Nama Mikhail Gorbachev harus dimasukkan dalam daftar tokoh terbesar abad 20. Ia memperlancar peralihan kekuasaan yang begitu besar, tanpa pertumpahan darah. Tidak banyak yang ingat dan sadar betapa besarnya potensi pertumpahan darah bagi transfer kekuasaan nondemokratis untuk imperium sebesar Uni Soviet, federasi 15 negara bagian berusia 70 tahun yang segera terurai menjadi 17 negara.
Tumbuh di masa kekuasaan bengis Joseph Stalin, ia kemudian turut aktif menjadi bagian dari program de-Stalinisasi, suatu koreksi sistemik yang memakan waktu puluhan tahun. Dari desa kelahirannya di kampung Privolnoye, Rusia, anak petani miskin ini beruntung bisa kuliah di Universitas Moskow yang bergengsi.
Tapi ia memilih fakultas yang “salah”, fakultas hukum, yang waktu itu bukan bidang favorit rata-rata pemuda Soviet yang berada. Ia kemudian menjadi pengurus partai, dan ditempatkan di kampung kelahirannya. Di sana ia bekerja sama dengan ayahnya, membangun bendungan hebat yang membuat panen melimpah.
Pemimpin Soviet Leonid Brezhnev suatu kali mengunjungi proyek itu dan bertanya, siapa pejabat partai yang menangani proyek itu. Brezhnev kemudian mengajak Gorbachev kembali ke Moskow, tempat ia mungkin bisa mengerahkan semua bakat terbaiknya. Kota kecil di Stravopol itu, bagi Brezhnev, terlalu kecil untuk ide-ide besar anak muda secerdas Gorbachev.
Itulah momen terpenting dalam karir politiknya. Itu mungkin bagian dari strateginya dalam meniti karir, tapi mungkin juga ia jalani tanpa sengaja. Jika ia memulai karir dari nol di Moskow, ia harus menghadapi kompetisi ketat. Moskow, seperti semua ibukota negara, adalah gudang para bintang politik — selain sarang para penjilat yang selalu mujur.
Prestasi besarnya di ibukota tidak akan terlihat di antara struktur partai yang berhirarki ketat. Dengan “jalan memutar”, membangun karir dari kota kecil, prestasinya yang tak istimewa pun akan terlihat. Dan orang yang melihat prestasinya ternyata tak tanggung-tanggung: Sekretaris Jenderal Partai Komunis, suatu jabatan yang otomatis menjadi pemimpin negara yang berkuasa mutlak.
Sebelum lulus kuliah, dalam usia 24, ia menikahi Raisa Titarenko, mahasiswi filsafat berusia 23, kemudian menjadi dosen cemerlang favorit mahasiswa, yang jauh lebih menghargai sastra klasik Rusia kerimbang Marxisme-Leninisme. Mereka menikah enam bulan setelah Stalin meninggal, dengan pesta kecil di kantin kampus, dengan busana layak dan sepatu pinjaman.
Karirnya di Moskow terus menanjak, melampaui para senior, hingga momen historis itu datang: dalam usia 54, yang terhitung muda untuk gerontokrasi Uni Soviet, ia terpilih menjadi sekjen partai dan penguasa sejati. “Kesalahan kami,” kata Kepala KGB belakangan, “adalah tak mencermati Gorbachev” — membuat ia naik ke puncak dengan lancar.
Posisi sekretaris jenderal semula dimaksudkan sebagai juru catat biasa. Dalam penyusunan kepengurusan Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet, para intelektual yang tergabung di sana — Leon Trotsky, Kamenev dan lain-lain — tidak sudi memegang jabatan kerani itu. Sambil tertawa mengejek mereka mengusulkan jabatan itu diserahkan kepada Joseph Stalin, pemuda dusun dari Georgia. Lenin lalu memutuskan memberikan posisi “tukang catat” itu kepada Stalin, yang tak pernah menunjukkan minat dan kecemerlangan intelektual.
Mereka salah hitung dengan fatal. Stalin mungkin cukup bodoh dalam banyak hal lain. Tapi dalam satu hal ia sangat pintar dan sebentar saja segera paham apa yang bisa dilakukan dengan jabatan sekretaris itu. Ini terutama penting ketika Lenin mulai sakit-sakitan. Semua urusan dari dan ke pemimpin besar itu harus melewati pintunya.
Maka dengan leluasa ia tahu informasi apa dan tentang siapa yang harus didistorsi, dan sejauh mana penyesatan informasi perlu dilakukan. Kolega-kolega intelektualnya yang congkak di dalam partai, sebaiknya digebuk saja — tentu dengan menggunakan tangan Lenin.
Stalin memesan “edisi khusus” Pravda, koran resmi partai yang bertiras 11 juta eksemplar. Ia cukup memesan beberapa eksemplar saja, dengan isi sesuai program pribadinya, khusus untuk dibaca bos Lenin, yang makin terisolasi dari dunia luar, dan jendela tunggalnya adalah Stalin. Begitulah, satu per satu para intelektual yang sombong itu tersingkir.
Anak dusun Georgia itu menjelma penguasa tunggal di Moskow, dan menyusun barisan pembantu yang tangguh, terutama Laventi Beria, kepala intel andalannya, pemegang semua rahasia siapa saja. Dari seorang juru tulis, ia tiba-tiba mampu menggantikan Pemimpin Besar Revolusi, dan segera mengaktifkan sel-sel kekuasaannga yang sudah lama ia siapkan.
Tidak mudah mengikis warisan Stalin, yang membangun sistem drakonian itu dengan tekun selama 29 tahun (1924-53), termasuk, tentu saja, adalah jabatan sekretaris jenderal itu, yang kemudian otomatis identik dengan kepala pemerintahan. Gorbachev merasa momennya tiba setelah ia mendapatkan jabatan sekjen, yang cakupannya telah jauh melampaui tukang catat.
Pelan-pelan ia mulai menyusun strategi politik untuk negeri terbesar di dunia itu, yang kawasannya merentang dari utara ke selatan sepanjang lebih dari 10.000 kilometer, dan dari timur ke barat sekitar 7.000 kilometer. Ia meringkas strategi besarnya menjadi tiga mantra (tagline): glasnost (keterbukaan politik), perestroika (restrukturisasi), demokratizatsiya.
Logikanya: perestroika tak mungkin dicapai tanpa glasnost; dan keduanya akan bermuarq pada demokratisasi. Ini juga akan berdampak pada desentralisasi ekonomi. Hanya beberapa jam sesudah menerima jabatan sekjen partai, ia mengguman kepada isterinya: “Kita tidak mungkin menjalani hidup dengan cara begini terus.”
Ia juga melanggar konvensi puluhan tahun dalam politik Soviet: seorang pemimpin tidak selayaknya mengikutsertakan isteri dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan. Ia diledek dan ditertawai publik karena terlalu sering tampil bersama Raisa, yang berambut pendek dan selalu berbusana elegan. Ibu Negara pun didukungnya untuk aktif di yayasan-yayasan sosial untuk kesehatan dan anak-anak. (Kini, Presiden Putin pun kembali ke khittah: dunia tak pernah melihatnya tampil bersama isterinya).
Sesudah rakyat tertindih sistem yang menyesakkan selama 60 tahun, tidak sulit meramalkan bahwa mantra trilogi Gorbachev dengan cepat disambut gembira, terutama oleh kaum muda — juga blok Barat, yang terus menyemangati Gorbachev; tapi ketika ia benar-benar membutuhkan bantuan mereka di masa musim dingin Soviet yang amat keras, Barat tak segera memberi bantuan pasokan energi dan semua yang diperlukan, membuat posisi Gorbachev terjepit di negerinya.
Ia membiarkan satelit-satelit Soviet di Eropa Timur satu per satu menggencarkan demokratisasi dan menumbangkan diktator-diktator mereka. Ia menarik pasukan Soviet dari Afghanistan, setelah menginvasinya dan bercokol di sana sejak 1979. Ia mendukung peruntuhan Tembok Berlin bersama Presiden Reagan, mempersatukan kembali Jerman.
Kalangan ultranasionalis marah besar dan tak sabar dengan kepasifan Gorbachev menghadapi pergolakan-pergolakan sosial itu. Mereka mengadakan kudeta pada 1991, dan berhasil menahan Gorbachev di Krimea; inilah yang diduga penyebab stroke pertama Raisa, yang kemudian dideteksi mengidap leukemia. Tapi gelombang demokratisasi sudah telanjur besar dan menggulung mereka. Imperium itu buyar — hal yang tak diinginkan oleh Gorbachev.
Kembali ke Moskow dari penahanan rumah bersama isterinya di Krimea, ia tak ikut dalam euforia rakyat yang merayakan keruntuhan sistem lama itu dengan pesta pora di seantero negeri. Ia memilih menemani Raisa yang harus banyak beristirahat karena kanker darah yang terus menggerogotinya. Ia mencintai Raisa melebihi cintanya pada kekuasaan.
Setelah eks Soviet menjalankan sistem multi-partai, ia memilih kewarganegaraan Rusia (ayahnya orang Rusia, ibunya Ukrainia), dan bergabung dengan beberapa partai yang tak pernah membesar, untuk mengkritik Presiden Boris Yeltsin dan Presiden Vladimir Putin. Aksi oposisinya tak pernah signifikan. Mungkin karena fokus hidupnya tetaplah pada cinta sejatinya: Raisa, yang memberinya seorang puteri.
“Barangsiapa yang suka menonjol-nonjolkan prestasi masa lalunya,” katanya suatu kali, “itu artinya apa yang dikerjakannya saat ini tidak berarti.” Mungkin ini pula sebabnya ia tak suka menceritakan prestasi silamnya. Ia tahu kualitas dan sekecil apa dampak peran politiknya hari ini di Rusia.
Apakah ia pahlawan atau pengkhianat bangsanya? Bagi kaum ultranasionalis imperium Soviet, yang jumlahnya tak sedikit, ia adalah penghancur negara. Bagi kaum muda yang tak terlalu peduli dengan kejayaan nostalgis bangsa, ia adalah pahlawan pembebas, yang memungkinkan generasi-generasi baru meraih impian dan mengaktualkan potensi terbaik kemanusiaan mereka. Untuk toleransinya terhadap penumbangan kekuasaan di eks satelit-satelit Soviet di Eropa Timur, ia mendapat Hadiah Nobel Perdamaian.
Bagaimanapun, Mikhail Sergeyevich Gorbachev, sebagai pemimpin ke-8 dan terakhir Uni Soviet, adalah pengubah peta politik dunia, pencetus perombakan arsitektur politik global. Kebijakan-kebijakannya telah mengubah nasib ratusan juta warga Soviet (dan lebih banyak lagi warga negara-negara lain), hingga beberapa generasi mendatang.
Raisa Maximovna Gorbacheva akhirnya meninggal dunia pada 1999, di sebuah rumah sakit di Munster, Jerman. Dan sejak kematiannya, Gorbachev, yang 2 Maret lalu genap 90 tahun, mernyatakan makna hidupnya lenyap. Pengakuan inilah yang dipersoalkan oleh Vitaly Mansky, sutradara film dokumenter yang belum beredar berjudul “Gorbachev.Rai”, suatu pemaknaan ganda kata; Rai bisa berarti Raisa, juga bermakna “surga” (dokumenter Gorbachev terdahulu dibuat oleh sutradara mashur Hollywood Werner Herzog dan Andre Singer).
Mansky bertanya: “Apakah makna hidup hanya berupa mencintai seorang perempuan dan mendapatkan anak darinya? Tidakkah ada makna hidup yang lebih tinggi?”
Gorbachev, yang selalu berpakaian perlente, menatap Mansky, dan menjawab: “Apakah ada makna hidup yang lebih tinggi daripada mencintai dan dicintai seseorang?”