Pengalaman pribadi merupakan pengetahuan berharga yang dapat divisualisasikan ke dalam film. Namun, sejauhmana pengalaman itu bisa dieksplorasi lebih jauh? Pertanyaan inilah yang saya ajukan saat menonton film terbaru yang disutradarai oleh Ernest Prakasa, Susah Sinyal (2017).
Dua film sebelumnya, Ngenest the Movie (2015) dan Cek Tokoh Sebelah (2016), dengan mengangkat pengalaman personal, yang dialami dan dilihat, Ernest tidak hanya berhasil menceritakan keseharian masyarakat komunitas Tionghoa, melainkan juga sisi terdalam yang kerap tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum kebanyakan. Alih-alih menceritakan apa yang menurutnya baik, dengan menertawai diri sendiri, dua film ini menjadi semacam cermin bagaimana kelompok Tionghoa memandang diri dan masyarakatnya begitu juga sebaliknya.
Berbeda dengan dua film sebelumnya, Susah Sinyal (2017) justru menggunakan referensi di luar pengetahuan keseharian Ernest. Meskipun demikian, ketiga film tersebut memiliki genre yang sama: drama komedi. Di sini sisi menariknya, karena itu merupakan suatu hal yang baru mau tidak mau ia harus bekerjasama dengan orang lain dan belajar kembali memahami hal yang baru, baik itu dunia pengacara ataupun konflik yang terjadi antara orangtua dan anak.
Dalam pembuatan skenario, Ernest dibantu oleh Meira Anastasia, sang istri. Ia dan Meira juga banyak berkonsultasi dengan beberapa konsultan hukum dan juga pakar psikologi dalam pengembangan skenario yang dibuat. Satu sisi, secara konseptual, pengetahuan baru yang divisualisasikan ke dalam film ini tidak hanya menantang tetapi juga menyulitkan dirinya sendiri. Apalagi, ia tidak hanya sebagai sutradara, pembuat skenario, melainkan juga salah satu tokoh yang berperan dalam film tersebut.
Tantangan ini dijawab oleh Ernest dengan karya yang tidak hanya menghibur, melainkan juga memberikan satu perspektif dalam sebuah film mengenai persoalan keseharian yang seringkali kita lihat dan dialami dalam sebuah keluarga, baik itu konflik ataupun perceraian.
Lebih jauh, Ernest tidak berhenti di sana, ia memberikan semacam pernyataan secara halus terkait pernikahan dini yang memiliki ragam alasan tetapi bisa berakibat buruk jika tidak diatasi dengan baik. Di sini, ia tidak hanya memunculkan persoalan, melainkan memberikan jalan keluar dengan potongan-potongan cerita yang ringan, sederhana, sekaligus menyentuh.
Film ini bercerita mengenai Ellen Tirtoatmodjo (Adinia Wirasti), seorang perempuan yang bekerja sebagai pengacara sukses dan juga sebagai orangtua tunggal (single parent) untuk anaknya Kiara Tirtoatmojo (Aurora Ribero), yang sedang tumbuh sebagai remaja putri yang membutuhkan perhatian.
Ellen sendiri menikah pada usia muda. Pernikahan itu bukan keinginannya sendiri, melainkan keinginan Sang Opa yang menginginkan melihat cucu sebelum ia meninggal. Ellen pun kemudian dinikahkan. Dalam pernikahan tersebut suaminya ternyata selingkuh dan suka dengan banyak perempuan. Saat usia Kiara dua tahun itulah Ellen dan suaminya bercerai. Ia, dengan menaruh rasa dendam kepada laki-laki, meneruskan kembali ke jenjang kuliah S1 dengan mengambil Jurusan Hukum.
Setelah lulus dan mengambil pendidikan khusus profesi advokat, ia bekerja secara keras sehingga menjadi pengacara sukses dalam sebuah Firma Hukum. Kesuksesannya menangani kasus-kasus besar inilah yang membuatnya berinisiatif membuat firma hukum sendiri dengan mengajak sejawatnya Iwan (Ernest Prakarsa), sebelumnya bekerja di kantor yang sama.
Kesuksesan yang ia raih berakibat kepada kelalaiannya dalam mendidik dan mengasuh Kiara. Kondisi ini membuat hubungan keduanya menjadi tidak akur. Namun, Ellen dan Kiara beruntung. Mereka masih memiliki sosok Oma Agatha (Ninek L.Karim), tidak hanya menjadi penengah di antara keduanya, melainkan menjadi tempat satu-satunya bersandar bagi Kiara dan mengurusi dan memberikan perhatian kepadanya setiap hari.
Petaka itu muncul saat Oma, satu-satunya sandaran Kiara, meninggal karena serangan jantung. Untuk mengembalikan posisi dirinya sebagai seorang ibu dan menggantikan posisi Oma, atas saran guru bimbingan konseling Kiara, Ellen pun berusaha memperbaiki hubungan yang sempat terputus. Ia mengajak Kiara untuk berlibur sejenak ke Pulau Sumba. Di tengah sulitnya akses sinyal dan keterbatasan fasilitas saat berlibur ini justru merekatkan mereka berdua. Kiara mulai mengerti bahwa sang Ibu begitu mencintainya, begitu juga sebaliknya.
Saat kedua hubungan ini terjalin dengan baik, Ellen dan Kiara mengalami situasi sulit dan saling membutuhkan saat mereka kembali ke Jakarta. Ellen sedang menangani sidang kasus persoalan perwalian anak yang pertama kalinya sejak Firma Hukumnya berdiri. Sementara itu, Kiara membutuhkan kehadirannya saat ingin naik ke dalam panggung mengikuti ajang perlombaan tarik suara.
Ellen terjebak dalam sidang tersebut karena ia harus memenangkannya sehingga tidak bisa pergi meninggalkan begitu saja. Di sisi lain, Kiara menunggu kehadirannya sebagai penyemangat utama. Apalagi, lagu khusus dalam audisi tersebut sedang disiapkan Kiara untuk Ellen. Ellen kalah dalam persidangan dan Kiara pun mengalami kegugupan dan akhirnya gagal dalam audisi.
Kegagalan tersebut membuat Kiara marah yang kemudian dilampiaskannya dengan kabur dari rumah. Setelah mengecek laptop milik Kiara, Ellen kemudian menyusulnya menuju ke Pulau Sumbawa, tempat mereka berlibur sebelumnya. Hubungan keduanya pun mencair setelah Ellen menceritakannya mengapa ia bercerai dari sang ayah.
Dalam pertemuan di pinggir pantai tersebut, Ellen kemudian memberikan kejutan kepada Kiara, yaitu sebuah video yang berisi ajakan Andien, idolanya, yang memintanya untuk menyanyi bersama dalam sebuah album yang sedang digarap Andien.
Menonton film ini benar-benar mengaduk emosi. Selain tiba-tiba bisa membuat bersedih, namun rasa sedih itu kemudian tiba-tiba tergantikan dengan aksi-aksi kocak yang mengocok perut dengan kehadiran para Stand Up Comedy seperti duet Yos-Melki (Abdur Arsyad-Ari Kriting), Iwan-Ibunya, Saodah (Aci Resti), Ngatno (Dodit Mulyanto).
Film ini menjadi semakin menghibur ketika para wartawan saat mewawancarai artis yang bercerai mempertanyakan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Misalnya, mengenai teori bumi datar. Selain itu, kelebihan film ini adalah Ernest dengan proporsional bisa merepresentasikan secara baik keseharian yang dialami oleh masyarakat di tengah kehadiran telepon pintar dan media sosial yang menjadi ruang publik baru untuk berekspresi.
Dengan demikian, Susah Sinyal bukan hanya merefleksikan hubungan yang tidak akur dalam sebuah keluarga yang dialami Ellen dan Kiara, melainkan juga perubahan komunikasi masyarakat Indonesia dan dunia yang memiliki ketergantungan secara riil kepada telepon genggam, di mana media sosial, baik itu membuat status ataupun menjadi mikro-selebriti menjadi satu hal yang terelakkan. Hal ini direfleksikan dengan baik dengan sosok Kiara.
Judul yang merepresentasikan kondisi masyarakat ini juga yang membuat daya tarik orang untuk menonton film ini. Kerja keras, keluar dari zona pengetahuan personal, dan upaya menaikkan level karya ini menjadi terbayarkan dengan jumlah orang yang menonton. Setelah 13 hari film ini diputar, ada 1.464.881 yang sudah menonton. Saya yakin rasa cemas yang dikhawatirkan sebelumnya Ernest saat ingin memulai proses pembuatan film ini, sekarang menjadi buah yang manis untuk dinikmati.
Kolom terkait:
Keberanian dan Kedewasaan Ernest Prakasa