Pada akhir November 2016 Detasemen Khusus Anti-Teror Polri berhasil mengungkap jaringan teroris di Majalengka, Jawa Barat, yang merencanakan teror bom untuk momentum Desember. Yang mengejutkan dari terungkapnya kasus ini adalah komposisi bom yang berhasil disita diketahui memiliki daya ledak tinggi, konon lebih dahsyat dari bom Bali.
Keberhasilan aparat membongkar plot teroris Majalengka sungguh mengesankan. Terlebih diikuti dengan penggerebekan sel-sel teroris sepanjang Desember, sebut saja teroris “bom panci” (10/12) yang disiapkan untuk menyerang Istana Negara dan teroris di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (25/12).
Kita bersyukur rencana jahat di penghujung tahun 2016 berhasil dicegah, setelah pada awal tahun negeri ini dihajar teror bom di ibukota.
Pada 14 Januari 2016, aksi bom bunuh diri dan dilanjutkan serangan senjata api meneror Jakarta di Jalan MH Tamrin. Dalam kejadian itu, 7 orang tewas 5 di antaranya adalah pelaku dan 2 adalah warga sipil, salah satunya WNA Kanada. ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan ini.
Ini teror pertama kali yang dilancarkan ISIS di Indonesia. Wajar ketika itu publik terperanjat mengapa Indonesia menjadi sasaran teror kelompok ISIS, mengingat militan ini orbitnya di Timur Tengah.
Motif aksi teror Jakarta ketika itu adalah upaya pengikut ISIS yang ingin menyeret Indonesia lebih jauh dalam perang melawan ISIS secara global.
Pada Februari 2016, atau satu bulan setelah teror di Jakarta, publik dikejutkan media Australia ABC News yang menayangkan liputan investigasi tentang adanya kegiatan perekrutan ISIS di sebuah masjid Jakarta. Video “perekrutan” itu juga beredar di internet, dengan durasi hampir 3 jam yang diunggah di internet pada 19 Februari 2016.
Dalam rekaman kegiatan tersebut, seorang mensosialisasikan ideologi kekhalifahan ISIS pada orang-orang yang hadir, dan iming-iming kehidupan islami di bawah kekuasaan ISIS.
Beredarnya aktivitas video pengikut ISIS tersebut telah menguak gerakan perekrutan ISIS selalu dibungkus dengan kegiatan keagamaan, dan mereka selenggarakan di masjid, sehingga sejumlah pihak tidak banyak menaruh kecurigaan.
Lalu, pada 16 Mei 2016, sebuah video propaganda ISIS berbahasa Indonesia beredar di internet yang menampilkan anak-anak militan asal Indonesia yang berada di Suriah. Mereka unjuk kebolehan kematangannya menghayati doktrin ISIS hingga kemahirannya mengoperasikan senjata api.
Dari video tersebut, ISIS mencoba menginspirasi pengikutnya di Indonesia untuk mengenalkan doktrin kekerasan ISIS sejak dini terhadap anak-anak di bawah umur. Ini sungguh mengerikan. Kita tidak bisa membayangkan jika “kurikulum teror” ini berhasil niscaya akan menjadi problem serius di kemudian hari saat anak-anak tersebut sudah dewasa.
Pada Juli 2016 terjadi aksi bom bunuh diri terjadi di Markas Kepolisian Resor Surakarta. Pelaku diketahui bernama Nur Rohman seseorang buronan dari jaringan Arif Hidayatulloh alias Abu Mush’ab yang sudah lebih dulu berhasil ditangkap pada akhir tahun 2015. Mush’ab diketahui aktif berkomunikasi dengan Bahrun Naim yang saat ini bergabung ISIS di Suriah.
Bom bunuh diri ini hanya menewaskan pelaku dan melukai seorang polisi. Peristiwa ini terjadi di bulan suci Ramadhan, di mana pada saat itu serangan teror bom ISIS juga terjadi di beberapa negara seperti di Turki dan Arab Saudi. Besar dugaan aksi ini terinspirasi atas seruan juru bicara ISIS Abu Muhammad Al-Adnani yang ketika itu menyerukan pada pengikut ISIS di seluruh dunia untuk meningkatkan serangan di bulan Ramadhan.
Masih di bulan yang sama, pada Selasa 18 Juli 2016, pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso aka Abu Wardah tewas tertembak dalam kontak senjata dengan tim Satgas Operasi Tinombala di daerah Tambrana, Poso, Sulawesi Tengah.
Bersamaan dengan tewasnya Santoso, geliat kelompok bersenjata yang bergerilya di hutan Poso ini semakin menurun.
Kelompok ini sejak tahun 2014 tak hanya berbaiat kepada ISIS, tapi juga mencoba menduplikasi gaya militan ISIS, seperti merekrut jihadis asing, melibatkan kaum perempuan dalam gerakan bersenjata dan memadukan strategi pemberontakan dan terorisme.
Satu bulan kemudian (28 Agustus 2016) terjadi percobaan bom bunuh diri dan penikaman terhadap seorang Pastor saat misa di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep di Medan. Pelaku serangan bernama Ivan yang masih berusia 17 tahun. Meskipun bom gagal meledak, pelaku sempat melukai Pastor sebelum akhirnya berhasil diringkus oleh jemaat.
Di ransel yang dibawa Ivan berisi bom rakitan bertuliskan “I Love Al-Baghdadi”, merujuk pada sosok Abu Bakar Al Baghdadi pemimpin sentral ISIS. Dari ponsel pelaku terdapat jejak digital bahwa yang bersangkutan kerap menonton video propaganda ISIS. Hasil penyelidikan akhir, pelaku teror adalah “solo karir”, tidak terkait dengan kelompok atau komunitas ektremis yang selama ini diburu aparat keamanan. Pelaku belajar merakit bom dari internet.
Peristiwa teror Medan ini telah membuka mata publik tentang isu bahaya self radicalization, seseorang yang menjadi radikal secara mandiri. Pada tahapan berikutnya orang tersebut berani melakukan aksi teror secara mandiri (leaderless).
Pada 20 Oktober 2016 teror kembali terjadi, kali ini di kota Tangerang. Teror kali ini lebih menantang dan bernyali karena menyerang target aparat kepolisian bermodal senjata tajam. Pelaku akhirnya tewas ditembak setelah berhasil melukai tiga polisi.
Berdasar pelacakan, pelaku bernama Sultan (22 tahun), yang diketahui pernah mengunjungi Nusakambangan menjenguk Oman Abdurrahman, terpidana terorisme ISIS di Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, Sultan terdeteksi telah melakukan ikrar setia (bay’at) pada ISIS.
Polisi menyebut Sultan terinfeksi paham ekstremisme ISIS sejak ia bergabung dengan Jamaah Ansharu Daulah.
Ansharu Daulah secara harfiah artinya “Pendukung Negara”, lazim di kalangan para simpatisan menyebut ISIS dengan “Daulah”. Singkatnya, simpatisan ISIS mengimani bahwa organisasinya tersebut sebagai sebuah negara, tepatnya Negara Islam (Daulah Islamiyah), dan mereka para simpatisan ini menyebut dirinya sendiri sebagai Anshar.
Teror yang dilakukan para “Ansharu Daulah” ini kembali lagi terjadi sebulan kemudian. 13 November 2016, teror bom menyasar Gereja Oikumene di Samarinda, Kalimantan Timur.
Bom meledak beberapa saat setelah jemaat melaksanakan ibadah Minggu. Tragedi ini sangat memilukan, 4 korban dari serangan pecundang ini semuanya adalah anak-anak, 1 di antaranya meninggal dunia saat mendapat perawatan di rumah sakit.
Faktanya adalah parade teror sepanjang tahun 2016 didominasi ektremis terkait ISIS. Mereka beraksi dengan berbagai varian teror, perpaduan bom bunuh diri dan senjata api seperti di Thamrin, bom bunuh diri seperti di Surakarta, perpaduan bom bunuh diri dan penikaman seperti di Medan, aksi penikaman seperti di Tangerang, atau bom molotov di Samarinda.
Sementara itu, temuan bom Majalengka dan “bom panci” menarik untuk dicermati. Ada gejala bahwa gerakan teror Indonesia kembali ke versi awal; mereka mempersiapkan operasi teror besar pada momentum yang tepat dan dengan target objek penting, seperti teror bom era 2000-an, dengan daya ledak tinggi.
Pendeknya, aksi terorisme yang terjadi di tahun mendatang masih terkait ISIS, apa pun jenis terornya dan nama kelompoknya.