Kamis, April 25, 2024

Gagal Paham KPI Tentang Netflix

Muhamad Heychael
Muhamad Heychael
Dosen Kajian Media Universitas Multimedia Nusantara

Belajarlah dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) cara untuk menghindari penilaian buruk atas kinerja anda. Jika performa anda dinilai rendah, maka ambillah tanggungjawab lain di luar ruang lingkup kewenangan dan tugas anda. Dengan begitu, anda bisa mendapatkan nilai plus untuk inisiatif dan bonus alibi yang berbunyi “ya kinerja saya memang buruk, namun itu karena saya mengurus terlalu banyak hal”. Inilah yang saya duga tengah coba dilakukan KPI dengan idenya untuk mengawasi Netflix dan konten media digital secara umum.

Saya berargumen, Ide tersebut ngawur karena dua hal. Pertama, KPI adalah lembaga yang berdiri atas mandat Undang-Undang Penyiaran no 32 tahun 2002. UU 32 memberi tugas pada mereka untuk mengawal kepentingan publik dalam penyiaran. Tidak perlu analisis yang canggih, anda cukup membaca judul undang-undangnya, maka kita tahu bahwa batas tugas dan kewenangan mereka adalah urusan televisi dan radio. Berencana mengatur konten digital jelas offside.

Ketua KPI yang baru, Agung Suprio, mengatakan rencana ini akan dilakukan pasca Revisi UU Penyiaran selesai dilakukan oleh DPR. Setelah UU baru rampung KPI akan mengundang ahli hukum untuk menafsir ulang UU Penyiaran agar bisa jadi landasan mengawasi konten digital. Langkah ini jelas tidak masuk akal. Selama ruang lingkup UU tersebut adalah ranah penyiaran, ditafsir bagaimanapun ia tidak akan menjadi alat legitimasi dari pengawasan konten digital. Kecuali yang dimaksud Agung adalah menafsirkan batas dari definisi penyiaran hingga ke titik ia tidak lagi memiliki makna. Misal, penyiaran adalah segala bentuk tontonan. Jika demikian halnya, jangan-jangan pertunjukan kuda lumping bisa jadi subjek pengawasan KPI? 

Alasan kedua kenapa ide ini absurd adalah KPI sendiri masih memiliki pekerjaan rumah yang besar terkait pembenahan kondisi penyiaran. Publik masih menyaksikan reality show minus nalar, tayangan mistis yang mempromosikan irasionalitas, tayangan penuh kekerasan, berita yang bias kepentingan politik pemilik media, dan banyak lainnya. Kita masih belum merasakan kehadiran mereka di hal-hal yang menjadi tanggungjawab pokoknya, mengapa KPI mau menambah tugas lain?

Apa karena mengawasi konten digital tidak membuat KPI harus berhadapan dengan kepentingan industri televisi swasta? Apa karena itu lebih populis? Saya tidak tahu persis motifnya. Agung Suprio, mengatakan bahwa motifnya adalah karena selama ini konten yang ada di Youtube maupun Netflix punya potensi bahaya bagi anak. Berbeda dengan televisi yang harus mengikuti ketentuan mereka mengenai jam tayang anak, konten digital bisa ditonton kapan saja.

Membaca argumen Agung ini, saya menjadi yakin bahwa Ombusmand benar adanya, ada yang salah dengan proses seleksi komisioner KPI 2019. Bagaimana bisa seorang ketua lembaga negara yang bertugas  mengawasi penyiaran tidak paham perbedaan pradigma pengaturan media penyiaran dan media baru. 

Mas Agung dan segenap Komisioner KPI yang baru, di negara demokratis manapun media penyiaran memang media yang paling ketat pengawasannya. Hal ini karena ia beroperasi dengan frekuensi publik. Frekuensi adalah gelombang elektromagnetik yang terdapat di udara. Ia termasuk sumber daya alam terbatas yang menurut Undang-undang Dasar pasal 33 harus dikuasai negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan publik. Fakta inilah yang memungkinkan tangan negara masuk begitu jauh dalam mengatur konten penyiaran. Ini berbeda dengan media digital.

Media digital tidak menggunakan sumber daya publik sebagaimana media penyiaran. Maka logika pengaturannya berbeda. Itulah mengapa ia diatur dalam UU ITE. Berbeda dengan UU penyiaran yang demikian ketat mengatur konten, UU ITE terang lebih longgar. Apa pasal? Karena media digital beroperasi di internet, adalah tidak masuk akal misalnya menetapkan jam tayangan anak untuk media digital. Jika televisi ditonton secara serempak di waktu yang bersamaan, maka media digital lebih personal dan tidak memiliki waktu khusus untuk menonton. Resikonya, tontonan di media digital sebagian besar tanggungjawabnya ada pada publik. Kalau Netflix mengandung konten yang berbahaya bagi anak maka tugas orang tua untuk mendampingi anak menonton atau bahkan berhenti berlangganan.

Mas Agung yang baik, dua paragraf di atas adalah solusi untuk menjawab orang televisi swasta yang kerap membisiki “ Kenapa cuma kami yang diawasi padahal tontonan digital itu jauh lebih berbahaya”. Saya juga tahu, bukan cuma televisi swasta yang bawel agar KPI juga fokus pada konten digital. Ide untuk mengawasi konten digital juga didukung atau bahkan didorong oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kekominfo). Mas Agung harus tahu, bahwa KPI adalah lembaga yang lahir dari rahim reformasi. Sebagai lembaga independen, kehadiran KPI adalah wujud dari keikutsertaan publik dalam pengaturan penyiaran. Idealnya, hubungan KPI dan Kekominfo adalah mitra. KPI bukan bawahan Kekominfo. Jadi KPI tidak punya kewajiban mengikuti Kekominfo. Terlebih jika itu menyalahi undang-undang dan prinsip demokrasi.

Saya tidak bermaksud untuk bilang bahwa media digital tidak boleh diawasi. Apa yang saya maksud adalah pewasan media digital bukan tugas mereka, itu justru tugas Kekominfo. Memaksakan KPI untuk menjadi pengawas konten digital dengan modal regulasi yang bersumber pada UU Penyiaran adalah salah kaprah. Saya khawatir langkah ini justru mematikan potensi media digital sebagai ruang demokrasi dan menjadikan KPI tak ubahnya kementerian Penerangan di Era Orde Baru. Kalau bingung dengan maksud saya, coba baca kembali sejarah lahirnya KPI, mudah-mudahan itu bisa membantu mas Agung dan kawan-kawan Komisioner untuk memahami khittah KPI.

Jadi sudah ya mas, cukup sampai sini kontroversinya. Publik berharap besar pada komisioner yang baru saja terpilih. Kembali saja pada tugas pokok KPI, jika ini bisa dilakukan dengan baik, itu sudah membantu banyak bagi pembangunan jadi diri bangsa yang kerap mas Agung dengung-dengungkan itu.

Oh ya, apa kabar dengan  7 komitmen 10 stasiun televisi swasta saat perpanjangan izin penyiaran 2016 lalu, yang salah satunya bersedia menyediakan bahasa isyarat dalam penyiaran berita bagi publik difabel? Kelihatannya belum dilakukan tuh.     

Muhamad Heychael
Muhamad Heychael
Dosen Kajian Media Universitas Multimedia Nusantara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.