Minggu, Oktober 13, 2024

Mampukah Anies-Sandi Membangun Ekonomi Jakarta?

Alexander Michael Tjahjadi
Alexander Michael Tjahjadi
Research Intern Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Ketua Tim Sinkronisasi Anies-Sandi, Sudirman Said (kiri) menyerahkan hasil kerja tim sinkronisasi pada pasangan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan (tengah) dan Sandiaga Uno di Jakarta, Jumat (13/10). Hasil kerja tim sinkronisasi itu dirangkum dalam buku “Sumbangan Pemikiran Untuk Jakarta”. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Untuk membangun ekonomi Jakarta, kemampuan retorika dan mengatur bisnis tidaklah cukup. Dalam membangun Jakarta, yang dibutuhkan adalah kemampuan merencanakan, mengeksekusi, dan mengevaluasi program dengan baik. Tantangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno cukup besar dalam perencanaan pembangunan di Jakarta. Janji mereka di bidang pendidikan, ketenagakerjaan, perumahan, kependudukan, dan transportasi harus dikawal dengan baik.

Sudah lama diketahui bahwa pendidikan telah menjadi salah satu kekhasan Anies Baswedan. Bahkan saat debat calon gubernur-wakil gubernur dalam kampanye Pilkada Jakarta 2017, Anies-Sandi kerap menyinggung program Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus. KJP yang disebut-sebut ini menjadi salah satu “andalan” program dari pasangan ini.

Data menunjukkan bahwa dari segi anggaran, terjadi peningkatan signifikan untuk program ini dari Rp 500 miliar di tahun 2013 menjadi Rp 2,5 triliun di tahun 2016. Kurang lebih anggaran meningkat 5 kali lipat, namun dari segi jangkauan penerima hanya meningkat 75 persen pada periode tersebut.

Selain itu, tantangan di bidang ini adalah meningkatkan jangkauan; artinya program ini harus menjangkau siswa yang memang membutuhkan. Sebab, bisa saja yang dibantu justru mereka yang dari kalangan menengah dan atas.

Di lain sisi, anggapan bahwa peningkatan angka partisipasi sekolah hanya bersandar pada KJP merupakan anggapan yang keliru. Riset di bidang ekonomi pendidikan menunjukkan bahwa pilihan mengikuti pendidikan juga terkait dengan keluarga, ekspektasi masa depan, dan fasilitas pendidikan.

Yang memprihatinkan lagi, angka partisipasi sekolah tidak menunjukkan kualitas pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini, saya menganalisis ada beberapa daerah yang perlu diperhatikan lebih khusus, yaitu Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Kedua daerah ini memiliki angka partisipasi pendidikan yang masih rendah.

Ketenagakerjaan merupakan isu yang menarik untuk dibahas. Kita tahu bahwa upah minimum regional (UMR) di DKI Jakarta memiliki kenaikan yang fantastis jika dibandingkan dengan daerah lain. Akan tetapi, janji untuk menaikkan UMR perlu dipikirkan, karena akan menjadi penyumbang kenaikan inflasi. Mewaspadai kenaikan inflasi harus dilakukan karena inflasi ibaratnya mengikis daya beli masyarakat, sehingga tanpa pemikiran panjang kenaikan UMR akan mengikis juga daya beli.

Maka, perlu dilakukan pemberdayaan ketenagakerjaan di beberapa wilayah di DKI Jakarta. Pada tahun 2015, Jakarta Timur merupakan satu daerah dengan pencari kerja terbanyak, yaitu lebih dari 20 ribu orang. Janji membuka lapangan kerja tentu harus dibarengi dengan pendampingan. Tanpa itu, pekerja yang tidak memiliki keterampilan akan masuk ke dalam sektor informal dan terjebak pada pendapatan yang rendah.

Di lain sisi, tantangan di bidang perumahan tidaklah sederhana. Program DP nol rupiah yang dicanangkan pada program kerja pastilah akan ditagih. Jika dilihat dari data, kepemilikan bangunan tempat tinggal di Jakarta masih di bawah rata-rata nasional. Kurang lebih hanya 50 persen penduduk di Jakarta yang memiliki status kepemilikan tempat tinggal. Situasi ini ditambah lagi dengan pembangunan perumnas yang hanya membangun 1,360 rumah pada tahun 2014. Jumlah ini tidak mencukupi kebutuhan masyarakat.

Ketenagakerjaan terkait erat dengan kependudukan. Walaupun jumlah penduduk miskin di DKI paling rendah di Indonesia, tantangannya terletak dalam mengurangi ketimpangan yang terjadi. Ketimpangan yang turun bukan berarti menunjukkan kesempatan yang lebih baik, bisa saja itu dikarenakan pengeluaran per kapita kelas menengah atas mengalami penurunan.

Dalam hal ini, program untuk mengatasi kemiskinan perlu lebih spesifik karena menurunkan angka kemiskinan yang sudah rendah cukup sulit. Masalah kemiskinannya akan lebih spesifik dan menyangkut kemiskinan struktural.

Pembahasan bidang terakhir terkait bidang transportasi. Jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di Jakarta meningkat sebesar 46 persen selama tahun 2011 sampai 2015. Pada tahun 2015, kendaraan bermotor di DKI mencapai 18 juta kendaraan, bahkan rata-rata pertumbuhannya mencapai 8,1 persen per tahun. Pertumbuhan kendaraan bermotor yang tinggi ternyata berbanding lurus dengan penggunaan transportasi.

Data dari Dewan Transportasi Kota Jakarta menunjukkan bahwa dari seluruh perjalanan transportasi darat, hanya 24 persen yang menggunakan transportasi umum, sisanya adalah kendaraan pribadi. Hal ini menunjukkan transportasi massal yang memadai, nyaman, dan aman amat diperlukan untuk mengurai masalah ini. Hebatnya lagi dari seluruh kendaraan pribadi, 75 persen atau 14 juta kendaraan adalah kendaraan motor.

Kenaikan tarif parkir bagi kendaraan bermotor akan berdampak parah bagi kesejahteraan masyarakat, dan ide kenaikan ini tidak masuk akal. Kita mengetahui bahwa dari sisi pengeluaran, sebagian besar warga Jakarta sudah terbebani untuk pengeluaran non-makanan, maka penambahan tarif parkir akan menjadi beban pengeluaran masyarakat.

Saya mengusulkan kebijakan yang bisa diterapkan adalah pembatasan kredit motor, namun hal ini bisa berdampak ke industri motor. Dalam konteks ini, Pemprov Jakarta harus merumuskan dengan baik strategi pengurangan motor dan substitusi kendaraan motor ke transportasi massal.

Yang tak kalah penting adalah pengenaan pajak yang tinggi bagi pemilik kendaraan pribadi roda empat, jika memang membatasi kepemilikannya sulit. Pasalnya, selama ini ada kesan biang kemacetan di Jakarta adalah kendaraan roda dua. Padahal, kendaraan pribadi roda empat juga berseliweran di sana-sini.

Selain itu, pemerintah sudah berpikir mengurangi kendaraan dengan upaya pelarangan, dan penggunaan metode ganjil genap. Akan tetapi, upaya pelarangan kendaraan tidak akan manjur jika tidak menyasar akar persoalan, yaitu budaya masyarakat, terutama dalam menggunakan transportasi publik (umum). Ketika budaya masyarakat belum siap, masyarakat tidak siap berpindah dari transportasi pribadi ke transportasi massal, khususnya busway.

Jika dicermati, sebetulnya sebagian besar masyarakat kita siap beralih ke transportasi massal yang oke dan nyaman. Contonya KRL Commuter Line yang sejak beberapa tahun ini kondisi, fasilitas, dan pelayanannya terbilang baik: tertib, bersih, ber-AC, dan membuat nyaman para penumpang, walau harus berdesak-desakan.

Tapi bagaimana dengan transportasi publik lainnya?

Tentu masih banyak yang harus dipikirkan oleh pasangan yang baru dilantik ini. Program kerja yang ada harus menyasar kepada inti persoalan. Bukan hanya menciptakan program baru, karena dengan hanya menciptakan program baru, tidak akan menyelesaikan permasalahan riil di masyarakat.

Pak Anies dan Pak Sandi, selamat berjuang.

Kolom terkait:

Mau ke Mana Nakhoda Baru Kapal Jakarta?

Jakarta, Sistem Ganjil Genap, dan Kepanikan Ahok

Menggusur Motor dari Jalan-jalan Protokol

Anies-Sandi dan Mimpi Punya Rumah tanpa DP

Di Balik Kampanye Bagi-bagi “Rumah Gratis” ala Anies

Alexander Michael Tjahjadi
Alexander Michael Tjahjadi
Research Intern Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.