Rabu, Mei 21, 2025

Enigma Singapura: Mengapa PAP Tak Terkalahkan?

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Di jantung Asia Tenggara, tepatnya di Singapura, sebuah drama politik kembali memukau dunia. Akhir pekan lalu, panggung demokrasi Singapura bergetar dengan hasil pemilihan umum yang sekali lagi menegaskan dominasi tak tergoyahkan dari Partai Aksi Rakyat (People’s Action Party), atau yang lebih dikenal dengan PAP. Bayangkan, kemenangan ke-14 berturut-turut! Sebuah rekor yang bukan hanya angka, tetapi sebuah narasi panjang tentang kekuasaan yang merentang lebih dari enam dekade, jauh melampaui usia kemerdekaan negara kota ini.

Dengan 87 dari 97 kursi parlemen dalam genggaman, PAP seolah-olah telah menorehkan namanya dalam tinta emas sejarah politik Singapura. Namun, di balik gemerlap kemenangan ini, tersembunyi sebuah pertanyaan besar: apa rahasia di balik dominasi abadi ini? Bagaimana mungkin sebuah partai politik dapat mempertahankan kekuasaan sedemikian lama, melewati berbagai badai politik dan ekonomi?

Salah satu kunci utama, seperti yang sering diungkapkan para analis, adalah fragmentasi oposisi. Bayangkan sebuah arena politik di mana sepuluh partai berbeda mencoba menantang sang petahana. Sebuah upaya yang gagah, namun sayangnya, tanpa kekuatan yang cukup untuk menggoyahkan singgasana PAP. Sementara itu, PAP, dengan mesin politik yang terawat baik, hadir di setiap sudut arena, mencalonkan diri di setiap kursi yang tersedia. Mereka memiliki segalanya: anggota yang berlimpah, dana yang besar, dan jangkauan yang luas.

Lebih dari itu, PAP telah berhasil membangun kepercayaan, terutama di kalangan pemilih yang lebih tua. Mereka adalah saksi hidup transformasi Singapura dari kota pelabuhan yang sederhana menjadi pusat global yang dinamis. Kisah sukses ini, bagi banyak orang, adalah narasi yang tak terpisahkan dari kepemimpinan PAP. Namun, di balik narasi ini, terselip kritik tentang ‘lapangan bermain’ yang tidak seimbang, tuduhan tentang kontrol media dan praktik ‘gerrymandering’ yang kontroversial.

Di tengah ketidakpastian global, dengan inflasi yang membayangi dan perang dagang yang berkecamuk, para pemilih Singapura tampaknya lebih memilih stabilitas daripada eksperimen. PAP, dengan janji ‘ketenangan di tengah badai’, berhasil meyakinkan mayoritas pemilih. Dan sekali lagi, mereka membuktikan diri sebagai kekuatan yang tak tergoyahkan.

Kemenangan ini bukan sekadar angka-angka statistik. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah partai politik telah berhasil menenun dirinya ke dalam kain kehidupan bangsa, menjadi simbol stabilitas dan kemajuan. Namun, di balik setiap kemenangan, selalu ada pertanyaan tentang masa depan. Akankah dominasi ini terus berlanjut? Atau akankah angin perubahan suatu hari nanti berhembus, membawa narasi baru ke panggung politik Singapura?

Jika kita bedah angka-angka di balik kemenangan PAP, sebuah pola dominasi yang mencolok akan terungkap. Bayangkan sebuah arena politik di mana hampir setengah dari seluruh kandidat yang bertarung mengenakan seragam PAP, partai yang dengan percaya diri mencalonkan diri di setiap sudut wilayah pemilihan. Sementara itu, Partai Pekerja, yang digadang-gadang sebagai oposisi utama, hanya berani menempatkan 26 pion mereka di papan catur politik, dan hanya berhasil merebut 10 petak yang ditinggalkan kosong oleh PAP. Sisa dari oposisi?

Sebuah koalisi yang terfragmentasi, terdiri dari 10 partai yang berjuang di bawah panji-panji yang berbeda, kekurangan persatuan dan sumber daya, akhirnya terjebak dalam pusaran kekalahan. PAP, di sisi lain, tampil sebagai mesin politik yang terorganisir dengan sempurna, dengan keanggotaan yang luas, pengaruh yang meresap ke dalam lembaga-lembaga negara, dan sumber daya yang jauh melampaui mimpi terliar para pesaing mereka. Keunggulan mereka bukan sekadar angka, melainkan sebuah realitas yang tak terbantahkan.

Kisah dominasi ini bukan kisah yang baru. Generasi pemilih yang lebih tua, saksi bisu transformasi epik Singapura dari kota pelabuhan yang sederhana menjadi pusat global yang gemerlap, telah menanamkan kepercayaan mereka pada PAP. Bagi mereka, PAP adalah arsitek dari keajaiban Singapura, penjaga stabilitas di tengah badai perubahan. Namun, di balik narasi sukses ini, bayang-bayang keraguan masih menghantui.

Para kritikus menuding sistem yang tidak sepenuhnya adil, menyoroti kontrol PAP atas media arus utama dan praktik ‘gerrymandering’ yang kontroversial, di mana batas-batas pemilihan diubah sebelum setiap pemungutan suara. Namun, di tengah semua kritik ini, pesan dari para pemilih terdengar jelas: mereka menginginkan stabilitas, tangan yang mantap untuk menavigasi ketidakpastian global. Pesan ini bergema kuat, mengantarkan kemenangan bagi PAP dan pemimpin barunya, Lawrence Wong.

- Advertisement -

“Ini adalah pemilihan pertama saya sebagai perdana menteri,” ucap Wong dengan nada rendah hati, “dan pengalaman ini telah merendahkan hati saya. Kami berterima kasih atas mandat kuat yang Anda berikan, dan kami berjanji untuk menghormati kepercayaan itu dengan bekerja lebih keras dari sebelumnya.” Di tengah peringatan tentang resesi global, inflasi yang melonjak, dan perang dagang AS-Tiongkok, Wong menawarkan pengalaman sebagai penawar, sebuah janji stabilitas di tengah badai. Dan janji itu, tampaknya, diterima dengan baik oleh para pemilih.

Namun, di balik kemenangan gemilang ini, ada secercah harapan bagi oposisi. Partai Pekerja, meskipun kalah, berhasil menunjukkan taring mereka, meningkatkan perolehan suara di wilayah-wilayah yang mereka menangkan dan memberikan perlawanan sengit di wilayah lain. Kampanye mereka yang berfokus pada penurunan biaya hidup dan pembangunan jaring pengaman yang lebih kuat menunjukkan bahwa ada sebagian pemilih yang mengawasi, menunggu, dan mengharapkan perubahan.

Jadi, ya, PAP sekali lagi mengukir kemenangan dalam sejarah Singapura. Namun, untuk tetap relevan, mereka harus membuktikan diri sebagai penjaga stabilitas dan kemakmuran. Karena bahkan di Singapura, di mana tradisi dan kebiasaan berakar kuat, angin perubahan bisa berhembus kapan saja, mengubah lanskap politik selamanya.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.