Kamis, April 18, 2024

Euforia Bahasa Arab

Sumanto Al Qurtuby
Sumanto Al Qurtuby
Dosen Antropologi Budaya, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi

budaya-saudi(Ilustrasi) Pameran busana tradisional Arab dalam Pekan Kebudayaan Saudi Arabia di Jakarta, Minggu (27/3). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

Entah apa yang ada di dalam pikiran sejumlah orang yang menuduh saya anti Bahasa Arab hanya karena saya menyindir sejumlah kaum Muslim di Indonesia yang suka “berantum-antum” dan “berikhwan-ikhwat” dalam berkomunikasi. Lucunya lagi, saya dianggap “anti Arab” dan “anti-Islam”.

Begini ya bapak, ibu, saudara, saudari yang budiman. Saya sama sekali tidak anti Bahasa Arab, apalagi anti Arab (baik orangnya maupun budayanya) dan anti-Islam. Sama sekali bukan.

Bagaimana mungkin saya anti Bahasa Arab, wong saya belajar bahasa ini sejak kecil: di madrasah dan pesantren. Juga belajar berbagai kitab tentang tata-bahasa Arab: dari Jurumiyah, Imrithi sampai Alfiyah Ibnu Malik. Di kelas saat mengajar, meskipun bahasa pengantar memakai Bahasa Inggris, saya juga sering menulis dengan Bahasa Arab, khususnya untuk menjelaskan sejumlah teori, konsep, dan istilah dalam antropologi dan ilmu-ilmu sosial lain yang kurang familiar buat mahasiswa Arab.

Tidak hanya itu, saya juga dengan senang hati belajar perkembangan Bahasa Arab dengan para mahasiswa saya karena implementasi bahasa ini sangat luas dan masing-masing kawasan memiliki dialek dan kadang kosa kata yang berlainan bukan hanya antar-negara, bahkan dalam satu negara itu sendiri.

Di Saudi sendiri juga bermacam-macam. Misalnya Bahasa Arab yang digunakan suku Al-Faifa (atau Al-Fifa) yang tinggal di pegunungan tidak bisa dimengerti oleh suku-suku lain di Saudi.
Singkatnya, saya sama sekali tidak mempermasalahkan kita mau berkomunikasi dengan bahasa apa saja: Arab, Inggris, Perancis, Mandarin, Korea, Indonesia, Jawa, Betawi, Sunda, dan lain sebagainya.

Dalam dunia modern yang sudah mengglobal seperti sekarang ini, kita tidak bisa menghindar dari pengaruh aneka bahasa manusia di jagat ini. Semakin banyak menguasai bahasa justru semakin bagus, karena buku/tulisan sebagai sumber-sumber ilmu-pengetahuan ditulis di berbagai bahasa.

Yang saya kritik adalah anggapan, persepsi, apalagi keyakinan, bahwa berkomunikasi dengan Bahasa Arab itu “lebih agamis”, “lebih Islami”, atau “lebih syar’i” ketimbang dengan bahasa lain. Semua bahasa itu sama derajat dan kualitasnya. Ucapan “salam” dalam Bahasa Arab itu ya sama dengan “syalom” (Ibrani), “shlomo” (Syriac-Assyria) atau “selamat” (Melayu / Indonesia), dan sebagainya.

Bukan hanya kaum Muslim, saya kadang juga merasa aneh dengan sejumlah umat Kristen yang memandang dan meyakini kata syalom “lebih Kristiani” (mestinya kan “lebih Yahudi”). Begitu pula kata “ana-anta/um” sama saja dengan “ane-ente”, “saya-kamu/sekalin”, “inyong-rika/kabeh” dan lainnya.

Ucapan “shabahul khair” ya sama saja dengan selamat pagi, sugeng injing atau wilujeng injing. Sebagai sebuah sapaan, tidak ada bedanya makna “As-salamu alaikum” dengan “sampurasun” (sampura ning ingsun) misalnya.

Jadi, tidak usah euforia dan lebaylah dalam berkomunikasi. Wong teman-temanku yang “asli Arab” (bukan “Arab KW”) saja biasa bilang “good mornang-good morning” tiap ketemu.

Jabal Dhahran, Arab Saudi

Sumanto Al Qurtuby
Sumanto Al Qurtuby
Dosen Antropologi Budaya, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.