Kamis, Oktober 10, 2024

Generasi Bebas Anak (Childfree) dan Tidak Beranak (Childless)

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Perdebatan tentang pasangan suami istri yang memutuskan bebas anak (childfree) kian mengemuka belakangan. Beberapa waktu terakhir jagad media massa diramaikan oleh pro kontra keputusan Gita Savitri Devi seorang kreator konten video YouTube, blogger, penulis buku sekaligus influencer yang secara terang-terang mengatakan, ia dan pasangannya Paul Andre Partohap memutuskan untuk bebas anak.

Sejumlah artis Indonesia (termasuk yang belum menikah) memilih bebas anak alias tak memiliki anak dengan berbagai alasan. Beberapa dari mereka mengaku, keputusan itu diambil setelah berdiskusi dengan pasangan masing-masing, di antaranya Cinta Laura, Anya Dwinov, Chef Juna, Rina Nose dan Leony Vitria.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) di Indonesia tercatat sebesar 2,1 pada 2022. Ini berarti rata-rata satu perempuan di dalam negeri melahirkan dua orang anak selama masa suburnya. Secara kumulatif, angka kelahiran Indonesia sudah berkurang 30,64% selama periode 1990-2022. Kendati ada penurunan angka kelahiran, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menilai Indonesia tidak mengalami resesi seks, seperti yang berlangsung di Korea Selatan, Jepang, Singapura dan lain-lain.

Tekait dengan penurunan angka kelahiran di Tanah Air tersebut, sayangnya BPS tidak membedakan antara orang -orang yang bebas anak (childfree) dan mereka yang menginginkan anak, tetapi tidak memilikinya karena berbagai alasan, seperti infertilitas diri atau pasangan (childless). Namun, secara anekdot, ada yang menyatakan sekitar dua pertiga pasangan tanpa anak adalah bebas anak (childfree), dan sepertiganya  tidak beranak (childless).

Sebetulnya dalam masyarakat kita ada pasangan suami istri yang memilih bebas anak bebas anak. Pada generasi sebelumnya—di mana pilihan untuk bebas anak dianggap tabu dan aib—wanita yang bebas anak kerap menyamarkan dirinya sebagai perawan (tapi melahirkan anak dari pasangan yang tak sah dianggap lebih berdosa daripada tidak memiliki anak sama sekali) dan biarawati. Namun pada abad XXI, seiring banyaknya kaum wanita yang bekerja atau mengisi jabatan profesional, maka pilihan pasangan suami-istri yang bebas anak menjadi keputusan berani yang tak populer karena mendapat oposisi dari orang tua atau masyarakat.

Dengan akses yang lebih besar terhadap mekanisme kontrol kelahiran modern, sebagai alternatif yang dipersepsi ‘ramah’ untuk wanita yang berasal dari pendidikan tinggi dan posisi profesional, dan berkurangnya stigma yang melekat pada wanita yang mengambil peran non-keibuan (non-motherhood), terutama di kota-kota besar dengan semangat individualisme yang kental, maka pilihan pasangan suami istri untuk bebas anak berpeluang akan meningkat.

Saya ingin membandingkan dengan kasus di Australia. Bidang penelitian seputar kebebasan untuk tidak punya anak (childfreedom) di Australia modern sangat bervariasi. Beberapa negara bagian merilis laporan bahwa banyak perempuan mengakui tidak keibuan (maternal). Sejumlah kecil menyatakan ketidaksukaan mereka terhadap anak-anak. Banyak yang menilai nikmatnya kebebasan sebagai gaya hidup dengan keputusan mereka untuk tidak memiliki anak. Bahkan penelitian ini juga mengemukakan sementara kaum perempuan yang bebas anak tanpa alasan aktual yang jelas. Motivasi lain untuk tidak memiliki anak adalah bahwa mereka menganggap abad XXI dipenuhi dunia yang bermusuhan, dan tidak memiliki anak memberikan dampak yang baik bagi lingkungan.

Faktor lingkungan di balik alasan tidak memiliki anak ini menunjukan tren kenaikan di Australia. Lima tahun yang lalu, faktor lingkungan sebagai alasan utama untuk bebas anak nyaris tidak pernah diungkapkan. Menjalang berakhirnya dekade kedua abad XXI, kian banyak kaum perempuan yang berani mengutarakan untuk bebas anak karena “bumi ini sudah terlalu padat,” “kita memiliki sumber daya yang terbatas,” “lebih banyak orang maka akan lebih banyak lagi ketegangan memperebutkan sumber daya itu” dan “tekanan pada lingkungan sudah terlalu besar, sehingga menambah jumlah populasi sama saja menambah lebih banyak kerusakan.” Singat kata, mereka percaya bahwa dunia ke depan tidak cocok untuk anak -anak.

Fakta yang tengah bergulir di kalangan perempuan di negeri kangguru itu sebetulnya sudah mulai menjalar di Tanah Air. Ketika membaca karya Victoria Tunggono berjudul Childfree & Happy: Keputusan Sadar untuk Hidup Bebas Anak (2021), saya mendapati bagaimana komunitas perempuan bebas anak ini sudah mulai terbentuk di kota-kota besar dan secara aktif saling memberikan dukungan atas keputusan masing-masing untuk bebas anak.

Alasan-alasan ekologis menjadi primadona, semisal “bahwa kita sudah salah memperlakukan bumi sementara kita tak akan memilikinya lebih lama, lalu mengapa membawa anak-anak yang tidak bersalah ke dalamnya,” perubahan iklim berarti penghancuran planet ini sudah dekat, saya akan terlalu sibuk merawat diri saya ketimbang khawatir untuk punya anak-anak”, dan “jika saya memiliki anak-anak di tengah pemanasan global berarti saya pasti tidak akan melihat cucu.”

Perubahan wacana dewasa ini menarik ketika kita berbicara tentang mengapa orang secara sukarela tidak memiliki anak. Lima tahun yang lalu, jauh lebih umum untuk mendengar orang bebas anak mengatakan “saya ingin menjadi spontan dalam hidup, dan keberadaan anak-anak akan menghentikan itu”, “saya menikmati kebebasan hidup saya seperti sekarang, dan saya tidak ingin Itu berubah” dan” jika saya punya anak, saya harus mengorbankan karier saya padahal saya telah bekerja keras untuk itu.” Namun kini alasan-alasannya lebih bergerak ke arah basis rasionalitas.

Namun, pertanyaannya harus diajukan, apakah orang benar-benar peduli dengan lingkungan ketika memilih untuk tidak memiliki anak?  Terus terang alasan ekologis memang memiliki kualitas dan daya tonjok yang luar biasa. Orang yang mengatakan “saya tidak ingin punya anak demi menyelamatkan kebebasan pribadi saya” akan mendapatkan reaksi yang sangat berbeda dengan seseorang yang mengatakan “saya tidak punya anak untuk menyelamatkan planet ini.”

Baiklah, kita mengasumsikan mereka benar-benar khawatir tentang masa depan planet ini. Itu menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi di sekitar masalah dunia yang saling bermusuhan, perubahan iklim, dan pemanasan global. Bila demikian halnya, maka para pemimpin dunia dan pemerintah perlu secara aktif mengatasi masalah ini untuk tidak hanya menyelamatkan planet ini, tetapi untuk menyelamatkan kesehatan mental kita yang berdampak pada pilihan hidup untuk bebas anak.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.