Sekala Niskala ini film Bali? Pembuatnya orang Bali? Kok, ke-Bali-Balian?
Inilah komentar paling menonjol bahwa Sekala Niskala adalah kesemuanya tentang Bali. Sebenarnya konsep sekala niskala ini universal. Antara alam nyata dan alam tidak nyata. Bukan hanya Bali yang mempercayai dua alam itu. Namun, memang Bali yang citranya teramat kental.
Masih banyak saya temui bahwa kehidupan apa pun, terutama bagi orang Bali, selalu dihubungkan dengan alam nyata dan tidak nyata itu. Sakit menahun, batuk tak kunjung sembuh, hidup yang serba melarat, keturunan yang tidak bijak, dan hal lainnya akan disikapi dua sisi oleh orang Bali. Dilihat secara nyata dengan berobat, pergi ke puskesmas, diet, dan yang tidak kalah pentingnya adalah peran “orang pintar”, dunia leluhur, juga doa kuat-kuat. Jika dua dunia itu sudah dikerahkan, tak kunjung sembuh atau bahagia, maka orang Bali menerimanya sebagai takdir.
Sebelum tayang di bioskop pada 1 Maret 2018, film Sekala Niskala telah memiliki penonton fanatik dalam jumlah besar. Ini karena ada rasa “Bali” yang kental yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan yang terus dijaga orang Bali.
Film ini, seandainya bisa dinikmati anak-anak atau remaja dengan gamblang dan terbuka, mungkin bisa jadi media “pengingat” yang baik. Pengingat tentang apa? Pengingat bahwa di dunia ini hidup tidak hanya ditentukan oleh yang hidup, hidup tidak hanya ditentukan oleh yang terlihat, yang terdengar, atau yang terasa. Ada hal lain yang harus dihargai jika ingin hidup yang seimbang di dunia ini.
Karena bergenre film festival dengan semiotika yang sangat tinggi, film ini belum mampu diterjemahkan dengan baik oleh anak-anak atau remaja secara mandiri. Sebaiknya remaja dan anak-anak yang menonton didampingi orang tua untuk menjelaskan makna-makna setiap adegan. Sayangnya, tidak semua orang tua atau yang dituakan juga memahami semiotika.
Untuk orang luar Bali apalagi, orang tua asli Bali saja masih mengawang-ngawang ketika memahami film sarat akan semiotika ini. Bagaimana hubungan telur, Tantri, Tantra, dan Tari?
Kemudian ada selentingan, bagaimana sebuah film bisa dikatakan sukses jika tidak mampu dipahami orang awam? Bukankah sebuah film akan menjadi kenangan jika maknanya tak bisa melekat tajam di ingatan penontonnya?
Bagaimana mungkin bisa mendapat penghargaan banyak, jika penonton bioskopnya saja sedikit? Apa sebuah film baru berarti ketika sutradara presentasi tentang filmnya? Dan perdebatan-perdebatan yang mungkin lebih bijak jika dijawab penggiat film. Film yang baik itu bisa dilihat dari kriteria apa? Jumlah penonton? Estetika? Atau piala citra?
Lepas dari banyak yang mengaku mengawang-awang, film Sekala Niskala ini adalah garapan anak muda yang berani menyuarakan kegelisahannya. Meyakinkan sekali lagi bahwa memang hidup bukan tentang yang hidup saja.
Film ini dibuka dengan adegan seorang anak perempuan mencengkram sebutir telur, kemudian telur ini seolah menjadi simbol narasi yang kuat. Telur sebagai penggiring makna. Semua berawal dari telur.
Anak perempuan yang hobi makan putih telur, pada suatu ketika menemukan telur tanpa sarinya, kemudian tentang kembarannya yang mengambil telur dari sesaji, lalu dunia lain menghakimi jika telurnya dicuri. Hingga, satu per satu indera sang anak pengambil telur itu diambil. Kematian yang akhirnya memisahkan antara kembar Tantra dan Tantri. Kematian itu memang menyiksa, menyakitkan, namun apakah yang hidup juga ikut mati pada akhirnya?
Film kedua karya Kamila Andini tersebut berkisah tentang kekerabatan yang erat antara Tantri dan Tantra, anak kembar yang lahir dan tinggal di sebuah pedesaan di Bali. Tantri, bocah berusia 10 tahun, adalah kembaran Tantra, yang harus dirawat di rumah sakit akibat penyakit yang menggerogoti kemampuan otaknya. Tantri selalu berada di samping Tantra. Membawa keceriaan, mengajak Tantra bermain musik, menari dengan kostum ayam dari janur, atau menanam sebatang padi.
Semua dilakukan di rumah sakit di tempat Tantra dirawat. Ada satu adegan saat Tantra menjadi dalang yang cukup memberikan pemahaman lain tentang mitos. Tentang cerita burung kedasih yang selalu dikaitkan dengan kisah kematian. Cerita ini pun terdengar ketika saya masih kanak-kanak yang sekarang sudah beranak pinak.
Kehadiran burung ini paling tak diharapkan. Konon, katanya, kicauannya amat menakutkan karena kerap dikaitkan dengan penanda adanya kematian di sekitar keberadaan sang burung. Meski sangat sulit dijelaskan dalam sebuah kajian ilmiah, mitos atas burung ini telanjur melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak dahulu kala.
Di beberapa daerah di Indonesia memilikii beragam nama, ada yang menyebutnya burung kedasih, daradasih, untit untit, srintit sirit uncuing, dan emprit gantil. Rupanya dalam kenyataan, burung ini memang memiliki perilaku licik dan kejam. Burung ini tak memiliki sarang untuk merawat anak-anaknya.
Kedasih justru menitipkan telur di dalam sarang milik burung-burung lain yang memiliki ukuran lebih kecil. Teganya lagi, sudah menitipkan telur, kadang Kedasih malah merusak telur-telur milik induk yang dititipi. Setelah menitipi telur-telurnya, Kedasih akan mencari pasangan baru lagi. Kemudian bertelur lagi dan menitipkan telur lagi. Begitu seterusnya. Ini sarat akan nilai moral bagaimana seharusnya bertanggung jawab dan mengasihi.
Dalam kepercayaan orang Bali, mengambil sesajen tanpa permisi atau belum lungsuran (belum dipersilakan), termasuk di dalamnya sebutir telur, akan membuat sang pemilik sesaji di alam tidak nyata merasa marah. Kemarahan yang tak berbentuk, tak berwujud, dan tak terlihat ini efeknya lebih dahsyat. Begitu kepercayaannya. Berawal dari sebutir telur, Tantra harus abadi dalam kematian.
Di saat malam, di bawah bulan purnama, Tantri menjelma riang, bermain dan menari dengan makhluk tak kasat mata, mengisahkan tentang hidupnya kepada bulan dan Tantra. Ketika siang tiba, Tantri kembali bertemu dengan kenyataan dan Tantra yang tak berdaya dan tergolek di tempat tidur rumah sakit dengan sebelumnya inderanya tercerabut satu demi satu.
Film The Seen and Unseen sendiri telah meraih sejumlah penghargaan, di antaranya dari Tokyo Filmex 2017, serta Best Youth Film di ajang Asia Pasific Screen Award. Dan yang lebih penting lagi, penghargaan di mata masyarakat dengan adanya film ini, bahwa Bali bukan menyembah telur, bukan menyembah gunung, bukan menyembah pohon, menyembah purnama, melainkan menghargai yang tak kasat mata, tak terlihat, tak teraba, namun harus dirasa.
Baca juga:
Nyepi 2018: Bali Berani Berhenti?