Di tengah meningkatnya intoleransi beragama dengan eskspresi Islamisme yang menguat dalam ruang publik, advokasi sosial untuk merawat kebhinekaan menjadi bagian yang penting. Namun, selama ini advokasi sosial untuk menjaga obor kebangsaan tersebut selalu memfokuskan kepada empat hal sebagai bagian dari kampanye: pelatihan, seminar, aksi demonstrasi, riset dan publikasi.
Sementara itu, mengkampanyekan kemajemukan lewat budaya populer, khususnya film, relatif masih sedikit. Padahal, praktik kampanye lewat budaya populer itu merupakan sarana efektif untuk menyebarkan benih-benih toleransi dan keberagamaan.
Selain diputar dalam momentum yang tepat, kehadiran film ketiga yang disutradarai Nurman Hakim ini memberikan kontribusi penting dalam mengkampenyakan hal tersebut. Ini karena Nurman tidak hanya mengangkat potret realitas mengenai konflik dan ketegangan yang terjadi di level akar rumput dalam masyarakat, khususnya mengenai Muslim Indonesia, melainkan juga mengkritik sekaligus membela praktik-praktik Islam yang selama ini dianggap salah oleh beberapa kelompok organisasi Muslim di Indonesia.
Film ini dibuka dengan sekelompok ibu-ibu pengajian yang memainkan rebana di pengajian Maulid Nabi Muhammad. Di tengah tepukan rebana dan suara memuji Sang Nabi, dua laki-laki muda bergantian memandang seorang gadis cantik berkerudung. Haji Rohili (Fuad Idris), sang ayah gadis itu, tersenyum melihat hal tersebut. Secara bersamaan tiba-tiba datang dua lelaki yang sedang mabuk ikut dalam pengajian tersebut.
Bertolak dari sini, jalan cerita dimulai. Kamal (Dimas Aditya) adalah kekasih Khalidah (Ayushita). Ia dididik dalam tradisi modern-puritan, di mana tradisi lokal Islam, seperti tahlilan, ziarah kubur, dan pembacaan barzanji tidak menjadi referensi berislam yang diperbolehkan. Ia sendiri adalah anak semata wayang Aji Jamat (Ronny P. Tjandra), orang paling kaya di kampung tersebut.
Sebaliknya, Khalidah dididik melalui tradisi berislam yang ditentang oleh Kamal dan keluarganya. Karena perbedaan berislam ini mereka tidak hanya mendapatkan pertentangan dari kedua keluarga masing-masing, melainkan berimbas kepada hubungan cinta mereka.
Konflik dua pasangan kekasih dan keluarga ini makin mengeras sejak kedatangan Ustaz Jais (Alex Abbad), kemenakan ayah Kamal, lulusan Madinah, berwatak puritan.
Kehadiran Ustaz Jais tidak hanya membangun sekolah Islam melalui bantuan pendanaan jaringannya di Arab Saudi, melainkan juga membersihkan penyakit agama yang dianggap sedang diidap oleh masyarakat kampung. Upaya purifikasi Ustaz Jaiz mendapatkan kekuatan dan pembenaran sejak ada dua orang teman lamanya saat nyantri di Pondok Pesantren dahulu, yang meminta untuk bergabung, terlibat dalam dakwah tersebut.
Pertarungan ideologi Islam ini terlihat dengan kehadiran Masjid As-Salam sebagai ruang publik Islam. Perlahan Ustaz Jaiz dan kelompoknya mulai menguasai masjid dengan memunculkan sejumlah aturan yang mereka tegakkan. Misalnya, tidak diperbolehkan latihan rebana untuk Maulid Nabi, merapatkan barisan salat dengan kedua kaki yang saling menempel, dan diusirnya transgender Sandra (Ade Firman) untuk salat di masjid dengan menempati barisan salat perempuan.
Tak hanya itu, jamaah pengajian Haji Rohili juga tergerus, sebagian mengikuti pengajian Ustaz Jaiz. Haji Rohili yang sebelumnya tokoh agama di kampung tersebut pun harus menyingkir dari masjid. Dia seperti orang pesakitan; hanya salat berjamaah di rumah dengan isterinya. Puncaknya terjadi baku hantam antara kedua kelompok saat Haji Rohili ingin mengadakan Nishfu Sya’ban di masjid, di mana keduanya tidak bisa menerima alasan masing-masing.
Pertentangan dua ideologi tersebut mengakibatkan pergulatan identitas, tidak hanya Khalida dan Kamal, tapi juga Faruq, Ketel, dan Sandra. Bagi Khalida, rasanya tidak mungkin meneruskan hubungan mereka berdua ke jenjang pernikahan jika tradisi lokal Islam yang selama ini dipraktikkan justru dilawan oleh calon suaminya, Kamal.
Sementara, bagi Kamal, meski merasa praktik puritan Islam itu sebagai kebenaran atas pemahaman yang diyakini, ia menganggap tradisi tersebut sebagai bid’ah (sesuatu yang dibuat-buat dan tidak ada saat zaman Nabi Muhammad). Namun, cinta kepada Khalida mengalahkan itu semua. Di tengah kebimbangan ini, sosok Hasan (Ibnu Jamil), yang memiliki pemahaman tradisi Islam lokal, masuk ke dalam relung hati Khalida.
Bagi Faruq (Wawan Cenut) dan Ketel (Norman Akyuwen), kehadiran Ustaz Jaiz justru telah mengubah diri mereka, dari dua pemabuk kampung yang bikin onar menjadi agamis melalui keterlibatannya dengan menjadi pegawai di toko sekolah Islam yang dikelola Ustaz Jaiz.
Adapun Sandra, karena sudah tinggal di kampung tersebut sejak kecil, justru merasakan dan memotret dengan baik, bagaimana perubahan dan perbedaan praktik keislaman yang justru semakin mengeras dan meminggirkan identitas transgender seperti dirinya. Hal ini ia sadari saat ia tidak diperbolehkan salat di masjid dalam barisan perempuan, yang kemudian membuatnya harus menyingkir dari kampung tersebut.
Alih-alih menghakimi dengan menguatkan apa yang dianggap benar dan salah, Nurman Hakim justru membongkar stereotip yang selama ini muncul di masyarakat kita dan menempatkan persoalan etika publik sebagai hal yang perlu dikedepankan. Di sisi lain, ia mengajak kita untuk mempertimbangkan ulang atas klaim kebenaran Islam yang sebenarnya merupakan penafsiran, yang bisa salah dan benar.
Hal ini terlihat jelas dengan penangkapan atas dua sahabat lama Ustaz Jaiz yang selama ini menjadi incaran pihak kepolisian karena terlibat dalam sejumlah aksi terorisme, salah satunya terkait bom Sarinah. Meski berpaham puritan, bercelana cingkrang dan jenggot yang lebat, dalam film ini Ustaz Jaiz justru ditunjukkan sebagai sosok yang bisa bernegosiasi dengan keadaan dan ia juga tidak setuju terhadap aksi-aksi terorisme.
Nurman Hakim juga menyuguhkan perubahan sosok Faruk dan Ketel dari preman menjadi lebih Islami. Dengan pemahaman Islam yang sedikit, keduanya justru melakukan kekerasan atas nama Islam dengan menghancurkan karaoke dangdut jalanan, yang sebelumnya mereka ikuti dan terlibat. Fenomena mendadak Islam ini yang sering terjadi di sekitar kita dengan kemunculan paramiliter yang mengatasnamakan Islam.
Keberpihakan Nurman pada Sandra, sosok transgender, melalui pembelaan yang dilakukan Haji Rohili, dengan melihat sisi kemanusiaannya, merupakan sikap bagaimana Islam menempatkan akhlak di atas semuanya. Nurman juga cukup baik menyentil asumsi negatif yang selama ini berkembang tentang dua ideologi ini dengan celetukan-celetukan yang muncul dalam percakapan sepanjang film, yang membuat penonton untuk berpikir sejenak.
Melalui potret perbedaan pemahaman Islam yang selama ini dianggap sensitif, Nurman justru mengajukan argumen bahwa perbedaan itu merupakan hal yang tidak terhindari. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya dengan bijaksana dan saling menghormati. Karena perbedaan itu wajah Islam sesungguhnya yang harus diterima oleh masyarakat Indonesia.
Bagaimana akhir kisah asmara Khalida dan Kamal? Yang jelas, tarian zapin yang ditampilkan dalam film ini cukup asyik dinikmati. Boleh jadi isu yang diangkat Nurman ini pasti memunculkan polemik di masyarakat yang kemudian berujung kepada justifikasi kebenaran narasi Islam secara sepihak.
Namun, di tengah sesaknya udara isu pengkafiran dan upaya menyesatkan kelompok Islam lain karena dianggap memilih salah satu calon dalam Pilkada Jakarta, film ini menjadi tabung oksigen yang mesti kita hirup bersama-sama. Ini dilakukan untuk menguatkan bahwa perbedaan dan keragamaan atas pemahaman Islam itu sebuah keniscayaan yang membuat Indonesia bisa tegak berdiri hingga sekarang.