Minggu, Oktober 6, 2024

Full Day School: Pendidikan dalam Kalkulator Penjumlahan

Yanto Mushtofa
Yanto Mushtofa
Alumni Fakultas Tarbiyah, Jurusan Tadris Bahasa Inggris, Universitas Islam Syarif Hidyatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi Majalah "Media Panduan Sentra", Ketua Yayasan Insan Nahlah Semesta Bogor.
Full-Day-School
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Muhadjir Effendy.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhadjir Effendy pekan ini mulai mensosialisasi konsep sekolah sehari penuh (full-day school). Konsep itu sendiri belum dituangkan dalam bentuk peraturan, apalagi petunjuk pelaksanaan maupun teknisnya. Namun, Menteri Muhadjir menyatakan ide penerapan konsep itu sudah disetujui dan diapresiasi Wakil Presiden. Kontroversi mencuat, meski konsep itu belakangan dibatalkan.

Saat ini segenap pemangku kepentingan pendidikan masih dalam suasana batin penuh penantian dan pertanyaan setelah penggantian (dan kemudian penundaan) kurikulum. Tak kalah pentingnya adalah penggantian menteri sendiri, yang ditanggapi banyak kalangan dengan nada kecewa.

Seandainya konsep itu digagas, ditelaah secara menyeluruh, dan dirumuskan dengan teliti oleh suatu tim khusus, boleh jadi hasilnya adalah pembaruan yang substantif, walau tidak dengan sendirinya bebas dari kontroversi.

Sebagai konsep, lontaran Menteri Muhadjir boleh jadi telah didukung landasan teoretis dan empiris yang kredibel. Artinya, full-day school sudah bisa dibuktikan dalam situasi dan kondisi tertentu membawa hasil yang baik dan positif. Namun, jika hendak dijadikan sebagai kebijakan dalam skala nasional, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan.

Sekurang-kurangnya dua hal pokok berikut ini patut dipertanyakan terkait dengan lontaran tersebut: daya dukung realitas dan apa yang hendak diasupkan dalam tambahan jam belajar di sekolah. Daya dukung realitas mencakup banyak unsur, mulai dari sarana dan prasarana belajar; ketersediaan guru, baik dari segi jumlah, keragaman maupun kualitas; sampai kapasitas finansial dan manajerial di tingkat sekolah maupun unit-unit otoritas yang menaunginya.

Contoh-contoh pertanyaan sederhananya: sudahkah dihitung berapa sekolah dasar (SD) yang hanya memiliki seorang guru? Berapa SD yang atap dan tembok gedungnya tersisa separo? Atau, bagaimana cara membiayai pengadaan perpustakaan bagi sekitar 136 ribu dari 254 ribuan SD-SMP-SMA yang belum punya perpustakaan?

Baiklah, anggap saja dengan kesaktiannya pemerintah mampu tuntas membereskan kendala-kendala elementer tersebut dalam waktu enam bulan, setahun, dua tahun (?), pertanyaan selanjutnya, apa yang akan diasupkan? Sebab, perbaikan mutu pendidikan tidak sama dan sebangun dengan penambahan jam belajar atau waktu keberadaan anak di sekolah. Tanpa konsep isi yang jelas dengan penyiapan segala faktor pendukungnya secara matang, penambahan itu malah bisa menjadi kontraproduktif.

Sejauh ini penjelasan Menteri Muhadjir mengenai dasar-dasar penerapan konsep tersebut masih terlalu simplistis dan cenderung sektoral. Pertama, penambahan jam keberadaan di sekolah dimaksudkan untuk mengisi porsi pembangunan karakter anak. Ini mengkhawatirkan karena belum ada perumusan konsep yang tegas, komprehensif, dan operasional tentang apa yang dimaksud sebagai pembangunan karakter.

Yang ada, sebagaimana dalam model Kurikulum 2013, tak lebih dari penuangan pengetahuan tentang karakter dalam berbagai mata pelajaran sekolah. Tak ubahnya seperti penaburan bumbu penyedap dalam masakan. Padahal, pembangunan karakter adalah proses panjang pembentukan melalui kegiatan pembelajaran yang langsung dan nyata (hands-on activities). Proses itu harus dijalankan secara berkesinambungan sejak usia dini.

Kedua, penambahan jam keberadaan di sekolah dimaksudkan untuk menghindarkan kekosongan pengawasan antara sekolah dan keluarga. Asumsinya, orangtua bekerja sampai pukul lima sore. Dengan penambahan tersebut, anak bisa langsung dijemput oleh orangtuanya. Sehingga, anak tidak liar tanpa pengawasan.

Ini menggelikan. Bukan hanya karena seakan-akan semua orangtua adalah pekerja kantoran dengan jam kerja tetap dan seragam, melainkan juga karena pembangunan karakter seakan-akan penjumlahan waktu pengawasan anak. Dengan kata lain, pembangunan karakter dipersepsi sebagai proses yang bertumpu pada tindakan pendisiplinan, bukan pembangunan mentalitas disiplin. Itu dua hal yang berbeda.

Sekadar ilustrasi, dalam model pembelajaran Metode Sentra yang sudah dua dekade ada di Indonesia, proses pembentukan karakter antara lain dijalankan dengan pemberian pijakan (scaffolding) oleh guru maupun orangtua. Pijakan memiliki bermacam-macam bentuk dan tingkatan, dari yang minimum sampai maksimum sesuai kebutuhan dan tahapan pembangunan.

Semakin minim tingkatan pijakan, semakin mandiri anak membangun karakternya. Proses panjang itu berlangsung sampai anak benar-benar tidak membutuhkan lagi pijakan, seperti konstruksi beton yang sudah tidak membutuhkan lagi penyangga atau bekisting. Yang paling penting, proses itu tidak mungkin mencapai tujuannya hanya dengan bertumpu pada pengajaran pengetahuan tentang karakter.

Ketiga, penambahan jam keberadaan di sekolah dimaksudkan untuk memberi beragam kegiatan ekstrakurikuler yang bermanfaat bagi kehidupan anak. Ini maksud yang mulia, tapi harus berhadapan dengan kendala paradigmatik sistem persekolahan. Tak usah pura-pura tidak tahu bahwa yang berlaku dalam sistem persekolahan saat ini adalah target seragam pencapaian akademis yang bermuara pada kemampuan mengerjakan soal-soal beberapa mata pelajaran di ujian akhir nasional di SLTA.

Target seragam itu begitu suci dan bertaruhan tinggi (high stake), sehingga tak seorang pun, mulai dari kepala daerah, kepala dinas, kepala sekolah, guru, anak dan orangtua sudi mengabaikan pertaruhannya. Begitu tingginya taruhan itu menyebabkan belajar di sekolah lebih banyak berisi kegiatan untuk melatih keterampilan mengerjakan soal-soal ujian. Testing matters more than learning. Kedigdayaan tes diperkuat oleh tuntutan struktural yang melekat pada setiap guru sekolah untuk mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM).

Dengan kendala paradigmatik yang demikian serius, maka apa pun yang diasupkan dalam penambahan jam keberdaan di sekolah hanya akan menjadi tambahan-tambahan sekunder belaka. Anak mungkin tergugah minatnya untuk belajar menjadi desainer grafis, pemain musik, penulis novel, ahli kuliner, atlet bola basket, penari… apa saja yang bisa disediakan sekolah. Tapi, anak akan tetap lebih takut nilai ujian akhirnya jeblok.

Jadi, dari mana Pak Menteri Muhadjir akan memulai menyiapkan full-day school? Dari penjumlahan ide-ide bagus yang tiba-tiba muncul?

Yanto Mushtofa
Yanto Mushtofa
Alumni Fakultas Tarbiyah, Jurusan Tadris Bahasa Inggris, Universitas Islam Syarif Hidyatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi Majalah "Media Panduan Sentra", Ketua Yayasan Insan Nahlah Semesta Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.