Tahun lalu, Elon Musk, sang visioner di balik Tesla, dengan penuh semangat merekomendasikan sebuah buku berjudul “The Capitalism Manifesto” kepada para pengikutnya. Ia bahkan menyebutnya sebagai bacaan wajib, menyatakan bahwa kapitalisme bukan hanya baik, tetapi juga “benar secara moral”. Musk selama ini dikenal sebagai pendukung kuat sistem ekonomi yang memberikan kebebasan individu dan perusahaan untuk bersaing di pasar.
Namun, ironisnya, apa yang terjadi ketika Musk sendiri berhadapan dengan sisi keras kapitalisme? Ketika para pengiklan, menggunakan kebebasan memilih yang sama yang dijunjung tinggi oleh kapitalisme, memutuskan untuk beralih ke pesaingnya? Musk, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, tiba-tiba bereaksi dengan kemarahan yang meluap-luap. Ia bahkan mengancam akan menuntut mereka. Dalam sebuah tweet yang penuh emosi, ia menyatakan, “Kami mencoba perdamaian selama dua tahun. Sekarang perang. Bukannya dunia membutuhkan lebih banyak perang, tapi inilah kita.”
Perang yang dimaksud Musk ini berakar dari keputusannya yang kontroversial pada tahun 2022 untuk membeli Twitter seharga $44 miliar. Setelah akuisisi, ia mengubah nama platform menjadi X dan melakukan berbagai perubahan pada platform dan kontennya. Langkah-langkah ini membuat banyak pengiklan merasa khawatir. Mereka tidak ingin merek mereka dikaitkan dengan konten berbahaya atau informasi yang salah yang mungkin muncul di platform tersebut. Akibatnya, banyak pengiklan besar menarik diri dari X, menyebabkan penurunan pendapatan yang signifikan bagi perusahaan.
Musk, yang selama ini menikmati keuntungan dari sistem kapitalis, kini merasakan sengatannya. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa kapitalisme, meskipun memiliki banyak manfaat, juga bisa menjadi kekuatan yang kejam dan tak kenal ampun. Bahkan bagi seorang inovator dan pengusaha sukses seperti Elon Musk, kapitalisme tetaplah sebuah permainan yang harus dimainkan dengan hati-hati.
Sekarang mari kita lihat angka-angkanya dengan lebih mendalam. Pada tahun 2022, pendapatan iklan Twitter mencapai sekitar $4 miliar. Namun, pada tahun 2023, angka tersebut anjlok drastis menjadi hanya sekitar $1,1 miliar. Ini merupakan penurunan yang sangat signifikan, terlebih lagi untuk sebuah platform yang sebagian besar pendapatannya bergantung pada iklan.
Faktanya, sekitar 90% dari keseluruhan pendapatan X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter) berasal dari iklan, yang menjadi sumber utama untuk menjaga bisnis ini tetap berjalan. Penurunan besar ini tentunya bukan berita baik bagi Elon Musk, yang kini berusaha keras untuk menghentikan tren negatif ini dengan berbagai cara.
Langkah pertama yang diambil Musk adalah menanggapi situasi ini dengan sikap penuh pembangkangan. Dia secara terang-terangan menyatakan, “Jika ada yang mencoba memeras saya dengan iklan, memeras saya dengan uang, enyahlah.” Walaupun pernyataannya terdengar kasar, esensi dari ucapannya adalah bahwa Musk tampak tidak peduli dengan pengiklan yang mundur dari platformnya. Namun, sikap keras ini tidak memberikan hasil yang diharapkan. Pendapatan X terus menurun, memaksa Musk untuk mencoba strategi lain.
Kemudian, dia beralih ke opsi yang lebih dramatis, yaitu dengan menyebut kata yang jarang diucapkan oleh pemimpin bisnis besar: kebangkrutan. Musk meminta maaf atas kata-kata kasarnya sebelumnya dan mengakui bahwa jika para pengiklan tetap menjauh, mereka bisa membawa X ke jurang kehancuran. Ini adalah upaya untuk meredakan ketegangan dan mencoba memulihkan hubungan dengan pengiklan. Sayangnya, taktik ini juga gagal menarik para pengiklan kembali.
Sekarang, Elon Musk memilih pendekatan ketiga, yang bisa dibilang adalah gaya andalannya: menyerang. Dalam langkah yang lebih agresif, dia memutuskan untuk menggugat beberapa pengiklan besar. Gugatan ini diarahkan pada Aliansi Global untuk Media Bertanggung Jawab (GARM), sebuah inisiatif industri periklanan yang diikuti oleh lebih dari 100 perusahaan besar. Empat perusahaan utama yang disebut dalam gugatan itu adalah Unilever, Mars, CVS Health, dan AB InBev. Tak hanya itu, Musk juga mengarahkan gugatannya pada Federasi Pengiklan Dunia (WFA), sebuah asosiasi perdagangan global. Langkah ini menunjukkan bahwa Musk tidak akan mundur begitu saja, bahkan ketika berhadapan dengan para raksasa industri periklanan.
X menuduh para pengiklan telah berkonspirasi untuk memboikot platform mereka, menyebabkan kerugian miliaran dolar. Narasi ini menciptakan gambaran dramatis: Elon Musk, sang visioner teknologi, melawan raksasa industri periklanan. Namun, di balik sensasi berita utama tersebut, terdapat pertanyaan krusial: apakah klaim ini memiliki dasar hukum yang kuat? Mungkinkah pengiklan dituntut hanya karena tidak beriklan di suatu platform? Tantangan hukum yang dihadapi Musk sangat besar. Ia harus menyajikan bukti konkret adanya perjanjian rahasia antara para pengiklan untuk menjatuhkan X. Ini bukanlah tugas yang mudah, bahkan bisa dibilang nyaris mustahil.
Mari kita berandai-andai sejenak bahwa Musk berhasil membuktikan konspirasi tersebut dan memenangkan kasusnya. Apa yang akan terjadi selanjutnya? X mungkin akan menerima kompensasi finansial, tetapi apakah para pengiklan akan kembali? Sangat kecil kemungkinannya. Baik Musk maupun pengadilan tidak memiliki wewenang untuk memaksa perusahaan membeli ruang iklan.
Jadi, apa sebenarnya tujuan dari gugatan ini? Tampaknya ini adalah manuver strategis khas Elon Musk, sebuah pernyataan sikap yang tegas. Tahun lalu, ia menggugat Center for Countering Digital Hate karena dianggap mengusir pengiklan, namun gugatan tersebut ditolak. Ia juga menggugat organisasi pengawas Media Matters dengan tuduhan penyimpangan fakta, kasus yang masih menunggu persidangan. Kini, Elon Musk kembali berhadapan dengan para pengiklan. Apakah ini sekadar drama hukum lainnya, atau akankah ada dampak nyata bagi industri periklanan dan kebebasan berekspresi di platform digital? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Perusahaan yang dibeli Elon Musk dengan harga fantastis 44 miliar dolar kini berada di ambang kehancuran finansial. Pendapatan iklan tahun ini, yang tak mencapai satu miliar dolar, menggambarkan kinerja yang sangat buruk. Gugatan terhadap para pengiklan ini mungkin merupakan upaya terakhir Musk untuk menyelamatkan X dari jurang kebangkrutan.
Namun, langkah hukum ini mungkin tidak akan memberikan dampak signifikan. Musk telah mencoba berbagai strategi lain, seperti menawarkan layanan berlangganan, panggilan audio dan video, serta streaming game, tetapi semuanya gagal menutup lubang menganga yang ditinggalkan oleh merosotnya pendapatan iklan.
Tentu saja, Musk selalu bisa menyuntikkan lebih banyak uang pribadinya ke dalam perusahaan, tetapi kekayaannya bukanlah sumber daya yang tak terbatas. Jika situasi keuangan X tidak membaik, kebangkrutan bisa menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Nasib X kini bergantung pada seutas benang, dan hanya waktu yang akan menentukan apakah Musk dapat menemukan solusi ajaib untuk menyelamatkan platform media sosial yang pernah ia banggakan ini.