Dalam sepakbola, kita mengenal tiga fase penting di dalamnya, yakni fase menyerang, fase bertahan, dan fase transisi. Fase transisi diyakini sebagai fase paling krusial dalam sepakbola. Bahkan hasil akhir pertandingan seringkali erat kaitannya dengan kesuksesan tim dalam menerapkan strategi jitu pada fase ini.
Banyak pelatih menuding jika lemahnya proses transisi para pemainnya di lapangan menjadi alasan utama sebuah kekalahan. Beberapa pelatih bahkan seolah kelimpungan mengatasi masalah klasik timnya dalam hal transisi dari menyerang ke bertahan maupun sebaliknya. Masalah klasik itu selalu dikeluhkan tanpa ada jawaban pasti. Hingga pada akhirnya secara perlahan muncul titik terang terkait problem itu seiring munculnya istilah gegenpressing ala Jürgen Klopp.
Istilah gegenpressing merupakan frasa dari bahasa Jerman, bahasa ibu dari Jürgen Klopp. Gegenpressing bisa juga diartikan sebagai counter-pressing. Sederhananya, counter-pressing adalah atitesis dari counter-attack. Secara harfiah, gegenpressing bisa juga dimaknai sebagai metode untuk meredam upaya serangan balik lawan dengan cara secepat mungkin memutus aliran serangan lawan melalui pressing tingkat tinggi.
Gegenpressing selalu menekankan pada upaya sesegera mungkin merebut bola dari lawan sesaat setelah kehilangan bola. Klopp selalu memerintahkan pemainnya untuk segera merebut bola bahkan ketika lawan masih berpikir bola akan diarahkan ke mana. Skema pressing tingkat tinggi ini tentu tidak bekerja secara sporadis. Ada skema yang rapi sehingga setelah bola berhasil direbut, ada misi berikutnya yang tak boleh tertunda, yakni serangan balik balasan. Mematahkan counter-attack dan sesegera mungkin melancarkan counter-attack balasan adalah misi mulia dari gegenpressing.
Klopp punya keyakinan jika situasi counter-attack adalah situasi paling berbahaya dalam sepakbola. Serangan balik secara tiba-tiba di saat lawan belum berada pada fese bertahan sempurna membuat peluang mencetak gol semakin terbuka. Filosofi itu yang kemudian menjadi perbedaan mendasar antara Jürgen Klopp dan Pep Guardiola.
Jika Klopp tak mengenal istilah delay untuk merancang serangan, Pep sebaliknya. Pep lebih suka terlebih dahulu melakukan build-up sembari menunggu skema serangan tertata rapi sebelum melancarkan serangan mematikan. Jurgen Klopp memakai gegenpressing sebagai ruh permainan timnya. Sementara Pep Guardiola menggunakan gegenpressing sebagai cara untuk memuluskan taktik possesion football kegemarannya. Begitu kira-kira.
Gegenpressing ala Klopp bisa juga dianggap sebagai taktik penihilan fase bertahan yang sebenar-benarnya bertahan. Idiom pertahanan terbaik adalah menyerang diamini Klopp dengan fasih. Pola bertahan dalam gegenpressing terbilang cukup unik. Sekilas kita mungkin mengira kalau pola bertahan ala gegenpresing tampak seperti taktik bertahan agresif yang mengandalkan agresivitas individu. Namun nyatanya tidak demikian.
Gegenpressing mewajibkan adanya pola bertahan secara kolektif, menekan, dan responsif. Posisi antar pemain selalu diusahakan merapat, bahkan terkesan menumpuk. Garis pertahanan juga tidak terlalu dalam. Sehingga secara otomatis jarak pemain dengan gawang lawan juga tidak terlalu jauh. Hal ini yang kemudian menjadi cara untuk mengantisipasi ancaman kelelahan akibat bermain dengan determinasi tinggi.
Jürgen Klopp mengibaratkan gegenpressing sebagai bermain bola ala musik Heavy Metal kesukaannya. Cadas, keras, dan dengan tempo tinggi. Sepakbola akan dimainkan dengan sangat bergairah. Aliran bola akan terasa lebih cepat. Direct pass akan sering kita temui mengingat gegenpressing selalu berorientasi pada mencetak gol secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya.
Ketika kita mulai jenuh dengan taktik possesion football ala Pep yang terlalu banyak memakai umpan basa-basi, Klopp menawarkan cara bermain sepakbola yang lebih lugas. Ketika Mourinho mencoba merusak kenikmatan menonton sepakbola dengan menyajikan taktik “parkir bus”, Klopp mengembalikan marwah sepakbola sebagai sebuah tontonan yang menghibur.
Cesar Lois Menotti sebagai pemuja permainan indah sempat melempar pujian kepada Klopp. Menotti menganggap Klopp sebagai pembawa tradisi baru dalam sepakbola. Klopp dianggap sukses menghadirkan ketegangan selama 90 menit penuh. Tak jarang juga Klopp menyisipkan bumbu-bumbu dramatis dalam sepakbola. Segala hal yang dibutuhkan pecinta sepakbola, menurut Menotti, ada dalam cara bermain sepakbola yang dihadirkan Klopp.
Klopp tak tinggal diam dan cepat puas. Di musim keduanya bersama Liverpool, taktik gegenpressing terus mengalami perkembangan. Kemenangan Liverpool atas Chelsea pada pekan kelima Liga Inggris menjadi bukti nyata bagaimana Klopp berhasil memoles gegenpressing menjadi taktik yang nyaris sempurna. Tinggal bagaiman Klopp menjaga ritme permainan anak asuhnya agar bisa terus konsisten.
Terima kasih, Klopp.