Beberapa waktu lalu, Prof. Rhenald Kasali, seorang pakar bisnis sekaligus Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, menulis sebuah artikel analisis terhadap tutupnya Seven Eleven (Sevel) di Indonesia. Intinya, beliau menganggap regulasi menjadi salah satu faktor signifikan yang membuat Sevel akhirnya harus gulung tikar.
Menurut Rhenald, pasca tahun 2013, Sevel dipaksa regulator untuk mengubah model bisnisnya menjadi mini market biasa dengan konsep grab and bite–mungkin maksudnya grab and go, sebuah istilah untuk outlet yang menyediakan makanan beku, pembeli mengambil sendiri, lalu dipanaskan sambil melakukan proses pembayaran, dan dalam waktu kurang dari 5 menit sudah bisa dimakan.
Namun, Rhenald sama sekali tidak menyebutkan regulasi yang mana yang ia maksud? Pada tahun 2012, Sevel memang mendapat teguran dari Kementerian Perdagangan terkait konsep bisnisnya yang tidak sesuai izin. Sevel berdiri dan beroperasi di wilayah Jakarta sejak tahun 2009 mengantongi izin dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta.
Ketika sudah semakin berkembang, Sevel ditagih urusan perizinan oleh pusat melalui Kementerian Perdagangan. Kendala yang dihadapi Sevel kemudian adalah tidak dapat diberikannya izin ganda untuk Sevel beroperasi sebagai ritel sekaligus restoran. Sevel akhirnya memilih izin restoran, namun membutuhkan waktu transisi dari sebelumnya beroperasi sebagai ritel.
Sampai pada titik ini, Sevel masih berdiri tegak dengan konsep mini market biasa, namun tetap dipadukan dengan aneka minuman, termasuk menu khas anak gaul yang bernama Slurpee.
Dapat dilihat bahwa Sevel sendirilah yang memilih izin restoran, maka tidak mungkin regulator justru memaksanya menjadi mini market. Konsep grab and go adalah model yang dipilih Sevel dalam kapasitasnya untuk beroperasi sebagai restoran.
Lalu, apa yang terjadi sepanjang tahun 2009 sampai tahun 2012? Rhenald mengatakan bahwa pertumbuhan Sevel baik dan hal ini dapat dilihat dari multiplikasi jumlah gerainya di Indonesia. Dari mulai 1 unit di tahun 2009, 21 unit di tahun 2010, 57 unit di tahun 2011, 117 unit di tahun 2012, dan terus berkembang hingga 190 unit di tahun 2014.
Saya kurang setuju dengan pendapat ini. Pertambahan jumlah gerai Sevel hingga tahun 2012 sama sekali tidak mencerminkan penjualan. Hingga kuartal 2 tahun 2011, Sevel masih merugi, dan memang dicanangkan baru meraup untung setelah mencapai 100 outlet. Pembangunan gerai seutuhnya dibiayai modal internal perusahaan, bukan dari keuntungan.
Meskipun kerugian adalah bagian dari perencanaan, tetapi tentu saja kita dapat mempertanyakan, apakah kesalahan pada produk, pricing, atau variabel inheren lainnya menjadi salah satu penyebab kerugian? Yang mana bisa dipastikan punya dampak jangka panjang–termasuk terhadap sustainability dari bisnis itu sendiri.
Nah, ketimbang regulasi, saya rasa kegagalan Sevel lebih cocok dibebankan pada faktor inheren, terutama value yang ia coba deliver kepada pasar. Saya hendak mendukung argumen yang mempermasalahkan (1) identitas brand yang tidak jelas dan (2) produk yang tidak kompetitif.
Sevel sebagai sebuah brand tidak bisa diidentifikasi dengan jelas, value apa yang sebetulnya hendak ia tawarkan? Tempat nongkrong? Tapi, wifinya lambat. Restoran? Tapi, makanannya biasa aja. Ritel? Tapi, barang-barangnya super mahal. Tempat meeting? Tapi, lokasi kurang elegan.
Dia seperti remaja yang masih dalam pencarian jati diri, sehingga saya sebagai konsumen juga bingung ketika menempatkannya dalam berbagai pilihan yang ada di pasar.
Dengan budget yang sama, kalau saya mau cari tempat nongkrong, ada colokan, ada wifi, 24 jam, yang menyediakan makanan, bahkan mungkin lebih enak, maka ada McDonalds (McD), lengkap dengan McCafe yang menyediakan kopi dan donat.
Sevel lovers mungkin akan menjawab dengan, “ih, McD kan gak ada ritelnya.” Iya, sih, tapi sebagai ritel juga Sevel itu nanggung. Sama sekali gak lengkap. Bahkan untuk makanan ringan kayak Chitato pun dia gak menyediakan semua varian rasa.
Ini sudah cukup menyinggung produk sih. Identitas brand yang tidak jelas itu mungkin juga yang membuat dia jadi sulit mau menawarkan produk yang betul-betul mumpuni.
Dia juga kelimpungan, apakah mau fokus mengembangkan burger yang lebih enak dari Super Beef Back Cheeseburger-nya Carl’s Jr dan steak yang lebih enak dari Jack Daniel’s Grill-nya TGI Friday’s atau menyediakan varian rasa Chitato dan Indomie yang lebih lengkap dari Alfamidi sekaligus tempat meeting yang lebih nyaman dari Starbucks.
Masalah produk ini juga memang sebagiannya ada yang bersinggungan dengan regulasi, yakni minuman keras (miras). Sevel sendiri sempat mendapatkan 10-15% keuntungannya dari menjual miras.
Sayang sekali, sejak tahun 2015, miras dilarang beredar di mini market–aneh ya, Sevel secara de jure beroperasi sebagai restoran, tapi secara de facto terkena dampak regulasi ritel. Bingung? Ya, saya juga bingung dan tidak dalam kapasitas untuk memberikan penjelasan delik hukum ini.
Masalah produk juga sangat mungkin mempengaruhi per person spending. Misalnya saja, barang yang berpotensi dibeli harganya relatif rendah padahal bisa dinikmati beramai-ramai. Sementara perputaran pengunjung lambat karena memang sebagian besar nongkrong.
Jangan lupa, anak muda kadang tega. Mereka bisa beli minuman sebotol, lalu dibagi berenam, selanjutnya main poker sampai pagi. Hal ini sejalan dengan argumen yang disampaikan oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Rosan Roeslani.
Terlepas dari perbedaan pendapat menyoal penyebab tutupnya Sevel, saya satu juta persen setuju dengan Prof. Rhenald dalam hal kritiknya terhadap regulator yang kolot dan sulit berubah, sudah begitu rumitnya mengalahkan fisika kuantum, dan tidak jarang juga tebang pilih. Sungguh kombinasi maha petaka bagi pertumbuhan bisnis dan kesejahteraan masyarakat.
Regulator seharusnya bisa lebih lentur dalam membuat hukum, mengikuti perkembangan zaman yang berubah setiap detik, bukan lagi setiap dekade, dan memastikan peluang untuk mencapai kesejahteraan dapat terbuka selebar-lebarnya.
Baca juga: