Pada 29 Juli 2024 lalu, penusukan massal yang menewaskan tiga anak perempuan terjadi di Southport, Inggris. Pelaku penusukan massal itu adalah seorang pemuda berusia 17 tahun.
Saat peristiwa itu terjadi, pihak kepolisian Inggris merahasiakan identitas pelaku yang telah ditangkap demi terjaganya ketertiban umum. Namun, beredar disinformasi yang viral di media sosial bahwa pemuda yang melakukan kejahatan itu adalah seorang imigran Muslim.
Disinformasi itu kemudian memicu berbagai kelompok sayap kanan di Inggris melakukan demonstrasi. Pelaku demonstrasi itu menyasar kelompok imigran, pengungsi dan Muslim di Inggris. Mereka mengepung hotel-hotel yang menjadi akomodasi para imigran dan pengungsi, berusaha membakarnya dan mengancam akan membunuh mereka yang berada di dalamnya. Mereka menjarah toko-toko, merusak masjid, menakuti kelompok Muslim, dan bentrok dengan aparat keamanan.
Merespons peristiwa demonstrasi yang kacau tersebut, Keir Starmer (Perdana Menteri Inggris), berkomiten akan menindak tegas mereka yang menyebarkan disinformasi; menindak tegas para perusuh dalam demonstrasi; dan melindungi para pengungsi, imigran, dan kelompok Muslim.
Komentar provokatif Elon Musk
Selain peristiwa penusukan massal dan demonstrasi yang muncul setelah penusukan massal itu, satu hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah komentar Elon Musk di X terkait demonstrasi di Inggris itu.
Setelah demonstrasi akibat penusukan massal itu muncul di Inggris, Elon getol memposting seputar kasus demonstrasi itu di media sosialnya sendiri yaitu X (dulunya Twitter). Yang saya sendiri, setelah membaca komentarnya tentang demonstrasi itu di X, begitu risau kenapa orang seperti dia yang menjadi pemilik X.
Supaya lebih jelas, berikut saya kutip beberapa komentar Elon seputar demonstrasi di Inggris itu.
Ketika Pemerintah Inggris menyampaikan akan menindak tegas para penyebar disinformasi dan perusuh dalam demonstrasi, inilah komentar Elon di X:
“Ini Inggris atau Uni Soviet?”
Yang lain, setelah para demonstran menyasar kelompok Muslim, dan sebagai respons terhadap itu Keir Starmer menyatakan komitmennya untuk melindungi kelompok Muslim dan masjid-masjid di Inggris, Elon merespons dengan berkomentar di X, “Mengapa tidak semua komunitas dilindungi di Inggris, Keir Starmer?”
Satu lagi, dan ini yang lebih mengerikan. Elon merespons demonstrasi di Inggris dengan mengobarkan hasutan di X yaitu, “Perang sipil tak terelakkan.” Postingan Elon sendiri yang ini sudah dia hapus di X setelah mendapat celaan keras dari banyak pihak, tetapi jejak digitalnya masih bisa kita telusuri di berbagai media digital besar.
Setiap orang bisa menafsirkan sendiri komentar-komentar Elon tersebut. Saya sendiri, sebagai orang yang mendambakan percakapan yang beradab dan bermutu dalam ruang-ruang percakapan (offline ataupun online) di negara demokratis, risau dengan komentar-komentar dia tersebut.
Ketika hubungan antara berbagai kelompok identitas di Inggris sedang dalam situasi tegang, komentar-komentar Elon itu jelas semakin memprovokasi permusuhan antara berbagai kelompok identitas di Inggris itu.
Dan tentu, komentar-komentar Elon itu juga adalah gambaran dari sikap dan pandangan politiknya. Dia menganggap bahwa menyebarkan disinformasi dan melakukan kerusuhan dalam demonstrasi adalah bagian dari apa yang disebut sebagai “kebebasan berbicara (free speech)”. Dalam banyak kesempatan, dia juga sering mengatakan bahwa semua suara ditampung di X. Bagi saya, sikap seperti ini tidak banyak bedanya dengan cara pandang anarkisme.
X bukan town square
Namun, saya sendiri sebenarnya tidak terlalu kaget dengan ulah Elon tersebut. Beberapa tahun lalu, saya tercengang saat menonton sebuah wawancara online yang dilakukan oleh Financial Times dengan Elon. Dalam wawancara itu, Elon menganalogikan Twitter (namanya belum X saat wawancara itu) sebagai “town square”. Dengan analogi itu, dia ingin menyampaikan pesan bahwa X akan menjadi tempat yang melindungi kebebasan berbicara.
Memang, kita tahu, bahwa “town square”, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut “alun-alun kota/pusat kota”, adalah tempat di mana orang bebas berkumpul dan berbicara. Namun, penting ditekankan bahwa orang berbicara di sana dalam tuntunan etika dan norma. Dalam tuntutan etika dan norma itu, “town square” memfasilitasi pembicaraan yang lunak, beradab, rasional, dan menghasilkan kesepakatan bersama.
Dalam kaitannya dengan etika dan norma inilah analogi Elon tentang X sebagai “town square” menjadi bermasalah. Saya sendiri, dengan berinspirasi pada karya Thomas Hobbes Leviathan (1651), justru menganalogikan X sebagai “hutan rimba (jungle)”. Di dalam “hutan rimba” itu terjadi “perang semua melawan semua” yang berlangsung dalam landasan “hukum rimba” yaitu “siapa yang kuat, dia yang menang”. Jadi, di “hutan rimba” itu penataan kehidupan bersama didasarkan pada kekuatan fisik, bukan pada perangkat etika dan norma.
Keberadaan akun-akun anonim di X yang getol menyampaikan ujaran kebencian, cacian, hoaks, dan sejenisnya adalah gambaran dari X sebagai sebuah “hutan rimba”. Keadaan tanpa identitas dari orang-orang yang menggunakan akun anonim menyebabkan mereka tanpa sungkan mengeluarkan sifa-sifat “kebinatangannya”. Tak ada etika dan norma yang menuntun orang-orang dengan akun anonim itu di X.
Tristan Harris sendiri, seorang etikus teknologi, mengatakan bahwa X lebih tepatnya adalah “arena gladiator kota”, bukan “pusat kota”. Baginya, keberadaan akun-akun anonim di X mendorong orang untuk berperilaku ekstrem.
Juga, bukankah komentar-komentar provokatif dia di X sebagaimana saya kutip di atas menunjukkan status X lebih sebagai “jungle” daripada “town square”? Apalagi saat X beralih ke tangannya, dia menghidupkan kembali akun-akun X dari tokoh-tokoh sayap kanan, seperti, di antara yang lain, Tommy Robinson, Andrew Tate, dan Paul Golding, yang mana sebelumnya akun-akun tersebut di-suspend di X karena memuat ujaran yang menghasut (inflammatory speech). Saat peristiwa penusukan massal di Inggris terjadi, tokoh-tokoh sayap kanan ini mengamplifikasi disinformasi tentang identitas pelaku kejahatan itu, yang ini mengakibatkan massa kelompok sayap kanan semakin terhasut untuk berdemonstrasi.
Akhirnya, melihat ulah Elon dengan komentar-komentar provokatifnya itu, saya kira, kita perlu lebih serius dalam memikirkan cara-cara apa yang bisa dilakukan ke depannya untuk memastikan bahwa media-media sosial, termasuk X, bisa menjadi ruang yang memfasilitasi percakapan yang lebih beradab dan bermutu.