Pengandaian masyarakat tentang masa depan selalu dibayang-bayangi oleh dampak buruk dari pesatnya perkembangan teknologi, khususnya internet. Isu seperti cyberbullying, cybersex, pencurian data pribadi, kesehatan, hingga terasingnya masyarakat dari dunia nyata selalu menjadi alasan agar kita tidak terlalu banyak menghabiskan waktu dalam dunia virtual.
Di dalam film, bayang-bayang dampak buruk tersebut banyak dihadirkan melalui genre cyberpunk. Film-film seperti Akira (1988), Ghost in The Shell (1995), I, Robot (2004), dan Blade Runner (1982) banyak menampilkan latar masa depan distopia yang terlihat dari majunya peradaban secara teknologi, namun diikuti dengan absennya penegak hukum, tingginya tingkat kriminalitas, hingga malfungsi dan penyalahgunaan teknologi itu sendiri.
Ready Player One (2018), fillm yang disutradarai Steven Spielberg, juga menunjukkan hal sama.
Dalam film ini, kita diajak mengikuti Wade Watts (Tye Sheridan), yatim piatu dan fanatik budaya pop yang tinggal bersama tante dan kekasihnya di sebuah apartemen kumuh berbentuk tumpukan karavan di pinggir kota. Kehidupan yang menyedihkan membuat Wade mencari pelarian ke OASIS, realitas virtual yang dikembangkan James Halliday (Mark Rylance), berupa dunia dimana setiap pemain di dalamnya bisa menjadi apa saja, bermain apa saja.
Sebelum meninggal, Halliday berpesan jika siapa pun yang mampu menemukan easter egg yang dia sembunyikan di dalam dunia virtual akan menjadi pemilik tunggal dunia tersebut. Hal itu menyebabkan Parzival (identitas virtual Wade) bersama pemain lainnya bersaing untuk mendapatkan easter egg tersebut.
Ketika banyak film cyberpunk menyajikan latar dengan teknologi yang jauh di luar imajinasi penontonnya, Ready Player One tidak. Teknologi-teknologi di dalamnya lebih terkesan akrab dan masuk akal. Misalnya saja penggunaan drone sebagai kurir pengantar barang, ide yang sebenarnya memang telah dikembangkan oleh perusahaan e-commerce Amazon. Penggunaan kacamata VR sebagai konsol untuk terhubung dengan OASIS kini juga telah dikembangkan dan telah menjadi konsol paling mutakhir untuk bermain gim.
Isu lainnya banyak terkait dengan filosofi dalam dunia siber, salah satunya tentang identitas yang cair. Ketika Parzival bertemu dengan Art3mis (identitas virtual Samantha Cook, yang diperankan Olivia Cooke), Parzival jatuh cinta. Keinginannya untuk menyatakan cinta dihalangi oleh kawan virtualnya, Aech (identitas virtual Helen, yang diperankan Lena Waithe), yang mengatakan jika sangat mungkin identitas nyata Art3mis bukanlah perempuan, tetapi seorang laki-laki.
Film ini menyajikan ragam perspektif tentang bagaimana cara bersikap di dunia virtual. Ketika avatar dalam OASIS bisa dengan mudah diganti, identitas menjadi hal yang abu-abu dan tak bisa lagi diyakini. Hal ini serupa dengan avatar yang biasa kita pakai dalam Twitter, Instagram, atau Facebook.
Avatar sebagai penanda identitas yang bisa diubah sedemikian rupa. Pemisahan identitas nyata dan virtual juga menjadi topik yang disorot dalam film. Diungkapnya identitas asli Parzival oleh dirinya sendiri menyebabkan data-data pribadinya disalahgunakan hingga keselamatannya terancam. Serupa namun kebalikannya, di Indonesia misalnya banyak orang yang berlomba-lomba untuk menggali jejak digital politisi atau publik figur, dengan tujuan untuk menjelek-jelekan, atau sekadar menjadi bahan lawakan.
Penggambaran Ready Player One tentang dunia nyata memang ikut mereproduksi pesimisme masyarakat tentang kemajuan teknologi, misalnya saja kehadiran drone sebagai alat pengintai atau sebagai perangkat teror, atau ruang simulasi dimana manusia bisa diperbudak secara virtual; hal yang juga direproduksi oleh film-film bergenre sama sebelumnya.
Yang membedakan adalah, OASIS sebagai dunia virtual di dalam film tersebut mampu menawarkan ide alternatif jika konsep dunia virtual mampu menopang kehidupan masyarakat yang tengah terpuruk.
Ketika Parzival memenangkan teka-teki pertama Halliday, dia mendapatkan banyak koin virtual yang langsung dia belanjakan dalam bentuk peralatan dalam gim. Ternyata, tidak hanya barang-barang virtual, Parzival juga bisa membelanjakan perangkat VR berbentuk kostum menggunakan koin virtual tersebut. Dari sini kita bisa membayangkan, ketekunan Wade dan kesuksesannya dalam OASIS bisa membuat dirinya di dunia nyata juga sukses, baik secara finansial maupun sosial.
Dengan demikian, alih-alih membayangkan dunia nyata dan dunia virtual sebagai dunia yang diberi tembok tebal dengan satu sama lainnya tidak terkait sama sekali, Ready Player One mengandaikan dunia virtual dan dunia nyata seperti membran, saling terkait, tempat dimana orang-orang di dalamnya bisa leluasa berpindah, membawa makna-makna dunia nyata ke dunia virtual, dan vice versa.
Ide alternatif yang disajikan dengan begitu apik oleh Steven Spielberg bisa saja menjadi pertimbangan kita dalam menilai kembali dunia virtual, atau dalam hal ini dunia internet. Bukan tidak mungkin, pekerjaan seperti selebgram, toko-toko daring, hingga para pemain game yang menggantungkan kehidupannya menggunakan internet akan menjadi tombak utama ekonomi masa depan, ketika ekonomi konvensional stagnan, bahkan lumpuh.
Bahkan saking pentingnya OASIS, perusahaan pesaing bernama IOI rela merekrut banyak pasukan untuk bisa menyelesaikan teka-teki yang diberikan Halliday. Tidak hanya pasukan, IOI juga mempekerjakan ilmuwan-ilmuwan budaya pop yang memahami segala rentang produk budaya pop, dari mulai kaset-kaset konsol Atari hingga kumpulan lagu band new wave Inggris, Duran Duran.
Untuk memenangkan pertarungan dalam OASIS, pemilik IOI Nolan Sorrento (Ben Mendelsohn) bahkan menggunakan cara-cara licik. Mulai dari pengintaian, pencurian data pribadi, penyogokan, hingga memonopoli sumber virtual dia lakukan agar tujuannya mendapatkan easter egg Halliday bisa tercapai.
Praktik-praktik yang Sorrento lakukan tidaklah sekadar fiksi dalam sebuah film. Praktik pengintaian dan pencurian data pribadi adalah permasalahan pelik yang sekarang sedang mengintai pengguna internet global. Di tengah perkembangan teknologi informasi yang kian pesat, bukan tidak mungkin praktik-praktik tersebut malah menghambat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap internet.
Akhirnya, antara pesimisme dan optimisme masa depan, Ready Player One menjabarkan keduanya secara berimbang. Pesimisme ketika dunia nyata yang ditinggali sudah tidak lagi menawarkan harapan, optimisme ketika dunia virtual bisa dipakai sebagai alat untuk memperbaiki kehidupan di dunia nyata.
Kolom terkait:
Yes We Scan: Perjuangan Edward Snowden dan Senjakala Kehidupan Privat