Rabu, Oktober 9, 2024

Fatwa MUI yang Salah dan Tidak Perlu

Rizal Panggabean
Rizal Panggabean
Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) dan peneliti senior Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Pernah nyantri di Pesantren Walisongo dan Gontor.
pawai-natal
Salah satu kendaraan hias melintas pada pawai Kendaraan Hias Natal di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (17/12). Menyemarakkan Natal 2016 dan Tahun Baru 2017. ANTARA FOTO/Adwit B Pramono/pd/16.

Baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang tidak perlu dan salah. Fatwa atau petuah itu berjudul “hukum menggunakan atribut keagamaan non-Muslim.” Fatwa ini menggunakan definisi yang luas dan serba mencakup. Atribut keagamaan adalah “sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.”

Bagi yang belum tahu, hukum menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram.
Akan tetapi, fatwa tersebut salah dari berbagai sudut. Agama-agama saling meminjam dan saling memberi atribut. Termasuk, atau apalagi, Islam. Sebab, Islam punya kesempatan lebih banyak meminjam dan “menggunakan atribut keagamaan non-Muslim” karena datang sesudah Hindu, Buddha, Yahudi, dan Kristen. Kemajuan peradaban Islam terjadi karena saling meminjam dan saling belajar, bukan karena Islam menutup dan mengucilkan diri seperti pesan petuah MUI di atas.

Tasbih yang digunakan umat Islam sekarang adalah atribut keagamaan yang berasal dari agama-agama India, yang kemudian digunakan Kristen dan Islam dengan tujuan serupa, menghitung zikir dan doa supaya tepat jumlahnya—tidak kurang atau lebih. Menara, yang menghiasi setiap masjid, berasal dari unsur bangunan tempat suci entah agama apa di Babilonia dan Mesopotamia. Kemudian, gereja-gereja Kristen di Suriah meniru atribut ini. Khalifah Islam era Bani Umayyah menggunakannya dan sejak itu menara menjadi rukun konstruksi masjid.

Yang mempelajari sejarah ibadah haji pasti mafhum bahwa sebagian dari upacara dan ritus haji diambil dari praktik sebelum Islam. Tetapi, sekarang, secara keseluruhan ibadah haji telah menjadi khas Islam. Praktik dzimmah, yang mengharuskan warga Kristen dan Yahudi membayar pajak kepala dalam status mereka sebagai warga yang dilindungi di kekhalifahan Islam, bukan praktik yang dimulai Islam.

Sasaniah atau Persia yang Majusi memperlakukan Yahudi dan kemudian Kristen dengan cara serupa. Roma/Bizantium yang Kristen memperlakukan Yahudi dzimmi atau fides istilah mereka.

Sumber-sumber hukum di dalam fikih Islam, dan urut-urutannya, yaitu al-Kitab, Sunnah, Qiyas, dan Ijma’, adalah adaptasi dari aturan Kaisar Justinian dari Romawi. Kaisar ini menyebutnya scripti leges (bahasa Arab: Al-Kitab), mores et consuetudinis (Sunnah), proximum et consequens (Qiyas), dan iudicium populi/consensus omnium (Ijma’). Kaisar beragama Kristen ini pun hanya menggunakan atribut yang sudah ada dalam praktik Yahudi di Mishna dan Talmud.

Fatwa MUI terbaru, boleh jadi, hendak melawan kapasitas saling memahami dan bekerjasama di antara agama-agama. Meminjam peristilahan fatwa MUI, yang terjadi sepanjang sejarah di atas adalah penodaan ajaran agama, atau pencampuradukan akidah dan ibadah agama Islam dengan agama lain. Dengan kata lain, fatwa MUI ingin memurnikan agama Islam dengan memisahkannya dari agama-agama lain.

Akan tetapi, umat Islam sangat majemuk dan banyak jumlahnya, tak bisa dipisahkan dan dikucilkan dari interaksi sosial di berbagai bidang kehidupan. Mengucilkan umat Islam dari interaksi dan pergaulan global adalah tindakan menegakkan benang basah. Tantangan bagi MUI adalah bagaimana memberikan pedoman bagi umat Islam supaya bisa berinteraksi dan bekerjasama dengan siapa saja, tanpa kehilangan imannya. Dan itu tidak dapat dilakukan dengan melarang mereka mengenakan tekstil kombinasi merah-hijau di akhir Desember.

fatwa-muiSelain salah, fatwa MUI di atas tidak perlu. Yang kita perlukan sebagai sesama warganegara yang sebangsa dan setanah air adalah mu’amalah dan kerjasama sosial. Dokumen Kalimah Sawa’ atau Common Word, kesepakatan atau Ijma’ berbagai mazhab dan firqah Islam tahun 2007, punya istilah bagus. Dokumen yang telah ditandatangani pemimpin Islam Indonesia ini menyebutkan, umat Islam harus mencintai tetangganya yang non-Muslim, khususnya Kristen. Cinta itu tak sebatas empati dan simpati, tetapi menuntut pengorbanan dan kepemurahan.

Sebenarnya, praktik yang selaras dengan hal di atas di masyarakat kita banyak. Warga Muslim di Nusa Tenggara Timur akan bertemu dengan warga Katolik dan Protestan setiap kali ada tetangga yang akan melanjutkan sekolah ke Yogyakarta, misalnya. Semua menyumbang, dan sumbangan dicatat di dalam buku yang akan disimpan mahasiswa tersebut. Mereka tidak peduli apa agama tetangga mereka yang akan menuntut ilmu itu. Hal yang sama akan terjadi ketika ada warga yang menikah. Pesta ditanggung bersama atas dasar pengorbanan dan kepemurahan.

Kita belum mendengar umat Islam membangun Tepekong di Medan. Tetapi masjid Gang Bengkok dibangun saudagar Tionghoa kota itu, Tjong A Fie, lebih dari seabad lalu. Umat Islam di Ambon, Ende, Manado, membantu yang Kristen membangun gereja, menyumbangkan tenaga dan bahan bangunan.

Yang main barongsay di Semarang, Yogyakarta atau Pontianak juga anak-anak Muslim. Mereka tidak mengenal istilah kafir; atau meniru atribut, yang muncul berulangkali dalam fatwa di atas. Yang tampak adalah iman Islam yang kuat dan percaya diri. Inilah yang dengan terang-terangan dilecehkan fatwa di atas.

Dalam perspektif yang lebih panjang, atribut yang dulu dipandang haram sekarang dipandang biasa dan normal. Belum lewat seabad lalu, ada fatwa yang mengharamkan celana panjang dan jas. Alasannya, antara lain, karena pakaian itu menyebabkan umat Islam meniru pakaian kafir, dalam hal ini Belanda yang Kristen. Yang meniru sama denga yang ditiru. Sekarang, pria Muslim di Indonesia memakai celana panjang dan jas, termasuk ketua komisi fatwa MUI.

Sebaliknya, atribut yang dulu dianggap pantas sekarang tak lagi dipandang demikian. Ini tampak dari kontroversi tentang Cut Meutia, pahlawan tak berjilbab dari Aceh yang tampil di muka uang kertas pecahan Rp 1.000. Atribut, dengan kata lain, tidak stabil. Perubahan zaman dan penafsiran mempengaruhi apa yang dipandang atribut Islam atau bukan.

Perlu dicatat, yang ditekankan di sini bukan soal tiru-meniru dan saling menggunakan atribut. Di atas sudah diterakan bahwa ini hal yang lazim dalam sejarah agama-agama. Yang perlu ditekankan adalah bahwa Islam, bersama agama-agama lain, adalah bagian dari sejarah bersama yang ditandai dengan keinginan mempelajari kebudayaan lain.

Dalam konteks Indonesia, yang ditunjukkan umat Islam di atas adalah humanisme dan adab hidup berdampingan di Indonesia. Anggapan dan keyakinan yang mendasarinya adalah kerjasama demi kemajuan seluruh negeri, dalam lembaga-lembaga yang menjamin keadilan dan kesetaraan. Jika MUI menganggap dirinya mewakili umat Islam Indonesia, semakin tampak betapa salahnya fatwa di atas, karena tidak mewakili adab dan humanisme Islam di Indonesia.

Tentu saja, dalam konteks kehidupan kontemporer ada banyak sekali ketidakselarasan dan kekerasan di berbagai tempat di Indonesia. MUI dapat mengeluarkan petuah yang memperkuat prasangka buruk dan kebencian di kalangan sesama warga negara Indonesia. MUI juga dapat mengeluarkan fatwa yang kemudian digunakan kelompok seperti Front Pembela Islam melakukan sweeping, sehingga berbenturan dengan polisi. Artinya, fatwa tersebut menimbulkan efek mengadu domba FPI dengan polisi. Dengan kata lain, MUI mendorong involusi peradaban Islam di Indonesia, yang menyebabkannya menyusut, mengerdil.

Tetapi, MUI dapat mengeluarkan hikmah dan nasihat yang baik kepada umat Islam, supaya mencintai tetangga mereka dan membantu mereka. MUI juga dapat mengatakan, dengan bukti yang kuat dari sejarah Muslim di Indonesia, bahwa kostum, nyanyian, dan ucapan hari besar keagamaan tidak pernah menyebabkan seorang Muslim berganti agama menjadi Kristen atau Konghucu. Iman Islam tak pernah serapuh dan seremeh itu.

Akhirnya, kita hidup di zaman yang ditandai permusuhan dan fasisme keagamaan, baik di negara kita maupun di luar negeri. Ini fenomena global. Tanggung jawab MUI, yang mengaku bertugas memberikan pedoman bagi Umat Islam, ialah bagaimana memperkuat iman Islam supaya tidak terperosok kepada fasisme keagamaan ini, melainkan iman Islam tegak dan kukuh mendorong perdamaian dan kerjasama global.

Dengan demikian, MUI memperkuat humanisme Islam yang telah terbukti dalam sejarah, dan tak lagi mengeluarkan fatwa yang salah dan tidak perlu.

Rizal Panggabean
Rizal Panggabean
Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) dan peneliti senior Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Pernah nyantri di Pesantren Walisongo dan Gontor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.