektivitas dari rezim yang berkuasa ini yang harus diawasi dengan teliti oleh masyarakat. Sebab, penganugerahan gelar pahlawan seharusnya murni tanpa kepentingan golongan atau politik, melainkan karena yang bersangkutan memang berjasa bagi bangsa dan negara.

Tidak jauh berbeda dengan Tan Malaka dan Soekarno-Hatta, baik Gus Dur dan Pak Harto merupakan figur yang menuai kontroversi. Gus Dur adalah aktivis sosial yang memperjuangkan hak asasi manusia, demokrasi, dan perlindungan terhadap kelompok minoritas. Namun, aktivisme Gus Dur tersebut membuat sejumlah kelompok merasa tidak nyaman.

Sebagian kelompok Islam, misalnya, menganggap Gus Dur terlalu berkompromi dengan kelompok minoritas dan Barat. Pengusulan pahlawan nasional terhadap Gus Dur juga belum tentu membuat kelompok Islam di luar NU menerimanya, karena mereka juga punya pertimbangan sendiri.

Sementara itu, Pak Harto sendiri adalah figur yang sebenarnya sangat berjasa dalam pembangunan ekonomi negara ini. Pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, bendungan, puskesmas, posyandu, SD Inpres, swasembada pangan, Keluarga Berencana, dan sebagainya, merupakan program Presiden Soeharto yang terbukti berhasil dan mendapat pengakuan dunia. Hanya saja di balik sejumlah program sukses tersebut, ada hal lain yang patut dipertimbangkan.

Pemerintahan Presiden Soeharto tak lepas dari dugaan pelanggaran HAM berat, seperti yang terjadi pada tahun 1965-1967, tragedi Tanjung Priok, Jemaah Warsidi, Santa Cruz, dan penculikan terhadap para aktivis sebelum reformasi, tragedi 27 Juli 1996, dan lainnya. Pemerintah saat itu diduga terlibat atau mengetahui kejadiannya.

Jika mempertimbangkan eligibilitas kedua tokoh ini secara obyektif dengan instrumen pengunci UU No. 20 Tahun 2009, kemungkinan akan terjadi perdebatan sangat panjang dari berbagai organ yang terlibat di SOP tersebut, sebelum kata sepakat tercapai. Sangat mungkin juga jika akhirnya terjadi deadlock. Hal tersebut tersirat dari perkataan Jimly Asshiddiqie yang menyatakan, hingga saat ini timnya belum memutuskan apa pun terkait status pahlawan nasional untuk Gus Dur dan Pak Harto.

Oleh karena itu, karena Indonesia adalah negara demokrasi, agar dalam setiap pengusulan pahlawan nasional, partisipasi publik dapat dijaring seluas dan selebar mungkin sangat diharapkan. Partisipasi publik secara luas amat diperlukan, paling tidak untuk meminimalkan bias subyektivitas kepentingan politik yang dapat saja membayangi proses tersebut. Publik harus mengawasi proses tersebut dari bottom to top, sehingga pada akhirnya semua pihak legowo dengan proses pengusulan dua nama itu.

Tidak ada orang yang sempurna. Demikian juga seorang pahlawan nasional. Singkatnya, bangsa ini harus memutuskan mengangkat para pahlawan nasional yang jasanya terbukti lebih besar dibanding segala kekurangannya.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.