Sabtu, April 27, 2024

Erdogan dan Operasi Militer Turki di Suriah

Iqbal Kholidi
Iqbal Kholidi
Penulis adalah pemerhati terorisme dan politik Timur Tengah
erdogan
Wakil Presiden Amerika Serikat Joe Biden bertemu Presiden Turki Tayyip Erdogan di Istana Kepresidenan di Ankara, Turki, Rabu (24/8). ANTARA FOTO/Kayhan Ozer/Presidential Palace/Handout via REUTERS/

Tayyip Erdogan berhasil memberangus gerakan Gulenist di Turki, yang dicap “kelompok teroris” karena dituduh sebagai pihak yang melancarkan kudeta terhadap dirinya beberapa waktu lalu. Kini, Turki mengalihkan pandangannya ke negeri tetangganya, Suriah, dengan dalih yang sama, memberangus kelompok teroris yang menguasai perbatasan Suriah-Turki.

Dengan mengerahkan puluhan tank dan ratusan tentara, Turki akhirnya memasuki gelanggang perang Suriah. Turki tidak sendirian. Operasi militer bernama “Euprates Shield” (Perisai Eufrat) ini juga menggandeng sedikitnya 2.000 pejuang FSA (Free Syrian Army), kelompok pemberontak arus utama yang telah bertahun-tahun berperang melawan rezim Suriah.

Kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang menguasai kota Jarablus, daerah perbatasan Suriah-Turki, menjadi sasaran perdana operasi militer Turki. Hingga akhirnya, 4 September 2016, Perdana Menteri Turki Binali Yildrim membuat pengumuman tentang keberhasilan militer Ankara di televisi, “Terima kasih Tuhan, hari ini, dari Azaz ke Jarablus, 91 kilometer garis perbatasan kami dengan Suriah telah terjamin.”

Keputusan Turki menjatuhkan pilihan pada kota Jarablus sebagai sasaran pertama merupakan langkah strategis Turki untuk memuluskan agendanya di Suriah. Dengan menyerbu Jarablus lebih dulu, Turki ingin menunjukkan keseriusannya memerangi musuh nomor satu dunia, yakni ISIS.

Turki ingin menepis tudingan tak sedap yang diarahkan terhadap dirinya selama ini, seperti menikmati bisnis penyelundupan minyak dari ISIS atau reputasi perbatasan Turki sebagai gerbang yang longgar bagi jihadis asing yang hendak bergabung ISIS. Selama ini Turki dipandang tutup mata dengan merajalelanya ISIS di wilayah perbatasannya.

Kemudian, dengan memilih memerangi ISIS, tak ada alasan kuat dari berbagai pihak untuk menghalang-halangi operasi militer Turki di Suriah, mengingat ISIS adalah musuh bersama dalam kancah perang Suriah.

Upaya Turki mengambil alih Jarablus tak menemui perlawanan berarti dari ISIS. Bahkan Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), sebuah lembaga pemantau yang berbasis di London (5/9) mengatakan, “ISIS menarik diri dan mengakhiri kehadirannya di perbatasan itu.”

Kejadian ini tak seperti biasanya, di mana ISIS selalu melakukan perlawanan total ketika ada yang mencoba merebut wilayahnya. Bahkan banyak kalangan menduga ISIS secara diam-diam menyerahkan secara “cuma-cuma” Jarablus kepada Turki.

Ada beberapa dugaan kuat yang melatarbelakangi Turki melakukan langkah berisiko mengerahkan pasukannya dalam perang Suriah. Sebab, jika salah melangkah, Turki akan berhadapan dengan kekuatan besar di Suriah seperti Rusia, Iran yang berpihak kepada Damaskus, atau dengan sekutu NATO, yakni Washington, yang membekingi milisi Kurdi Suriah, Unit Perlindungan Rakyat (YPG).

Meskipun sejak awal krisis politik Suriah meletus Turki mendukung lengsernya Bashar al- Assad, rupanya agenda utama misi operasi militer Turki bukan melengserkan al-Assad, setidaknya itu yang terlihat saat ini.

Setelah berhasil mengambil alih Jarablus, Turki justru memperluas jangkauan operasi “Euprates Shield”, dan berambisi membasmi teroris yang lain, yakni kelompok YPG.
“Operasi (militer) kami akan berlanjut sampai Daesh (ISIS), PYD (Partai Kurdi Suriah yang menaungi YPG) dieliminasi sebagai ancaman terhadap warga negara kami,” kata Erdogan.

Bagi Turki, YPG adalah “saudara kembar” organisasi Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang sejak lama dicap teroris oleh Pemerintah Turki. Sementara itu, AS menilai, YPG dan PKK adalah organisasi yang berbeda dan tak terkait.

Berkat dukungan udara AS, sepanjang tahun 2015 kelompok YPG berhasil menyapu bersih ISIS di perbatasan Suriah-Turki sepanjang 400 kilometer yang terbentang dari Sungai Efrat hingga perbatasan Irak. Tak hanya itu, mereka pada awal tahun 2016 telah mendeklarasikan “negara eksperimen” Rojava di wilayah yang dikuasainya tersebut.

Kekhawatiran Turki semakin menjadi-jadi ketika Pasukan Demokratik Suriah (SDF), sebuah kelompok gabungan pejuang Arab dan Kurdi, namun YPG mendominasi di dalamnya, pada pertengahan Agustus berhasil mengalahkan ISIS dari kota Manbij, setelah mereka bertempur sejak Mei 2016.

Turki semakin gusar melihat kemajuan SDF di Suriah. Berhubung SDF didominasi oleh petempur YPG, maka SDF pun diidentikkan sebagai ancaman teroris oleh Turki layaknya YPG. Bagaimana rezim Suriah menyikapi operasi Turki di negaranya?

Sebelum Turki melancarkan operasi militernya di Suriah, pada 12 Agustus Erdogan mengunjungi Moskow untuk bertemu Vladimir Putin secara langsung. Erdogan memulihkan hubungan dua negara yang memanas setelah penembakan jet tempur Rusia oleh F-16 Turki pada tahun lalu. Pertemuan itu juga membahas perang terhadap ISIS.

Sepekan kemudian Menteri Luar Negeri Turki Mevut Cavusoglu berkunjung ke Teheran. Pembicaraan ini untuk mencairkan hubungan kedua negara, mengingat posisi Iran yang merupakan sekutu Damaskus. Baik Turki dan Iran sebenarnya memiliki persoalan dalam negeri yang sama, yakni menggeliatnya separatis Kurdi.

Dengan mengantongi restu dua sekutu Damaskus tersebut, Turki percaya diri melakukan operasi di Suriah, meski melanggar batas kedaulatan Suriah.

Pemerintah Suriah hanya bisa mengutuk invasi Turki di wilayahnya dan menuding militer Turki sedang berupaya menghapus kelompok teroris dengan mengganti teroris yang lain. Namun, Suriah tak bisa berbuat banyak, mengingat operasi Turki melakukan operasi di wilayah yang telah lama di luar kendali pemerintah.

Di awal September, seperti dikutip AFP, Perdana Menteri Turki langsung merespons keinginan pemerintahannya untuk menormalkan hubungan diplomatiknya dengan Suriah, “Kami telah menormalisasi hubungan dengan Rusia dan Israel. Sekarang, insya Allah Turki telah mengambil sejumlah langkah serius untuk menormalkan hubungan dengan Mesir dan Suriah.”

Turki rupanya juga melihat celah bahwa belakangan antara pasukan Suriah dan milisi Kurdi YPG terlibat konflik bersenjata di beberapa kota, salah satunya di Hasakah. Hingga terjadi gencatan senjata. Damaskus juga mulai gerah dengan YPG yang mengancam keutuhan dan kedaulatan Suriah.

Turki berkeyakinan dengan mulai membuka konfrontasi dengan YPG di Suriah tak akan mengganggu kepentingan Damaskus, malah justru sebaliknya. Satu-satunya pihak yang mengeluh langkah Turki adalah AS, YPG dianggap sebagai kekuatan yang efektif mengalahkan ISIS.

Namun, Turki tak mau ambil pusing, karena hubungan kedua negara ini saat ini memanas pasca kudeta yang gagal. Ankara bahkan menuduh Washington ikut mendalangi kudeta tersebut.

Partisipasi langsung Turki yang mulai memerangi Kurdi di Suriah tentu sangat berisiko. Turki telah menceburkan dirinya dalam perang Suriah justru memperpanjang penderitaan Suriah. Memulai perang itu cenderung mudah, tapi sulit untuk mengakhirinya.

Iqbal Kholidi
Iqbal Kholidi
Penulis adalah pemerhati terorisme dan politik Timur Tengah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.