Ekstremisme dalam Penafsiran Kitab Suci dan Penawarnya (Bagian 1).
Konflik dan perang pada umumnya menebar ketakutan dan merusak kebahagiaan. Oleh karena itu, Quran menyimpan petunjuk menuju jalan kedamaian hidup, termasuk kedamaian hidup di dunia, sebagaimana ungkapan akhir ayat, wa yukhrijuhum min al-zhulumat ila al-nur (mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya), adalah juga ungkapan yang berkaitan dengan hidup di dunia.
Ungkapan subul al-salam di ayat ini dapat pula dipahami sebagai kebalikan dari “permusuhan dan kebencian” (al-‘adawah wa al-baghdha’) yang disebut di ayat sebelumnya, yakni ayat 14, yang timbul di antara orang-orang (Nasrani) yang tidak lagi mau mengikuti petunjuk Kitab Suci mereka. (Ungkapan al-‘adawah wa al-baghda’ juga disebut di ayat 64 surah yang sama sebagai timbul di antara orang-orang Yahudi yang bersikap serupa).
Dengan demikian, subul al-salam adalah jalan-jalan yang tidak dipenuhi permusuhan dan kebencian. Pengertian salam di sini juga dipahami mencakup keselamatan di akhirat, yakni di surga. Surga (jannah) juga disebut di Quran sebagai dar al-salam (Rumah Kedamaian; Q 6:127; Q 10:25). Selaras dengan pernyataan bahwa Quran adalah petunjuk subul al-salam, dinyatakan bahwa Allah sendiri, yang juga bernama al-Salam (Sumber Kedamaian; lihat Q 59:23), mengajak manusia menuju dar al-salam. Surah Yunus ayat 25 menyebutkan:
وَاللَّـهُ يَدْعُو إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Allah menyeru (manusia) ke Rumah Kedamaian (surga) dan memberi siapa yang dikehendaki-Nya petunjuk ke jalan yang lurus. Surga disebut sebagai dar al-salam karena para penghuninya selamat (salamah) dari segala macam kekurangan, dan salam (kedamaian) adalah ucapan tegur sapa di antara mereka (Q 10:10; Q 14:23; Q 7:46), ucapan sambutan Tuhan dan malaikat kepada mereka (Q 36:58; Q 13:24; Q 16:32; Q 39:73; Q 25:75; Q 33:44), dan satu-satunya yang mereka dengar di surga (Q 19:62; Q 56:26).
Bahwa surga diidealkan sebagai tempat kedamaian sudah menunjukkan bahwa Islam memandang kedamaian (dalam hubungan antarmanusia) sebagai kondisi yang ideal, dan ketidakdamaian sebagai kondisi yang tidak ideal. Ada dorongan agar kehidupan di bumi perlu diupayakan mendekati kehidupan di surga.
Faktanya, ucapan salam bukan saja dikabarkan merupakan ucapan penduduk surga, namun juga sudah diajarkan kepada manusia yang hidup di dunia untuk menjadi pesan yang selalu disebarluaskan. Tebarkan salam di antara kalian, demikian kutipan dari hadis Nabi Muhammad saw.
Dalam keterangan-keterangan di Quran sendiri, salam diajarkan oleh nabi-nabi (Q 11:69; Q 19:47; Q 51:25; Q 20:47; Q 27:59; Q 43:89), dan baik untuk disampaikan kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang jahil (Q 25:63), kepada orang yang bersenda gurau (Q 28:55), dan kepada kaum yang tak beriman (Q 43:89), selain kepada yang beriman (Q 6:54).
Kedua, menafsirkan Alquran dengan semangat moderasi. Pilihan melakukan moderasi lebih sesuai dengan prinsip-prinsip beragama sebagaimana dianjurkan Alquran. Alquran misalnya menyebutkan:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (al-Baqarah: 143).
Ketiga, menafsirkan Alquran dengan melibatkan aneka manhaj sehingga lahir tafsir yang adil terhadap teks, bertanggung jawab, dan otoritatif. Perpaduan berbagai manhaj – sekalipun tidak mudah untuk dilakukan seorang diri – lebih memberi kemantapan dalam mendekati kebenaran. Tafsir yang memadukan berbagai metode atau pendekatan seperti tafsirul-Qur’an bil-Qur’an, tafsir bil-ma’tsur, tafsir siyaqi-tarikhi, tafsir lughawi, tafsir ‘ilmi, tafsir isyari, dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada dalam kitab-kitab tafsir yang umum dipelajari di masyarakat.
Keempat, menafsirkan Alquran secara kontekstual. Pada satu sisi, setiap bagian Alquran bisa lebih dimengerti dengan melihat masa pewahyuannya. Asumsinya, Alquran tidaklah turun di ruang hampa, melainkan dengan latar sosio-historis yang telah membantu para audiens wahyu mengerti maksud Alquran. Sekalipun tidak seutuhnya, situasi sosio-historis ini (termasuk kehidupan Nabi dan para sahabatnya) masih bisa dikenali (oleh yang hidup di zaman sekarang) hingga batas-batas yang masih memungkinkan pembacaan yang kontekstual terhadap Alquran.
Pada sisi lain, Alquran perlu dipahami dalam konteks realitas kekinian, sehingga kita memerlukan upaya kontekstualisasi yang dapat menerjemahkan pesan moral Alquran yang berlatar sosio-historis dunia abad ketujuh menjadi pesan yang aplikatif dan efektif untuk menyinari kehidupan kita pada abad ini.
Kelima, menafsirkan Alquran dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Pelibatan perspektif berbagai disiplin ilmu –seperti bahasa, sejarah, hukum, sosiologi, antropologi, dan sains alam – lebih memudahkan kita untuk menghindari pemahaman yang kaku dan ekstrem terhadap konsep-konsep kunci dalam Alquran.
Keenam, menafsirkan Alquran secara komprehensif dan holistik. Setiap bagian Alquran bisa ditafsirkan dengan menghubungkannya dengan bagian-bagian lain Alquran yang relevan (dari segi tema, gaya bahasa, semantik, dsb.). Asumsinya, struktur Alquran meniscayakan pendekatan ini, yang tanpanya penafsiran Alquran menjadi lebih berpeluang untuk tidak akurat.
Selain itu, bagian tertentu dari Alquran dapat diikat dengan tujuan surah, pesan-pesan pokok Alquran, ataupun juga maqashid syari‘ah. Kendati melibatkan kerja-kerja intelektual yang kadang memakan waktu, pendekatan semacam ini menghadirkan pemahaman yang lebih utuh atau holistik.
Mendorong pemahaman Alquran yang setia pada prinsip-prinsip penafsiran tersebut diperlukan untuk membebaskan ajaran yang mulia dalam Alquran dari pembajakan makna oleh kelompok ekstrem. Akan tetapi, upaya mencabut akar ekstremisme pada pemahaman Alquran tidak cukup dengan melahirkan tafsir yang didasarkan pada prinsip-prinsip metodologis tadi. Upaya meluaskan jangkauan pengaruh tafsir moderat atas konsep-konsep tersebut perlu dilakukan secara sosiologis.
Ada beberapa pilihan cara atau strategi untuk mendorong penguatan moderasi di tengah wacana dalam masyarakat: Pertama, bermain di dunia penerjemahan Alquran. Terjemah Alquran akan selalu mengandung tafsir. Itulah mengapa perebutan tafsir juga terjadi dalam buku-buku terjemah Alquran. Bagaimana pun, sebagian pandangan ekstrem lahir dari pemahaman terhadap terjemah Alquran. Agenda meluaskan tafsir moderat melalui terjemah perlu mendapat perhatian dari kelompok-kelompok moderat.
Kedua, memasyarakatkan tafsir yang termaktub dalam kitab-kitab turats. Bagaimana pun, mayoritas muslim di nusantara mengadopsi cara pandang keagamaan yang mengutamakan adanya sandaran pada kitab-kitab yang ditulis ulama klasik. Saat reinterpretasi sering sulit memberi pengaruh luas, memopulerkan penafsiran klasik bisa banyak membantu.
Sebagaimana menjadi tradisi dalam keilmuan tafsir, kitab-kitab yang penafsirannya dimasyarakatkan pun sebaiknya berasal dari golongan keagamaan mana pun.
Dalam tradisi keilmuan tafsir arus utama, suatu kitab tidaklah ditolak penafsirannya lantaran penulisnya berasal dari latar belakang teologi, fikih atau tasawuf yang berbeda. Ini dapat membantu menguatkan proses moderasi di tengah masyarakat.
Ketiga, mengisi dan mewarnai dunia tafsir bil-ma’tsur –yaitu tafsir yang mengunggulkan metode memahami Alquran melalui riwayat hadis dan atsar. Sebagian paham ekstrem tampak tumbuh di kalangan orang-orang yang fanatik dengan pilihan manhaj tafsir ini. Tafsir bil-ma’tsur yang luas dan komprehensif dapat secara efektif memberi pengaruh kepada kalangan yang memiliki kerentanan lebih untuk terpapar ekstremisme.
Keempat, menguatkan dan meluaskan tafsir tematik dalam bahasa yang lebih populer. Tafsir tematik dapat dikemas menjadi bacaan populer. Tafsir tematik dalam bahasa yang akademik tidak cukup membantu mewarnai diskursus keagamaan di masyarakat.
Banyak yang menanti bacaan tafsir tematik yang dapat dicerna oleh kalangan yang lebih luas –utamanya yang tidak memiliki latar belakang disiplin ilmu tafsir atau disiplin ilmu tertentu. Upaya-upaya yang didaftar di sini adalah sebatas yang berhubungan dengan Alquran dan pemahamannya. Di luar ini tentu masih ada banyak upaya yang juga mendukung penguatan moderasi keindonesiaan. Wallahu a’lam. Selesai.