Dominasi para elite predator (predatory elite) dalam struktur pemerintahan Indonesia dinyatakan tegas oleh Prof. dr. mr. Adriaan Bedner dalam orasi pengukuhan sebagai guru besar di bidang hukum dan masyarakat pada pekan lalu (13/10). Dominasi ini disebut sebagai faktor yang menyebabkan sulitnya prinsip equality before the law (persamaan di depan hukum) ditegakkan di Indonesia. Secara kasat mata kesulitan ini dapat ditemukan dalam proses penegakan hukum pidana sejak penyidikan dimulai hingga proses penghukuman di penjara.
Saat ini harapan publik hanya bertumpu pada sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang secara normatif dipandang lebih dapat diandalkan menegakkan hukum tanpa pandang bulu daripada institusi penegak hukum yang lain.
Namun, publik harus berulangkali menahan nafas saat melihat gencarnya serangan politik terhadap lembaga antirasuah ini. Serangan paling anyar berupa hak angket KPK oleh DPR bersamaan dengan pengungkapan skandal korupsi KTP Elektronik yang melibatkan para elite politik di Senayan, termasuk Ketua DPR Setya Novanto, tak dapat dipungkiri menguras energi pemberantasan korupsi belakangan ini.
Kontroversi pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang hangat saat ini juga harus dibaca sebagai satu kesatuan dari perseteruan ini. Tercatat sejak rapat kerja Komisi III DPR dengan Polri pada Mei 2017 dan kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan tertutup Panitia Khusus Hak Angket DPR dengan pimpinan Polri yang memutuskan perlunya pembentukan Densus Tipikor di bawah Kepolisian. Beberapa anggota DPR bahkan telah memberikan sinyal kuat bahwa Densus Tipikor ini merupakan salah satu jalan untuk secara bertahap membubarkan KPK.
Memanfaatkan momentum ini, tidak tanggung-tanggung Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengusulkan anggaran Densus Tipikor ini sebesar Rp 2,6 triliun atau lebih dari separuh anggaran Kejaksaan untuk seluruh Indonesia (Rp 4,62 triliun). Angka ini cukup fantastis jika dibandingkan secara lebih detail dengan capaian Kejaksaan dalam penanganan korupsi yang hanya menghabiskan Rp 360,1 milar untuk penanganan berbagai macam pidana khusus, termasuk korupsi di seluruh Indonesia.
Selain itu, pilihan DPR untuk mendorong pembentukan Densus Tipikor di bawah Kepolisian daripada memperkuat pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan juga bukan tanpa masalah. Permasalahan kolusi dan korupsi di tubuh Kepolisian yang belum tuntas dan ketidakmampuan mereka menangani kasus korupsi oleh para elite politik menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai dikerjakan hingga saat ini.
Dari segi produktivitas, perkara korupsi yang disidik polisi jauh di bawah angka penyidikan pidana korupsi yang dilakukan Kejaksaan. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, Kejaksaan di tahun 2016 lalu telah menyidik 307 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 671 orang, sedangkan polisi hanya menyidik 140 kasus korupsi dengan tersangka 337 orang.
Alih-alih memperkuat tindakan pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan, DPR menyetujui langkah pemerintah yang menginstruksikan Kejaksaan untuk mengoptimalkan fungsi pencegahan melalui Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4). DPR juga mengurangi anggaran pemberantasan korupsi di tiap-tiap kejaksaan negeri dari lima perkara menjadi satu perkara per tahun dalam APBN 2016/2017
Maka, wajar jika Jaksa Agung Prasetyo menolak ajakan Kapolri Tito Karnavian untuk bergabung dengan Densus Tipikor bentukan Polri ini. Selain karena prestasi Kejaksaan yang lebih baik daripada Kepolisian, juga karena prinsip dominus litis (pengendali perkara dalam tahapan prapersidangan) yang dimiliki Kejaksaan. Prinsip ini yang menjadikan para jaksa memiliki kuasa penuh untuk menentukan perkara mana yang layak diajukan ke persidangan dan mana yang tidak.
Jika DPR mau jeli, ada banyak studi tentang penerapan dominus litis yang secara tepat di banyak negara dengan menjadikan jaksa sebagai supervisor kinerja penyidik telah terbukti berhasil dan efektif dalam melakukan penegakan hukum (Jehle & Wade, 2006; Johnson, 2002; Tak, 2003). Di Indonesia sendiri, praktik dominus litis ini bahkan terbukti efektif dalam proses penegakan hukum pidana korupsi yang dilakukan Kejaksaan dan KPK.
Pelibatan jaksa untuk mengawal proses penyidikan sedari awal dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) Pidana Khusus Kejaksaan dan KPK seharusnya bisa dijadikan bahan oleh DPR untuk membenahi regulasi dalam hukum acara yang saat ini masih kental dengan konsep bentukan Orde Baru yang menyisakan banyak masalah.
Sayangnya, alih-alih serius melakukan pembenahan regulasi untuk menguatkan upaya pemberantasan korupsi baik melalui KPK, Kepolisian maupun Kejaksaan, DPR memilih membentuk lembaga baru yang nampaknya akan lebih mudah dikendalikan.
Hal ini terlihat saat DPR tidak berusaha memberikan tanggapan atas keraguan Kapolri soal rentannya Densus ini diintervensi jika dibandingkan dengan KPK dan disaat yang sama malah memberikan janji manis soal gaji, tunjangan, operasional, sarana prasarana Densus ini yang nantinya sama dengan yang dimiliki KPK.
Akhirnya, meski dibuat melalui proses yang demokratis, produk hukum yang dihasilkan oleh pansus hak angket DPR ataupun aturan turunannya terkait Densus Tipikor dapat dilihat secara kasat mata tidaklah netral dan rentan menjadi alat untuk menguntungkan kelompok tertentu. Mengutip pendapat Prof Adriaan Bedner dalam orasinya pekan lalu, dalam konteks ini hukum hanyalah produk dari pertarungan kepentingan antara para elite predator.
Kolom terkait:
Papa Setnov, Jack Sparrow, dan Patah Hati KPK
Tragedi Novel dan Premanisme yang Biadab
Setelah 100 Hari Tragedi Novel Baswedan