Kamis, Maret 28, 2024

Ekopedagogik dan Manusia Otentik

Teguh Fachmi
Teguh Fachmi
Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Diskursus mengenai relasi persaudaraan kosmik antara manusia dan alam tidak hanya berhenti pada perbincangan filsafat saja, tetapi juga menjadi sebuah telaah menarik dalam kajian studi agama-agama, sosial dan budaya.

Ide mengenai persaudaraan kosmik manusia dan alam belakangan mengisi ruang-ruang diskusi publik, percakapan ini menjadi serius pasca kejadian banjir bandang dan beberapa bencana alam lainnya.

Manusia dinisbatkan sebagai aktor tunggal yang paling bertanggung jawab atas degradasi semesta raya ini, kesemuanya itu disebabkan karena ulah perbuatan manusia. Anggapan demikian memang dapatlah diamini karena hasrat dan habitus manusia dalam mengeksploitasi alam raya kerap kali sangatlah berlebihan. Akhirnya menciptakan disequilibrium ekologis atau ketidakseimbangan semesta raya yang merugikan.

Manusia seringkali dicitrakan seolah makhluk superior, sebagai penguasa alam raya karena dibekali akal budi. Kenyataanya, hal demikian adalah pandangan keliru yang dikultuskan, karena hakikat manusia hanyalah bagian terkecil dari ekosistem alam raya, maka manusia seharusnya benar-benar mengetahui siapa dirinya dan dimanakah perannya dalam semesta raya, ia sepantasnya juga memahami betul dimana ia tinggal, mengapa ia ada disana, untuk apa, dan bagaimana jika semesta raya terganggu keseimbangannya.

Akankah ia bisa tetap tinggal didalamnya, ataukah mungkin akan ikut binasa. Perenungan radikal mengenai beberapa pernyataan diatas akan mengantarkan manusia pada sebuah pemahaman empatik yang menubuh dengan semesta raya.

Sebagai makhluk hidup, manusia sangatlah bergantung pada alam. Ketergantungan manusia pada alam bukan hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan hal mendasar saja, tetapi lebih daripada itu manusia memerlukan alam untuk membentuk dirinya sendiri, ketidakseimbangan pada alam akan menghasilkan manusia yang tidak bahagia, terasing, dan tidak otentik. Mengapa demikian?

Karena manusia dan alam memiliki status ontologis yang sama, ia memiliki persenyawaan kosmos satu sama lain. Tubuh manusia bersenyawa dengan bumi, pun demikian sebaliknya.

Seperti dalam tradisi filsafat Islam diuraikan bahwa manusia merupakan miniatur semesta raya, pada tubuhnya terdapat anasir-anasir semesta raya. Bahwa dengan bercermin kepada alam manusia akan mengetahui siapa dirinya, atau sebaliknya ketika seorang mengkaji dirinya, maka ia akan mendapatkan citra-citra semesta raya yang bersifat mikroskopik.

Ekopedagogik: Ikhtiar Merajut Persaudaraan Kosmik Manusia dan Alam

Ekopedagogik terdiri dari dua entitas yakni ekologi (ecology) bermakna ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungan dan pedagogik (pedagogy) yang berarti ilmu pendidikan. Lebih lanjut ekopedagogik dipahami sebagai ilmu pendidikan lingkungan atau disingkat menjadi pendidikan lingkungan. Karel Surata, mendefinisikan ekopedagogik sebagai tipe pembelajaran berbasis cinta, partisipasi, dan kreativitas.

Ketika konsep ekopedagogik ini menjadi ruh dalam proses kegiatan pembelajaran maka paling tidak siswa diarahkan kepada tiga hal. Pertama, ekoliterasi teknis/fungsional untuk memahami dasar-dasar sains, konsep ekologi dan biologi, serta dampak positif dan negatif manusia terhadap sistem ekologi.

Kedua, ekoliterasi budaya untuk meningkatkan wawasan, kesadaran, dan pemahaman tentang berbagai perspektif budaya, dan Agama dalam hubungan antara manusia dan lingkungan yang menghasilkan keberlanjutan kehidupan. Ketiga, ekoliterasi kritis untuk melibatkan siswa memahami ke dalam politik ekologi, kemajuan teknologi dan komunikasi melalui dialog yang kritis dan konstruktif.

Lebih lanjut lagi, ekopedagogik ialah gerakan yang berorientasi ke masa depan sebagai upaya mengembangkan apresiasi dan membangun kesadaran kolektif manusia akan pentingnya menjaga keselarasan lingkungan. Ekopedagogik mengarahkan manusia agar dapat menemukan ego otentik-nya.

Menjadi pribadi otentik yang penuh dengan spirit ruh fitri (suci) yang menubuh bersama semestabukan lagi berdasarkan ego tubuh (body ego), ego intelektual (intellect ego), ego rasionalitas (ratio ego), tetapi menjadikan ego ruhiyah (sprit ego) yang menubuh bersama semesta agar mencapai infinitum titik ilahiyah tertinggi sebagai persona otentik yang penuh kepekaan terhadap lingkungan.

Teguh Fachmi
Teguh Fachmi
Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.