Kamis, Maret 28, 2024

Guru Spiritual dan Candu Popularitas

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
gatot-brajamusti
Gatot Brajamusti

Dalam buku Ragawidya: Religiusitas Hal-hal Sehari-hari, YB. Mangunwijaya menempatkan religiusitas sebagai salah satu dimensi—selain religi dan religius—yang paling pokok dalam kehidupan kita. Sebab, religiusitas berkaitan erat dengan aspek esoteris yang menjunjung tinggi dimensi spiritualitas.

Merujuk pada pandangan Amith Wigglesworth, ada dua komponen dalam spiritualitas. Pertama, komponen vertikal yang berhubungan dengan sesuatu yang suci dan kekuatannya merujuk langsung pada Dzat yang immanen. Kedua, komponen horisontal: kesediaan secara tulus untuk melayani antar-sesama manusia dan makhluk lain.

Untuk mencapai titik spiritualitas yang sublimatik membutuhkan proses pencarian tiada henti agar bisa menemukan dan memperoleh sesuatu yang bermakna (a search of the sacred) dalam berkehidupan. Dan untuk melakukan pencarian itu tentu setiap orang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisikal maun non-fisikal seorang diri. Akan tetapi seringkali melibatkan pihak lain yang dapat dipercaya sebagai guru spiritual (mursyid).

Dalam kaitan ini, untuk mendapuk seseorang yang patut dijadikan sebagai mursyid tentu harus memiliki kapasitas dan kapabilitas yang bisa mengarahkan pada ruang transendentalnya. Sebab, spiritualitas berhubungan erat dengan ruhaniyah yang pertanggungjawabannya kepada tuhan dan perbuatannya bisa bermanfaat bagi manusia.

Lalu, ketika ada seseorang yang mengaku dirinya sebagai guru spiritual namun tidak memberikan keteladanan vertikal dan horisontal yang baik, akankah dia masih dapat dipercaya sebagai mursyid? Apalagi perilakunya menyimpang dari unsur keruhanian yang justru mengoyak sendi-sendi spiritualitas itu sendiri.

Spiritual sebagai Modus
Terkuaknya kasus keterlibatan A’a Gatot Brajamusti dalam narkoba menambah rentetan panjang beberapa orang yang selama ini dipercaya sebagai guru spiritual oleh kebanyakan pelaku dunia hiburan yang sarat cacat moral. Melalui aneka macam modus pertobatan, ketenangan batin, hingga popularitas, beberapa guru spiritual mampu mempengaruhi banyak orang hingga merasa at home dengan mekanisme indoktrinasinya.

Melalui pendekatan klerikal hinggal klenikal, seorang guru spiritual tersebut memainkan peran religiusnya melalui penampilan diri yang terkesan saleh. Di hadapan para pelaku dunia hiburan maupun kelompok sosialita kaum urban, ia mampu mengeksplorasi term/istilah kebatinan dalam bahasa yang penuh sentuhan kalbu. Tak ayal, tak sedikit orang yang mudah terkesima dan percaya dengan kecakapan verbalnya dalam menjelaskan “makna spiritualitas”.

Seolah-olah spiritualitas hanya dijadikan modus operandi untuk mencapai pada titik lain yang lekat dengan popularitas. Dengan harapan, ketika seorang guru spiritual telah mampu mendulang popularitas yang tinggi, maka dapat berdampak pada naiknya status sosial yang harus diganjar dengan bayaran mahal. Tak heran, banyak orang yang mengaku guru spiritual justru dirinya dilingkupi oleh gelimang pendapatan yang tak berkira.

Bahkan, penampilannya diingar-bingari oleh sengkarut hiburan yang memanjakan dirinya dengan berbagai kenikmatan ragawi. Jelas ini gegar dikarenakan spiritualitas justru digunakan sebagai modus personifikasi yang seolah-olah dirinya adalah cerminan kemuliaan yang bisa melempangkan pertemuan batin dengan ketuhanan.

Spiritualitas sejatinya berhubungan erat dengan dimensi kesunyian, proses berkehidupannya berada dalam dimensi ketulusan untuk melayani banyak orang yang haus akan keruhanian.

Apa yang dilakukan oleh Gatot yang ujungnya cenderung memprofanisasi dimensi spiritualitas dengan popularitas dan materialitas banyak terjadi pula dengan orang lain, terutama di perkotaan.

Banyak pihak yang membingkai spiritualitas pada performa yang beragam, namun ujungnya pun tak lebih sebagai modus untuk melipatgandakan harga dirinya di hadapan massa. Bahkan, tolok ukur yang digunakan sebagai indikator spiritualitasnya adalah pada kuantitas penghampiran dirinya di berbagai forum untuk membingkai renungan spiritual dalam bahasa motivasi yang cenderung entertainable.

Implikasinya, spiritualitas selalu terjebak dengan simbolisasi dan ritus sosial yang dimanfaatkan sebagai cara menaikkan popularitasnya. Dan religiusitas yang sejatinya menjadi bagian inheren dengan spiritualitas (alpha omega) lamat-lamat menjadi gegar hingga menegaskan dimensi keruhanian dalam realitas keberagamaan banyak orang.

Candu Popularitas
Akhirnya, tersebab oleh popularitas yang digunakan sebagai tinggi rendahnya posisi diri yang mengaku sebagai guru spiritual, banyak guru spiritual yang mengiklankan dirinya sebagai pemandu jalan kebatinan bagi setiap orang yang membutuhkan ketenangan. Popularitas telah menjadi candu yang terlalu nikmat dan sayang untuk ditinggalkan.

Lalu para guru spiritual yang kecanduan popularitas mencangkokkan dirinya dengan pelaku hiburan yang selama ini sudah familiar dengan iklim tayangan, baik di media cetak maupun elektronik. Bahkan, sebagaimana yang dialami Gatot, mereka tak segan pula untuk mengakuisisi dirinya sebagai bagian dari pelaku hiburan (entertainment) sehingga posisi dirinya yang dianggap sebagai guru spiritual telah berjarak nol kilometer dengan popularitas.

Implikasinya, spiritualitas yang mengajarkan tentang keruhanian dan salah satu mekanisme teologisnya adalah melalui jalan-jalan kesunyian semakin keluar dari jangkar rasionaliasinya sebagai ruang transendentalisasi kedirian secara vertikal maupun horisontal.

Transedentalisasi kedirian yang seharusnya berkaitan dengan usaha individu untuk memahami sebuah makna yang luas akan pemaknaan pribadi dalam konteks eskatologis (Piedmon:2001) semakin kehilangan jejak keadabannya. Sebab, dalam koridor candu popularitas, spiritualias tersekap dalam egoisme untuk menumpuk berbagai kenikmatan yang hanya memuaskan unsur ragawinya.

Tak usah kaget bila banyak guru spiritual, salah satunya Gatot, yang tak malu menggunakan berbagai unsur adiksi keduniaan dan bahkan kemaksiatan sebagai jalan lain untuk memperoleh popularitas. Dengan cara ini, posisinya dapat dikenal sebagai guru spiritual yang pantas memperoleh pengakuan dari banyak orang.

Bila dimensi spiritualitas banyak dilingkupi oleh candu popularitas, lamat-lamat spiritualitas akan mengalami disorientasi yang tak lagi menopang ruang gerak kehidupan yang bisa memungkinkan untuk mengenali tuhannya dan memahami dirinya dengan baik. Justru yang terjadi adalah mempersonifikasi dirinya sebagai tuhan yang dimaterialisasi sebagai instrumen untuk memperoleh kemewahan yang serba absurd.

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.