Keberadaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam Pasal 119 sampai Pasal 149 Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) No. 17 Tahun 2014 membawa setumpuk harapan pulihnya marwah dan wibawa Dewan setelah sekian lama babak belur akibat perilaku menyimpang anggotanya. Dengan memperluas kewenangan dari semula berbentuk Badan Kehormatan (BK) dalam UU MD3 sebelumnya (UU No. 27 Tahun 2009) menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam UU MD3 yang baru (UU No. 17 Tahun 2014).
Membaca pikiran pembentuk UU MD3, keberadaan MKD diharapkan menjadi benteng penjaga martabat Dewan. Sederhana memahami jalan pikiran pembentuk undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga politik, diisi oleh aktor politik dari partai politik yang berkamuflase menjadi fraksi di DPR. Libido alami politik adalah uang dan kuasa, demikian pula halnya dengan partai politik di DPR. Keberadaan fraksi di DPR merupakan perpanjangan tangan partai politik.
Dalam konteks politik anggaran, DPR adalah “dapur uang” yang sangat strategis untuk memperkaya pundi-pundi keuangan partai politik. Terlebih lagi fungsi anggaran (budgeting) melekat pada mereka.
Apalagi jamak diketahui, jika anggota DPR senang berurusan dengan penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah kasus korupsi di KPK yang melibatkan anggota DPR menguatkan tesis jika partai politik sangat bergantung pada kadernya di DPR untuk mengisi pundi keuangan partai. Kasus Hambalang, Wisma Atlet, korupsi dana haji, SKK Migas, serta kasus lain yang melibatkan Dewan adalah sederet kasus korupsi yang melibatkna anggota DPR. Fakta inilah yang membentuk jalan pikiran pembentuk undang-undang bahwa diperlukan lembaga yang bertugas menjaga kehormatan Dewan dari perilaku menyimpang anggotanya. Maka dibentuklah MKD.
Fungsi MKD adalah “pengawasan melekat” terhadap anggota DPR. Konteks pengawasan melekat ini adalah MKD berwenang mengusut dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR. Termasuk dalam mengusut dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua DPR Setya Novanto (SN) dalam skandal lobi perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. MKD diharapkan berpihak di garis fakta dan kebenaran materil.
Namun, apa yang ditonton dalam beberapa sidang MKD membuyarkan harapan itu. Semangat anggota MKD berbanding terbalik dengan semangat pembentuk undang-undang dan semangat undang-undang itu sendiri. Semangat undang-undang menghendaki jika MKD menjadi benteng penjaga kehormatan Dewan dengan menindak perilaku menyimpang anggotanya. Namun, yang tersaji sebaliknya. MKD menjadi panggung penghakiman bagi fakta dan membenarkan penyimpangan.
Harapan untuk mencari kebenaran materil sebetulnya mulai nampak saat MKD memutuskan melanjutkan kasus SN ke tahap persidangan, setelah sebelumnya terancam deadlock lantaran pihak yang mempersoalkan legal standing pelapor serta rekaman yang dinilai bukan alat bukti. Keterangan yang disampaikan Menteri Sudirman Said (SS) sebagai terlapor serta Maroef Sjamsuddin (MS) cukup kuat untuk menjerat SN dengan pelanggaran kode etik yang juga mengandung unsur pidana.
Dalam konteks hukum pidana, keterangan MS dan rekaman sudah memenuhi kualifikasi sebagai alat bukti. Apalagi MS mengakui sebagai pihak yang merekam serta tidak membantah keaslian rekaman tersebut. Demikian pula SN, meskipun konteksnya membela diri, secara tidak langsung membenarkan keaslian rekaman.
Hingga sidang ketiga dengan agenda mendengarkan kesaksian SN, sebetulnya MKD sudah bisa menghasilkan keputusan bahwa pelanggaran kode etik itu nyata terjadi. Apalagi ada unsur pemufakatan jahat di dalamnya. Seseorang dengan menggunakan baju Ketua DPR, bertindak sebagai makelar, membicarakan perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia serta melobi saham dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Pasal 18 UU No. 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) mendefinisikan tindakan itu sebagai “memperdagangkan pengaruh jabatan (trading influence)”. Tanpa perlu bergantung pada kehadiran pengusaha M. Riza Chalid yang bisa diputus secara in absentia.
MKD seyogianya bisa mengambil langkah tegas. Apalagi dukungan publik untuk membongkar skandal ini begitu massif disuarakan. Ditambah dengan perangkat undang-undang yang memberikan kewenangan besar kepada MKD untuk membuat keputusan. Pasal 145 ayat (1) UU MD3 menyebutkan bahwa “Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan didasarkan atas: a. asas kepatutan, moral, dan etika; b. fakta dalam hasil sidang Mahkamah Kehormatan Dewan; c. fakta dalam pembuktian; d. fakta dalam pembelaan; dan e. Tata Tertib dan Kode Etik”.
Moral etika sudah terang dilanggar. Fakta dalam sidang MKD sudah jelas terurai. Demikian pula dengan fakta dalam pembuktian. Tidak ada alasan bagi MKD untuk memutus pelanggaran ringan sebagaimana dalam kasus pertemuan Setya Novanto dan Fadli Zon dengan Donald Trump pada September lalu. Terkecuali MKD sudah lupa akan keberadaannya dalam undang-undang. Jika itu terjadi, tamatlah wibawa Dewan!