Jumat, April 26, 2024

Ekstremisme dalam Penafsiran Kitab Suci dan Penawarnya (Bagian 1)

Izza Rohman Nahrowi
Izza Rohman Nahrowi
Wakil Dekan FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA

Ekstremisme keagamaan berpijak pada pemaknaan, pemahaman, atau penafsiran tertentu atas kitab suci. Penarasian ajaran teks kitab suci yang menjadi pijakan ekstremisme memang kerap kali tidak cukup memadai untuk disebut sebagai penafsiran ataupun pemahaman, utamanya karena mengabaikan prinsip atau metode pembacaan teks.

Namun, penarasian “cepat saji” ala kaum ekstremis (yang bergandengan dengan pembacaan yang tak mendalam atas situasi atau realitas sosio-politik) tidak jarang cukup efektif untuk membentuk sikap atau memotivasi suatu aksi. Itulah mengapa kita perlu mengenali bagaimana kitab suci dibaca dalam bingkai ekstremisme dan mendaftar apa saja opsi yang tersedia bagi kita untuk membuat pembacaan itu tidak menular dan berdampak. Inilah dua hal yang menjadi perhatian inti dari tulisan ini.

Dalam kaitannya dengan kitab suci Alquran, pandangan dan sikap keagamaan yang ekstrem kerap kali ditopang oleh suatu pembingkaian Alquran sebagai kitab suci yang menuntut adanya dominasi (simbol-simbol) Islam dengan cara perang, kekerasan, perusakan, teror, siasat politik di luar arus, atau penyingkiran segala aturan-hidup buatan manusia.

Ajaran hidup damai dalam Quran tidak dipandang sebagai ajaran pokok, bahkan cenderung diabaikan, tidak dilirik, atau bahkan tertutup dari pandangan akibat kaca baca yang dipakai. Ayat seperti:

لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّـهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil, (al-Mumtahanah: 8), tidak beresonansi dalam pemahaman mereka mengenai apa yang Islam tuntut dari pemeluknya.

Yang demikian itu ditunjang pula oleh suatu asumsi bahwa Alquran mudah dipahami sehingga pemahamannya tidak membutuhkan kajian mendalam dan tidak memerlukan manhaj atau metodologi tafsir yang rumit.

Dalam ekstremisme, kaidah atau manhaj tafsir serta bangunan keilmuan ulumul-Qur’an, ushulut-tafsir atau ushulul-fiqh cenderung diabaikan, atau –kalaupun digunakan–itu digunakan secara amat minimalis atau pilih-pilih.

Ekstremisme sering menjajakan pemahaman harfiah terhadap ayat Alquran. Ayat seperti:

فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۚ

Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian, (al-Tawbah: 5), dipahami secara tekstual untuk membenarkan perang militer terhadap orang-orang yang tidak seagama di wilayah mana saja, sekalipun mereka adalah warga sipil yang tak bersenjata.

Paling banter ekstremis menggunakan teori nasakh untuk menyatakan bahwa ayat inilah yang perlu diikuti, dan bukan ayat-ayat yang mendorong sikap damai terhadap musuh. Pemahaman ekstremis atas kitab suci juga hampir selalu mengabaikan dimensi sosio-historis, baik latar sosio-historis masa pewahyuan maupun latar sosio-historis zaman sekarang saat aktivitas pembacaan dilakukan.

Pemahaman ekstrem sering berpijak di atas asumsi bahwa Alquran adalah petunjuk sempurna dari langit yang kata-katanya tidak perlu (dan tidak dapat) diikat oleh situasi historis tertentu. Dengan dalih ayat berikut ini:

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ

Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka, (al-Anfal: 60), ekstremis menebar teror melalui aksi pembunuhan dengan bom. Padahal, konteks historis ayat tersebut adalah penyiapan sarana perang, yang masih dilandasi oleh semangat mengutamakan perdamaian.

Itu ditambah lagi dengan asumsi bahwa Alquran adalah kitab yang pesannya cukup jelas sehingga pemahamannya tidak harus disandarkan pada otoritas keilmuan. Pemahaman dengan bekal terjemah Alquran saja, asalkan oleh orang yang dipandang memiliki komitmen atau semangat beragama yang kuat, sudah cukup untuk menjadi acuan untuk diikuti dan diamalkan. Dengan modal terjemah Quran, ayat seperti:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (al-Ma’idah: 50), digunakan untuk menumbuhkan sikap anti kepada negara yang berasas Pancasila. Kalaupun ada kitab tafsir yang digunakan (seringnya juga terjemah kitabnya saja), tafsir yang digunakan umumnya adalah satu kitab tafsir ringkas, atau kitab tafsir yang tidak banyak memberikan analisis.

Ekstremisme juga tumbuh berkat asumsi bahwa pemahaman Alquran adalah urusan simpel sehingga tidak diperlukan langkah untuk mendialogkannya dengan sesama pembaca. Dalam ekstremisme, pemahaman sekelompok kecil orang sudah cukup untuk menjadi jalan pengamalannya – sekalipun itu berdampak pada banyak orang. Ayat seperti:

وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً

Dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, (al-Tawbah: 36), tidak dirasa perlu didialogkan pemahamannya dengan sesama orang yang mengaku beriman.

Alih-alih mendialogkan dengan sesama pembaca kitab suci, pendukung ekstremisme justru memandang pemahamannya bersifat benar sekaligus final. Penafsiran yang berbeda mudah dipandang keliru dan sesat. Itu pun kemudian ditambah asumsi bahwa tiap ayat Alquran dapat berdiri sendiri, dalam arti dapat diisolasi dari ayat sekelilingnya, dari ayat-ayat di surah yang berbeda, ataupun dari dalil-dalil keagamaan di luarnya.

Perasaan mantap dalam memahami suatu ayat atau serangkaian ayat sudah dianggap bekal yang cukup untuk pelaksanaannya. Penafsiran yang holistik tentang pesan Alquran sulit untuk diharapkan lahir dari ekstremisme. Ayat seperti:

وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ

Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu, (al-Baqarah: 191), gampang sekali dipenggal oleh kelompok ekstremis dari pesan rangkaian ayat di sekitarnya.

Cara pandang dan cara baca terhadap Alquran di atas asumsi-asumsi tadi mudah sekali melahirkan pandangan dan sikap ekstrem, terutama ketika bertemu dengan konsep-konsep seperti jihad, qital, qishash, walayah, khilafah, hijrah, amr bil-ma‘ruf wa nahy ‘anil-munkar, kaffah, sabilullah, thaghut, jahiliyyah, fitnah, dan ‘aduww. Bermain-main di ruang tafsir konsep-konsep ini, mendukung paradigma kaum ekstremis yang membaca Alquran sebagai kitab yang memberi lisensi untuk tindakan kekerasan, teror, dan perang atas nama agama.

Pemahaman terhadap konsep-konsep itu tentu bukan monopoli ekstremisme, namun pemahaman yang menyeruak dalam diskursus mengenai terorisme, radikalisme, atau deradikalisasi terkait konsep-konsep ini sedikit banyak menunjukkan adanya pengaruh paham ekstrem.

Dihadapkan pada situasi ini, kita punya beberapa pilihan jalan keluar. Pertama, menghindari diskusi tentang konsep-konsep tersebut. Kedua, melucuti atau mendelegitimasi pemahaman ekstremis terhadap konsep-konsep itu. Ketiga, memenangi percaturan tafsir atas konsep-konsep tersebut dengan memenuhi ruang-ruang tafsir dengan pemahaman yang diikat oleh ajaran-ajaran Quran yang lain.

Pilihan pertama misalnya belakangan ini terekspresikan dalam anjuran agar penyebutan atau pembahasan tentang konsep-konsep tersebut dihilangkan dari pelajaran tertentu di sekolah. Pilihan ini cenderung terbaca sebagai pengakuan akan kekalahan dalam medan perebutan tafsir, dan cenderung memberi kesempatan leluasa bagi beredarnya mispersepsi dan misinterpretasi atas konsep-konsep tersebut.

Pasalnya, selama kata-kata tersebut termaktub dalam Kitab Suci, ruang diskusi tentang kata-kata itu akan terus ada. Pilihan kedua misalnya tampak dalam berbagai tulisan yang menunjukkan kekeliruan dari pemahaman atau penafsiran teks yang menjadi pijakan ekstremisme.

Terdapat buku-buku yang mencoba dengan penuh semangat mengetengahkan narasi tandingan bagi kaum ekstremis – yang (sebagiannya) pada saat yang sama sebenarnya juga mengenalkan narasi ekstremis. Pilihan ini baik, namun dapat saja menimbulkan kesan secara tidak sadar bahwa penafsiran ekstremis sudah sedemikian berpengaruh dan menimbulkan demam di mana-mana sehingga harus dilawan secara bertubi-tubi.

Pilihan ketiga terlihat lebih strategis untuk membebaskan konsep-konsep tersebut dari pengaruh pembacaan orang-orang ekstremis. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa melakukannya? Dalam konteks penafsiran Alquran, memenangi perebutan makna secara metodologis dapat ditempuh dengan beberapa langkah berikut ini:

Pertama, membingkai Alquran sebagai kitab yang berisi ajaran pokok tentang hidup damai sejahtera di dunia maupun di akhirat. Langkah ini tampak dilegitimasi oleh Alquran sendiri. Quran menyebut bahwa dengan Quran, Allah memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya menuju “jalan-jalan kedamaian” (subul al-salam). Surah al-Ma’idah ayat 15 dan 16 menegaskan:

قَدْ جَاءَكُم مِّنَ اللَّـهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُّبِينٌ * يَهْدِي بِهِ اللَّـهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

… Sungguh telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan juga kitab penjelas (yakni Quran). Dengan kitab itu Allah memberi orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya petunjuk ke jalan-jalan kedamaian, dan (dengannya pula) Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dengan seizin-Nya, dan memberi mereka petunjuk ke jalan yang lurus.

Al-Zajjaj, mufasir linguis masa awal, sebagaimana dikutip al-Mawardi dalam tafsirnya, mengartikan subul al-salam sebagai jalan keselamatan (salamah) dari ketakutan. Ibn ‘Asyur memaknai subul al-salam sebagai jalan-jalan keselamatan yang tidak memberi rasa takut kepada orang yang melintasinya, dan merupakan perumpamaan untuk jalan-jalan kebenaran (thuruq al-haqq).

Al-Thabathaba’i menyatakan bahwa salam bermakna keselamatan dan keterbebasan dari segala macam kesengsaraan yang merusak kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Bersambung.

Izza Rohman Nahrowi
Izza Rohman Nahrowi
Wakil Dekan FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.