Sabtu, April 27, 2024

Gagal Menjadi Manusia Baru

Muhammad Husni
Muhammad Husni
Menulis biar be your.

Dengan meminjam gaya bahasa Soe Hok Gie pada harian Kompas terbitan 17 Agustus 1969, saya akan memulai artikel opini ini: “Tanpa kita sadari di bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu lapisan baru, pemuda-pemuda, pemudi-pemudi Indonesia yang dilahirkan setelah tahun 1998 ataupun tumbuh besar setelah Orde Baru almarhum─generasi reformasi.”

Mereka bukan orang-orang yang menjelma menjadi pahlawan super dengan membawa-bawa megafon dan meriakkan jargon atas nama kesadaran kelas, mereka adalah generasi yang dididik dalam optimisme setelah utopia akan kebebasan bersuara dibumikan, dan mereka adalah generasi yang dibius oleh semangat pembaharuan setelah masa kekacauan berlalu.

Tetapi terutama generasi inilah yang mengalami kehancuran cita-cita itu semuanya, demoralisasi dalam segala bidang, dan yang paling parah tunduk pada sistem “bapak-anak” yang paling baru.

Dalam situasi yang menekan kita dari sudut mana pun dan menyetir diri untuk berkompromi dengan keadaan─alias di Rumah saja, terbesit dalam pikiran saya sesosok mahasiswa Jurusan Sejarah UI yang liar dan kritis sejak dalam pikirannya tersebut. Apalagi tanggal publikasi tulisannya tersebut di hari kemerdekaan, persis seperti momentum saat ini.

Keadaan yang monoton dan mencekam ini (tentu saja, lihatlah banyak tenaga kesehatan yang mulai berguguran dan Rumah Sakit yang tutup karena overload pasien di tengah pandemi ini. Uhuk, juga Omnibus Law yang garapannya ternyata tidak lebih baik dari pemerintah masa kolonial… oke itu akan jadi bahasan untuk lain kali─) memaksa saya tidak memiliki aktivitas lain selain bermalas-malasan, akhirnya saya kembali meminjam buku “Catatan Seorang Demonstran” milik sahabat saya dari rak buku di kontrakan kami.

Sebagai sesama mahasiswa yang mempelajari ilmu masa lalu, saya senang sekali untuk mengawang dan membenturkan realita yang terjadi di masa lampau dengan keadaan aktual saat ini. Sangat menyenangkan, namun di satu sisi sangat mengiris hati. Karena kenyataannya manusia di Indonesia sejak periode 1960-an hingga 2020 ini tidak terlalu banyak berubah.

Saya dibuat tercengang dan memutar otak berkali-kali dengan konsep “manusia baru” yang ditawarkan olehnya sejak 1969. Di sana ia mengatakan bahwasanya manusia-manusia baru ini dididik dalam optimisme segar pasca penyerahan kedaulatan dan mungkin di tiap malamnya didongengi oleh cerita masa depan yang akan sangat cerah setelah Indonesia merdeka.

Sangat cerah, bahkan terlampau cerah sehingga ia mengatakan juga bahwa generasinya juga mengalami kehancuran mimpi zamannya sendiri dan demoralisasi dalam segala bidang serta layangnya mosi tidak percaya yang kosong pada generasi pendahulu.

Tulisannya yang dipublikasikan pada 17 Agustus 1969 merupakan dongeng lama, mungkin saja beberapa orang sudah muak dan menganggapnya basi. Namun, saya di sini akan kembali menghangatkan dan menarasikan kembali konsep yang sudah diperlakukan tak ubahnya anjing kampung oleh mahasiswa-mahasiswa penjilat kekuasaan yang saat ini sedang duduk di kursi basah─yang mengkhianati mimpi dan jiwa generasinya.

Jika kita membedah lingkungan Gie, jiwa zaman, dan motif penulisannya, tentu ini ditujukan untuk teman-teman seangkatannya yang menjadi petinggi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan organisasi semacamnya─yang setelah lulus dan pada akhirnya menjadi pelancong politik… atau lebih tepatnya agen MLM dengan produk ideologi, memeras rakyat kecil atas nama perjuangan. Mereka yang awalnya bergerak dalam harmoni di bawah naungan idealisme pada akhirnya bercerai karena demoralisasi yang menanti di ujung jalan yang cerah tersebut.

Bagaimana dengan kondisi saat ini? Apakah tulisan tersebut masih relevan ataukah sekali lagi itu benar-benar menjadi dongeng basi? Manusia baru, pada kasus ini─pada zaman ini, khususnya mahasiswa sudah dijejalkan pola pikir atau didoktrin sebagai agen perubahan dan dituntut aktif mengikuti isu politik di dalam maupun di luar Kampus sejak masa Orientasi. Indah? Sejauh ini hanya di kulitnya saja, tak ubah seperti iklan sabun pemutih kulit KW di sosial media.

Kenyataan yang terjadi ialah kita masih berkutat, berputar dalam kekacauan yang tidak berbeda dengan yang dihadapi Gie di tahun 1969. Ada dikotomi di antara golongan terpelajar─mahasiswa yang bisa disebut dengan borjuis kecil─dengan golongan yang kurang beruntung dan tidak bisa mengenyam bangku pendidikan (Oh, di manakah pemerintah dengan jargon pendidikan merdeka? Apakah maksudnya merdeka untuk melakukan monetisasi pendidikan? Uhuk).

Seolah-olah mereka adalah bagian manusia baru yang berbeda jenis, padahal kalau secara metafora mereka adalah satu koin dengan sisi yang berbeda saja. Selalu ada relasi atas-bawah dan mengeksklusikan para borjuis kecil ini dengan manusia baru─kaum sesamanya. Sudah merasa tersindir? Tenang, selama menulis artikel ini pun saya merasakan hal yang sama.

Sebenarnya masih banyak lagi hal yang membuat kita bisa disebut “Manusia Baru Gagal” generasi kesekian, toh, angkatan Gie pun gagal menjaga harmoni di bawah nama idealisme dan terbawa jauh hingga terombang-ambing dan akhirnya terdampar di sebuah pulau bernama “Parlemen Negara.”

Kita sudah muak dengan ketidakbecusan angkatan tua yang mengurusi kita dalam banyak ranah namun bukan berarti kita berhak melayangkan mosi percaya yang ternyata kosong di dalamnya dan hanya berlandaskan sentimen belaka. Apa yang harus kita lakukan? Koreksi diri habis-habisan hingga tidak ada lagi yang bisa dikoreksi!

Sudah cukup dengan penokohan manusia baru berlabel aktivis yang pada akhirnya di-endorse oleh online shop, sudah cukup dengan kalimat “masuk dan perbaiki sistem dari dalam,” kita adalah manusia baru yang harusnya dinamis dan adaptif serta bukanlah agen yang dipaksa melakukan perbaikan atas dosa yang dilakukan generasi sebelum kita dan harusnya lepas dari cengkraman tangan-tangan jahil mereka.

Benar, kalimat barusan menyindir kalian─influencer muda yang ternyata menjadi penyebar virus sosial bernama “Pembodohan Publik.” Benar, kalimat barusan menyindir kalian mahasiswa yang ogah merangkul rakyat dan membuat menara gading semakin tinggi.

Apakah kita mau begini terus? Meneruskan tradisi gagal dalam generasi manusia baru yang selalu hadir tiap tahunnya. Apakah kita tersesat arah sebegitu jauhnya sehingga kita selalu melakukan kesalahan yang sama sejak 1969? Apakah doktrin dan idealisme yang dibangun serta yang hidup di masyarakat terlalu lemah sehingga mudah untuk diludahkan saat sudah memangku jabatan? Entahlah, mari kita refleksi di hari kemerdekaan ini.

Muhammad Husni
Muhammad Husni
Menulis biar be your.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.