Prof. Dr. Yunahar Ilyas salah seorang tokoh Muhammadiyah secara pribadi saya tidak punya interaksi yang intensif. Selama ini saya tak banyak bertatap muka, apalagi terlibat dalam percakapan. Baik yang enteng-entengan maupun yang bikin alis berkerut. Demikian pula dari sisi pemikiran. Saya tidak banyak mengoleksi buku-bukunya, membaca tulisan-tulisannya, atau menyimak ceramah-ceramahnya.
Mungkin terdengar aneh, ada aktivis organisasi otonom Muhammadiyah (Ortom) sampai tingkat pusat tetapi tidak kenal baik dengan Pak Yunahar, yang selama 20 tahun terakhir menjadi salah satu tokoh sentral di Muhammadiyah. Bisa jadi memang aneh. Tapi itu lah kenyataannya.
Alasan utama mungkin karena saya tinggal dan dibesarkan di Ortom Jakarta, sedang Pak Yunahar tinggal dan sebagian besar aktivitasnya di Yogyakarta. Karena dipisahkan jarak, misalnya, saya tidak bisa menghadiri pengajian rutin Tafsir al-Qur’an-nya Pak Yunahar di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta tiap Kamis pagi. Pengajian yang diinisiasi kader-kader IMM UGM dan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah itu cukup legendaris. Dan sayang sekali saya tidak pernah punya kesempatan menghadirinya.
Sungguh, baru belakangan saya merasakan penyesalan yang mendalam. Mengapa? Sebab seolah saya lupa bahwa ketika menulis skripsi di IAIN Jakarta pada 1997 dengan judul Persamaan Kedudukan di Depan Hukum: Telaah Kritis atas Diskriminasi Agama dan Gender dalam Hukum Pidana Islam, saya telah menjadikan karya Pak Yunahar sebagai salah satu rujukan utama. Buku itu berjudul Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
Dalam skripsi itu, untuk sub-bab “Perempuan dalam Pandangan Islam”, saya merujuk pada beberapa ulama tafsir seperti al-Zamahsyari (dengan tafsirnya al-Kassyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil), al-Alusi (Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim wa as-Sab’i al-Matsani), at-Thabari (Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Ayat al-Qur’an), Ibn Abbas (Tanwir al-Miqbas min Tafsiri Ibn ‘Abbas), dan Rasyid Ridlo (Tafsir al-Manar), serta beberapa cendekiawan dan feminis Muslim seperti Asghar Ali Engineer (Hak-Hak Perempuan dalam Islam, 1994), Murtadha Muthahhari (Hak-Hak Wanita dalam Islam, 1995), Riffat Hassan (1996), Didin Syafruddin (1994), dan tentu saja buku Pak Yunahar di atas.
Saat saya mulai menulis skripsi di akhir 1996, memang kajian soal gender sedang berkembang subur di Indonesia. Namun buku-buku masterpiece yang membahas tema Islam dan gender baru terbit beberapa tahun kemudian. Misalnya buku Masdar F. Mas’udi (1997), Ratna Megawangi (1999), Zaitunah Subhan (1999), Nasaruddin Umar (1999), Syafiq Hasyim (2001), Ruhaini Dzuhayatin (2002), dan lain-lain.
Dalam konteks demikian, maka Pak Yunahar termasuk pelopor dalam kajian soal gender dan Islam di Indonesia. Apalagi Pak Yunahar meneruskan kajiannya ketika menulis disertasi yang diselesaikannya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 2004. Disertasi yang lantas diterbitkan dengan judul Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufassir (2006) itu membahas pandangan dua ulama tafsir Indonesia (Hamka dan Hasbi Ash-Shiddiqy) mengenai konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Memang secara konsepsi pemikiran, menurut Mbak Ruhaini Dzuhayatin, Pak Yunahar tidak masuk dalam kategori feminis liberal. Sebagaimana diungkapkan Mbak Ruhaini dalam tulisannya di buku ini, dalam berbagai forum diskusi soal gender dan Islam di sekitaran Yogyakarta sejak 1990-an, banyak yang menganggap Mbak Ruhaini sebagai feminis liberal, sedang Pak Yunahar sebagai feminis konservatif. Meski demikian, sebagaimana dinyatakan Mbak Ruhaini, karena interaksi keilmuan yang intensif di antara mereka berdua, maka ada kecenderungan bahwa dalam isu-isu tertentu mereka berdua saling mempengaruhi.
Secara garis besar, Pak Yunahar membagi ayat-ayat al-Qur’an soal kesetaraan laki-laki dan perempuan menjadi dua bagian: normatif dan kontekstual. Secara normatif, al-Qur’an menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Misalnya dalam QS al-Hujurat 13 dinyatakan bahwa semua manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, dan perbedaan-perbedaan lain yang bersifat given, mempunyai status yang sama di hadapan Allah. Kemuliaan atau kehinaan mereka ditentukan oleh tingkat ketakwaan. Sementara ketakwaan bukanlah sesuatu yang given, namun tergantung upaya masing-masing individu.
Secara lebih khusus, kesetaraan laki-laki dan perempuan ditegaskan dalam QS al-Ahzab:35, yang menyatakan bahwa setiap hamba yang muslim, yang mukmin, yang konsisten, yang lurus, yang sabar, yang berpuasa, yang memelihara kehormatan, yang berzikir, baik laki-laki maupun perempuan, maka Allah akan menyediakan ampunan dan pahala yang besar.
Meski secara normatif al-Qur’an menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan, namun kata Pak Yunahar, secara kontekstual al-Qur’an menyatakan adanya kelebihan tertentu laki-laki atas perempuan. Misalnya dalam hal penciptaan laki-laki dan perempuan, perwalian, perceraian, poligami, pembagian warisan, bobot kesaksian, dan sebagainya.
Sayangnya, kata Pak Yunahar seraya mengutip Asghar Ali Engineer, para mufassir klasik memahami ayat-ayat itu semata-mata dengan pendekatan teologis dan mengabaikan pendekatan sosiologis. Untuk mengatasi penafsiaran bias gender ini Pak Yunahar mendorong penggunaan pendekatan sosio-teologis, sebagaimana disarankan Asghar:
“Meskipun demikian, al-Qur’an memang berbicara tentang laki-laki yang memiliki kelebihan dan keunggulan sosial atas perempuan. Ini harus dilihat dalam konteks sosial yang tepat. Struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pendekatan sosio-teologis. Bahkan al-Qur’an pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak ada kitab suci yang bisa efektif jika mengabaikan konteksnya sama sekali.”
Salah satu contoh pendekatan sosio-teologis ini terlihat dari posisi Pak Yunahar dalam perdebatan tentang argumen supremasi laki-laki atas perempuan. Dalam QS al-Nisa’ 34 dinyatakan: “Kaum laki-laki adalah qawwamun bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari sebagian harta mereka.”
Dalam kitab-kitab tafsir klasik, berdasarkan ayat ini kaum laki-laki digambarkan memiliki superioritas mutlak atas kaum perempuan. Semua bermula dari kata “qawwamun” dalam ayat tersebut. At-Thabari mengartikan qawwamun adalah penanggung jawab. Artinya laki-laki bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing istri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun kepada suaminya.
Ibn Abbas mengartikannya sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk mendidik perempuan. Lalu al-Zamakhsyari memaknai bahwa kaum laki-laki wajib melaksanakan amar makruf nahy munkar kepada wanita sebagaimana penguasa kepada rakyatnya. Sedangkan menurut Rasyid Ridho, kata itu berarti pemimpin, namun cara yang ditempuh bukan pemaksaan melainkan bimbingan dan penjagaan.
Yang lebih menarik lagi adalah melihat argumen para mufassir untuk menegaskan superioritas laki-laki atau suami. Dari teks ayat di atas, superioritas laki-laki hanya disebabkan “karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain”, serta “karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari sebagian harta mereka”.
Alasan pertama jelas bersifat umum, karena tidak tegas di situ Allah melebihkan laki-laki dalam hal apa. Namun para mufassir kemudian mengembangkan uraian yang tampak bias gender. Misalnya, Ibn Abbas menyatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan disebabkan karena laki-laki dikaruniai kelebihan akal. Sementara al-Zamakhsyari menyatakan bahwa kelebihan laki-laki itu bersifat alami, karena pada umumnya laki-laki memiliki kelebihan penalaran, tekad yang kuat, keteguhan, kekuatan, kemampuan tulisan, dan keberanian.
Lalu di mana posisi Pak Yunahar? Dalam wacana ini Pak Yunahar mencoba untuk menelaah ayat di atas secara menyeluruh, dan berkesimpulan bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga bersifat normatif, bukan kontekstual. Jadi menurut Pak Yunahar, al-Qur’an memang menetapkan laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga (entah kalau untuk urusan publik).
Namun, Pak Yunahar memberi catatan, bahwa laki-laki tidak boleh menegakkan kepemimpinannya secara otoriter dengan mengabaikan kemauan dan pertimbangan istri. Prinsip musyawarah berlaku untuk semua kepemimpinan, termasuk kepemimpinan laki-laki dalam kehidupan rumah tangga (1997, h. 127).
Dengan pandangan seperti ini memang Pak Yunahar tidak dapat dikategorikan sebagai feminis liberal. Namun tidak juga konservatif. Yang tepat ya itu: moderat. Dengan melihat posisi seperti itulah kenapa muncul penyesalan saya yang pertama. Saya menyesal karena dalam waktu lama telah melupakan bahwa Pak Yunahar adalah pemikir feminis Muslim dan moderat.
Celakanya itu bukan satu-satunya penyesalan saya. Masih ada yang kedua. Jadi begini. Selama proses Pemilu 2019 kemarin saya melihat bahwa tokoh-tokoh Muhammadiyah telah terpolarisasi ke dalam tiga kelompok. Sebagian mendukung Paslon 01, sebagian lagi mendukung Paslon 02, dan sebagian lain istiqomah berpegang pada khittah (netral). Sebagian besar kelompok pendukung dua kubu dapat dikatakan bersifat pasif. Dan hanya sebagian kecil yang menunjukkan secara terang-terangan. Misalnya terlibat dalam tim pemenangan, membentuk relawan, aktif menggalang dukungan, atau membuat pernyataan media dengan nada mendukung salah satu paslon.
Maka selama masa kampanye hingga paska-Pemilu 2019 kemarin saya melihat munculnya berbagai berita, pernyataan, atau meme tokoh Muhammadiyah yang menunjukkan keberpihakan kepada salah satu paslon atau yang menegaskan netralitas Muhammadiyah. Setiap pernyataan lalu di-share di medsos atau melalui grup-grup WA. Lalu timbul perdebatan sengit.
Belakangan saya baru menyadari bahwa selama hiruk-pikuk Pemilu 2019 kemarin saya tidak menemukan berita atau pernyataan apapun dari Pak Yunahar yang memperlihatkan dukungan kepada salah satu Paslon. Bisa jadi ada tapi terlewatkan tidak terbaca oleh saya. Bisa jadi juga ada tapi dilakukan di forum-forum terbatas/tertutup. Tapi bisa juga memang Pak Yunahar berusaha menahan diri untuk tidak melibatkan diri dalam dinamika politik elektoral kemarin yang sangat keras.
Menurut informasi dari teman-teman di Yogyakarta, selama penyelenggaraan beberapa pelatihan Ideologi, Politik, dan Organisasi (Ideopolitor) di mana Pak Yunahar menyampaikan materi, Pak Yunahar sangat berhati-hati jika bicara soal kontestasi politik elektoral. Bila ada pertanyaan soal dukungan, Pak Yunahar dikabarkan menjawab dengan cara elegan dan jenaka. Dalam kesempatan lain, saat ada yang bertanya soal tersebut, Pak Yunahar menjawab secara normatif: “Kalau urusan politik, tanya Pak Haedar (Nashir) saja”.
Bagi teman-teman di Yogyakarta, sikap politik Pak Yunahar mungkin bisa dibaca arahnya meski secara samar-samar. Namun terlihat dengan jelas bahwa Pak Yunahar berusaha tidak mengungkapkannya dalam narasi keberpihakan yang eksplisit atau berupaya mempengaruhi pilihan orang lain sesuai dengan preferensi politiknya.
Polarisasi dukungan tokoh dan warga Muhammadiyah dalam Pemilu kemarin bagi saya cukup menggelisahkan. Memang tidak sampai menimbulkan gesekan yang panas. Namun perdebatan sengit antar-kader di grup-grup WA maupun di medsos cukup membuat suasana agak gerah.
Nah, dalam suasana seperti itu, sikap Pak Yunahar yang menahan diri untuk tidak membuat pernyataan apapun harus diapresiasi setinggi-tingginya karena berkontribusi untuk tidak ikut memanasi suasana. Sebab dalam tensi yang cukup hangat seperti kemarin, pernyataan apapun meski hanya samar-samar namun berkonotasi dukungan kepada salah satu Paslon dapat memperlebar jurang keterbelahan warga Muhammadiyah.
Dalam konteks itulah muncul penyesalan saya yang kedua, kenapa selama ini saya tidak berusaha mengenal secara pribadi dan mengapresiasi buah pikiran Pak Yunahar yang moderat itu.
Untunglah pada akhir November 2019 yang lalu saya sempat menjenguk saat Pak Yunahar dirawat di Rumah Sakit Sardjito. Meski tidak sempat bertemu, karena kondisinya tidak memungkinkan, semoga kunjungan itu dapat mengurangi kekhilafan saya yang selama ini menyimpan banyak salah paham atas corak pemikiran Pak Yunahar. Wallahu a’lam.