Etika politik menjadi elemen esensial dalam membangun tatanan demokrasi yang sehat dan berintegritas. Di Indonesia, keberadaannya sering kali menghadapi tantangan akibat berbagai pelanggaran yang mencederai integritas sistem politik. Etika politik tidak hanya berbicara soal aturan normatif, tetapi juga mencerminkan hubungan antara moralitas dan tindakan politik yang dilakukan oleh para aktor politik.
Kasus-kasus seperti politik uang, kampanye hitam, penyalahgunaan jabatan, dan tindakan intimidasi menggambarkan bagaimana prinsip-prinsip etika politik sering kali diabaikan demi mencapai kepentingan pragmatis. Politik uang, misalnya, adalah salah satu bentuk dari manipulasi pilihan rakyat yang merusak demokrasi. Fenomena ini, pada satu sisi, tidak hanya mencederai proses pemilu, tetapi juga memupuk budaya politik transaksional yang bertahan dalam jangka panjang di sisi yang lain.
Dasar Hukum dan Regulasi yang Ada
Saat ini, Indonesia sebenarnya memiliki kerangka hukum yang cukup kuat untuk menegakkan etika politik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi dasar hukum yang mengatur berbagai aspek pemilu, termasuk larangan politik uang, batasan dana kampanye, dan penggunaan fasilitas negara.
Lebih lanjut, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), seperti PKPU Nomor 23 Tahun 2018 yang kemudian diperbaharui melalui PKPU No. 13 Tahun 2024, memberikan pedoman lebih rinci terkait metode dan pembatasan kampanye. Regulasi ini bertujuan menciptakan persaingan politik yang adil dengan memastikan bahwa setiap kandidat memiliki kesempatan yang setara untuk menjangkau pemilih. Meski demikian, implementasi regulasi ini sering kali menemui hambatan, terutama dalam bentuk celah hukum yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
Regulasi pemilu, seperti PKPU No. 13 Tahun 2024, dirancang untuk menciptakan demokrasi yang sehat dengan beberapa tujuan utama. Salah satunya adalah mencegah ketimpangan antara kandidat dengan sumber daya besar dan kecil. Ketimpangan ini sering kali terlihat dalam bentuk dominasi media oleh kandidat kaya yang mampu membeli slot iklan lebih banyak dibanding kandidat lainnya.
Selain itu, regulasi bertujuan memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, seperti penggunaan fasilitas negara oleh pejabat petahana untuk kampanye. Hal ini penting untuk menjaga keadilan dalam persaingan politik. Regulasi juga melarang penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian yang dapat memecah belah masyarakat. Tujuan lainnya adalah memberikan informasi yang adil kepada pemilih agar mereka dapat membuat keputusan berdasarkan visi, misi, dan program kandidat, bukan berdasarkan informasi yang menyesatkan.
Pelanggaran Etika Politik
Sayangnya, meskipun regulasi-regulasi bak PKPU 2024 di atas telah dirancang dan diperbaharui, pelanggaran etika politik tetap marak terjadi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah kasus penggunaan fasilitas negara oleh pejabat petahana dalam pemilu. Di beberapa daerah, mobil dinas pemerintah sering kali digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kegiatan kampanye, meskipun hal ini jelas dilarang oleh undang-undang (CNN, 2023).
Selain itu, praktik politik uang masih menjadi fenomena yang sulit diberantas. Sebagai contoh, pada Pemilu 2024 kemarin, sejumlah kasus politik uang dilaporkan terjadi di berbagai wilayah, mulai dari pembagian uang tunai hingga pemberian barang seperti sembako untuk memengaruhi suara pemilih (Kompas, 2024). Praktik semacam ini mencerminkan rendahnya kesadaran akan pentingnya etika politik di kalangan aktor politik maupun masyarakat.
Selain politik uang, hoaks dan ujaran kebencian juga menjadi ancaman serius terhadap etika politik di Indonesia. Penyebaran hoaks dan kampanye hitam semakin menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Data dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat bahwa pada triwulan pertama tahun 2022 terdapat 534 kasus hoaks. Angka ini meningkat tajam pada triwulan pertama tahun 2023, dengan ditemukannya setidaknya 664 hoaks, menunjukkan lonjakan sebesar 24% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (Media Indonesia, 2023).
Fenomena ini menjadi salah satu bukti bahwa pelanggaran etika politik, khususnya dalam bentuk penyebaran informasi palsu, terus berlangsung dan bahkan semakin marak. Larangan terhadap hoaks yang diatur dalam undang-undang sebenarnya bertujuan untuk mencegah hal ini, tetapi efektivitasnya masih diragukan.
Tidak berhenti di situ, eksploitasi anak dalam kegiatan kampanye juga merupakan pelanggaran etika politik yang serius. Meskipun regulasi melarang keras keterlibatan anak-anak dalam kegiatan kampanye, praktik ini masih ditemukan, terutama di daerah-daerah dengan pengawasan pemilu yang lemah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), misalnya, melaporkan bahwa pada Pemilu 2024 anak-anak sering kali dijadikan alat untuk menarik simpati pemilih, baik melalui aksi panggung maupun atribut kampanye (Kompas, 2024). Miris, dan tentu saja, praktik semacam ini tidak hanya melanggar undang-undang tetapi juga mencederai hak asasi anak untuk bebas dari eksploitasi.
Dimensi Tanggung Jawab Sosial dalam Politik
Etika politik tidak hanya berkorelasi dengan larangan atau regulasi, tetapi juga mencakup tanggung jawab sosial aktor politik terhadap masyarakat. Politisi memiliki kewajiban moral untuk memberikan kontribusi positif melalui program pemberdayaan masyarakat, penanganan isu-isu sosial, dan transparansi dalam penggunaan dana publik.
Sayangnya, banyak aktor politik yang hanya memanfaatkan isu-isu sosial sebagai alat kampanye tanpa komitmen nyata untuk menanganinya. Sebagai contoh, janji-janji politik terkait pengentasan kemiskinan sering kali tidak terealisasi setelah pemilu usai, yang pada akhirnya hanya menambah rasa skeptis masyarakat terhadap politik.
Selain pelanggaran nyata, politisi juga sering dihadapkan pada dilema etis yang kompleks. Salah satu contohnya adalah wacana perihal keputusan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk menutupi kebutuhan pembiayaan negara. Di satu sisi, langkah ini diperlukan untuk menjaga stabilitas fiskal, tetapi di sisi lain, kebijakan ini dapat berdampak negatif pada daya beli masyarakat.
Dilema lain adalah pengampunan pajak, yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak tetapi dianggap tidak adil oleh sebagian masyarakat karena memberikan keringanan kepada pelanggar hukum pajak. Situasi semacam ini mencerminkan konflik antara dua nilai moral yang sama-sama penting, yakni kepentingan ekonomi dan keadilan sosial.
Konsep etika politik ketika ditinjau dalam literatur akademik mencakup berbagai dimensi yang saling terkait. Vladimir Ďurčík (2016) menjelaskan bahwa etika politik berperan dalam mengatur prinsip dan norma yang menjadi dasar tatanan politik. Mark Philp (2014) menyoroti pentingnya standar, aturan, dan norma yang harus dipegang oleh para pemegang jabatan publik untuk memenuhi tanggung jawab mereka. Dedy Malik (2022) bahkan menekankan bahwa etika komunikasi politik memiliki peran penting dalam menjaga sistem demokrasi, terutama di tengah pertarungan kepentingan antara elit politik dan masyarakat.
Kompleksitas Etika Politik
Dalam konteks yang lebih luas, Kari Palonen (2003) dalam artikelnya “Political Theorizing as a Dimension of Political Life,” mengidentifikasi lima dimensi utama etika politik: tujuan politik, institusi, tindakan politik, proses politik, dan politisasi. Kelima dimensi ini tidak dapat dipisahkan dan saling memengaruhi dalam membentuk tatanan politik suatu negara. Kompleksitas ini, secara implisit, mencerminkan interaksi dinamis antara aktor, regulasi, dan konteks sosial-politik yang melingkupinya.
Di Indonesia sendiri, kompleksitas ini terlihat dalam bagaimana regulasi etika politik diterapkan dan diinterpretasikan oleh berbagai pihak. Untuk mengatasi pelanggaran dan dilema etis dalam politik, edukasi politik dan penegakan hukum menjadi hal yang krusial. Masyarakat perlu dibekali pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya etika politik, sehingga mereka dapat menjadi pengawas aktif dalam proses demokrasi. Di sisi lain, penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu untuk memastikan bahwa pelanggaran etika politik mendapat sanksi yang tegas. Kombinasi antara edukasi dan penegakan hukum ini diharapkan dapat menciptakan iklim politik yang lebih sehat dan berintegritas.
Etika politik adalah fondasi utama dalam menciptakan demokrasi yang berkeadilan. Di Indonesia, pelanggaran terhadap etika politik masih menjadi tantangan besar yang menghambat terciptanya tatanan politik yang ideal. Dalam konteks demokrasi, seperti ditekankan Dennis F. Thompson (1987) dalam Political Ethics and Public Office, isu-isu yang berkaitan dengan penyembunyian (kerahasiaan, manipulasi, dan tipu daya) memerlukan perhatian khusus karena dapat menghalangi warga negara untuk membuat penilaian kolektif terhadap kesalahan-kesalahan lain yang dilakukan pemerintah, termasuk tindakan kekerasan.
Oleh sebab itu, dengan memperkuat regulasi, menegakkan hukum, dan mengedukasi masyarakat, Indonesia memiliki peluang untuk mewujudkan sistem politik yang lebih inklusif, transparan, dan bertanggung jawab. Prinsip-prinsip etika politik harus diterapkan secara konsisten oleh semua pihak, mulai dari aktor politik hingga masyarakat, demi masa depan demokrasi yang lebih baik.
Dalam konteks ilmu komunikasi, penting untuk menggelorakan etika politik sebagai bagian integral dari komunikasi politik. Partai politik, pelaku politik, dan tokoh-tokoh harus menjadi agen edukasi yang aktif bagi publik. Etika politik bukan hanya menjadi sarana untuk menyampaikan pesan politik, tetapi juga sebagai instrumen untuk meningkatkan literasi politik masyarakat sehingga setiap praktik politik tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan menghormati keberagaman pendapat.