Dalam buku Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069 (1991), William Strauss dan Neil Howe merumuskan sebuah teori yang mengemukakan bahwa generasi Y merupakan generasi yang istimewa. Mereka lahir di antara tahun 1980-an hingga 1990-an.
Dalam analisa lebih jauh, polarisasi tiap generasi di pengujung abad ke-20 dan permulaan abad ke-21, Strauss dan Howe setidaknya membagi dalam beberapa kategori. Pertama, generasi Baby Boomers. Diperkirakan lahir pada era 1940an–1960an. Berdasarkan konteks perkembangan sains dan lingkungan generasi ini, mereka begitu mengutamakan proses daripada hasil.
Kedua, generasi X yang muncul pada dekade 1960-an dan 1970-an. Pada generasi ini pendidikan telah menjadi prioritas dan mulai bersentuhan dengan komputer dan kecanggihan teknologi.
Ketiga, generasi Y (1980-1990). Generasi ini lahir di tengah perkembangan teknologi sedang pesat melaju. Penguasaan sains juga turut mempengaruhi tingkat kepercayaan diri mereka, sehingga nalar kreatif dan ambisius mengiringi tiap aktivitas yang mereka lakukan.
Jika kita sejenak ingin menganalisa karakteristik generasi Y di setiap daerah Indonesia, tentu akan berbeda dan bergantung di mana ia dibesarkan. Berikut juga strata ekonomi dan sosial keluarga dan lingkungannya. Namun secara keseluruhan, kita dapat melihat bahwa generasi Y memiliki pola komunikasi sangat terbuka dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Mengapa Mereka Berbeda?
Generasi Y, khususnya di tanah air, hari ini diperkirakan berusia 20-an-30-an tahun. Mereka adalah pemakai media sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi. Dalam setiap aktivitas sosial mereka di hampir seluruh provinsi, mereka sangat terbuka dan responsif dengan perkembangan politik dan ekonomi daerahnya. Hal ini tentu berakibat pada sikap meraka yang juga sangat aktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya. Mampu menghadapi beragam rintangan dan melihat peluang yang dapat diraih.
Isu kesejahteraan merupakan dasar dari beragam visi yang mereka kembangkan dalam ragam aktivitas kreatif. Hal ini tercermin dari bagaimana generasi ini telah mampu membuat rencana apa saja yang mereka inginkan pada saat mereka baru berumur 20-an. Definisi kesejahteraan bagi mereka pun tidak hanya terbatas pada kekayaan material semata, namun lebih dari itu hubungan keluarga dan pertemanan juga dianggap sebagai bagian dari kesejahteraan yang diinginkan.
Di beragam kasus, disadari ataupun tidak, sekumpulan kaum muda ini dengan sangat lugas dan tegas memutuskan pindah perusahaan dikarenakan perusahaan menuntut mereka bekerja lebih dari 8 jam. Hal ini dipicu oleh keinginan mereka untuk membangun kehidupan keluarga atau sosial lainnya.
Oleh karena itulah Strauss dan Howe dalam teorinya selalu memakai terminologi generasi millenium bagi generasi Y. Kesadaran modernitas mereka atas nasionalisme tidak lagi bersifat historis melainkan sangat fungsional. Mereka hadir seolah melakukan “ekspansi” untuk menggantikan generasi sebelumnya. Perubahan dan inovasi selalu dimunculkan untuk membuat sejarah baru.
Lintasan sejarah Indonesia memberikan penjelasan pada kita bahwa generasi Y dibesarkan di dalam masa transisi dari era Orde Baru ke era reformasi. Pada masa transisi ini institusi negara begitu lemah sehingga beragam alternatif jalan baru bermunculan. Mulai dari redefinisi sistem politik dan ekonomi, sampai pada penguatn institusi hukum dan yang tak kalah pentingnya adalah perkembangan sains dan teknologi.
Perbedaan mendasar dan paling mencolok antara generasi millenium ini dan generasi sebelumnya adalah mereka tumbuh dalam lingkungan saintifik dan serba digital. Melalui gaya hidup yang demikian ini perubahan mendasar pun terjadi di mana hidup menjadi lebih praktis, efisien, dan inovatif. Akhirnya muncullah wajah baru anak muda Indonesia menjadi generasi digital, efisien, terbuka, optimis, inovatif, kritis, dan egaliter.
Sharing Profit
Jika dianalisa lebih jauh, pola sharing yang dikembangkan oleh generasi ini adalah counter terhadap dominasi. Semua bermula atas tragedi kapitalisme yang menghargai penumpukan modal. Hak-hak kekayaan individu kemudian difahami sebagai kepemilikan mutlak, tanpa harus berbagi secara adil dengan atas penguasaan aset-aset strategis.
Mereka seolah ingin menunjukkan bahwa “memiliki” tidak harus menguasai dan bersifat kepemilikan tunggal. Kebersamaan dengan ragam produk dapat pula dijual secara bersama dengan teknologi, dan di sanalah hasil kemudian dibagi-bagi. Begitulah ide ini muncul di bidang transportasi umpamanya.
Mereka menelurka ide, lalu membuat aplikasinya. Siapa pun yang punya kendaraan dapat bergabung, dan ketika telah usai beroprasi kendaraan pun diparkir di rumah masing-masing. Tak perlu keamanan, namun begitu aman dilakukan.
Ide ini tentu jika salah dipahami akan menimbulkan keheranan. Bagaimana mungkin kita dengan kebiasaan lama menyaksikan ulah mereka yang memurahkan segala macam harga. Ongkos taksi yang harusnya Rp 150 ribu cuma dihargai Rp 70 ribu. Tempat penginapan per malam Rp 1 juta ditawarkan hanya Rp 200 ribu. Inilah sharing economy yang membuat orang berpangku tangan jadi turun tangan.
Tak perlu menjadi ekonom untuk dapat mengerti ini, dan tidak juga harus punya modal besar untuk dapat terlibat dalam praktiknya. Hal inilah yang bisa jadi meruntuhkan peradaban “kepemilikan pribadi”. Yakni, ketika individu tertentu dengan modal yang besar dapat dengan mudah dan cepat melirik serta memiliki aset-aset strategis. Kemudian memagarinya, bisa saja untuk jangka waktu yang lama dan sama sekali tidak dipergunakan.
Ini tentu berakibat fatal, 50% tanah-tanah yang ada jadi menganggur, hanya ditumbuhi ilalang dan dipagari tinggi. Pabrik-pabrik, perkebunan, vila mewah, mobil-mobil keren, semua memiliki penguasa. Namun belum tentu kesemuanya dipakai atau diolah sebulan sekali oleh pemiliknya.
Perkembangan sains dan teknologi, di tanah air terutama, hari ini melahirkan generasi perubahan. Pola sharing dianggap sebagai penyelamat Nusantara ini dari keserakahan. Generasi Y menggagas ideologi-ideologi praktis tentang kesempatan berbagi. Mereka seolah merenungi tentang arti dari pemborosan. Untuk apa membeli barang yang baru, jika barang yang ada bertumpuk di rumah dan dapat dibeli oleh khalayak. Akhirnya jutaan barang-barang bekas membanjiri dunia maya kita, dan dengan mudah kita dapat bertransaksi di sana.
Apabila pola sharing kemudian mewujud menjadi gejala ekonomi yang diminati banyak orang, setidaknya banyak hal bisa diraih. Mulai dari lahirnya deflasi karena harga-harga semakin turun, seperti ledakan pariwisata dalam jumlah yang tak terduga diakibatkan oleh banyaknya pilihan menginap yang murah. Ini sangat membantu bagi aset-aset milik masyarakat yang mengganggur menjadi produktif. Kamar kosong dapat disewakan sekaligus orang rumah dapat menjadi guide wisatanya.
Namun pada sisi lain, pola ini juga dapat menimbulkan dampak-dampak negatif. Karena perubahan harus senantiasa berjalan beriringan dengan tingkat pemahaman dan proses adaptasi. Hal ini dapat pula melahirkan banyak pengangguran bagi mereka yang gagal faham dengan pola ini. Akhirnya kerugian besar dari sektor-sektor usaha konvensional yang konsumennya berpindah tak dapat terhindarkan. Karenanya, tugas kita bersama adalah beradaptasi dengan pola ini.