Pebisnis, politisi, dan artis dikejutkan dengan “dokumen surga” atau yang disebut dengan Paradise Papers, hasil kerjasama tim investigasi International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Ada beberapa temuan yang menarik dari dokumen tersebut seperti jutaan poundsterling yang diinvestasikan oleh Ratu Inggris, masifnya perusahaan cangkang (off-shore) di kabinet Trump, dan penghindaran pajak perusahaan besar seperti Nike dan Apple. Hal ini menunjukkan ada masalah krusial dalam melakukan penghindaran pajak.
Paradise Papers merupakan dokumen kedua terbesar yang dibongkar setelah Panama Papers. Dokumen ini mempunyai ukuran dokumen sebesar 1,4 terabyte, atau setengah ukuran dari Panama Papers. Maka, tak heran, fokus seluruh dunia kembali kepada surga pajak (tax havens), terlebih saat ketimpangan pendapatan di beberapa negara bertambah.
Menurut Guardian yang menjadi salah satu konsorsium ICIJ, surga pajak menjadi salah satu “mesin utama” peningkatan ketimpangan global, karena perusahaan cangkang memberikan celah agar pajak dari perusahaan maupun korporat berkurang.
Ibarat gunung es, dokumen ini merupakan puncak gunung es, di bawahnya masih terdapat polemik pajak. Dalam hal ini, seluruh kementerian keuangan di seluruh dunia menghadapi polemik ini, yaitu penghindaran pajak oleh korporat maupun perseorangan. Parahnya lagi, ada lima nama orang Indonesia yang disebut dalam dokumen ini: Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Thomas Lembong, Tommy Soeharto, dan Mamiek Soeharto.
Masalah yang nyata ini dapat ditelusuri dari regulator dan swasta sendiri. Dari sisi regulator, walaupun terdapat program “pengampunan” pajak seperti tax amnesty atau sunset policy, nyatanya belum mampu menghapus praktek penghindaran pajak. Penghindaran tetap dilakukan karena swasta berharap bahwa akan ada program serupa di masa depan.
Selain itu, regulator memiliki cap mempersulit dunia usaha, apalagi jika sudah mendekati tutupnya tahun anggaran. Mereka yang dianggap tidak menaati peraturan langsung ditindak. Hal ini membuat beberapa pengusaha melakukan protes karena Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya melakukan upaya penindakan tetapi kurang upaya sosialisasi.
Melihat data ekonomi yang ada, mungkin kita bisa maklum terhadap situasi ini, karena rasio pajak terhadap PDB Indonesia sangatlah kecil, yaitu 10.3 persen pada tahun 2016. Beberapa negara OECD memiliki rasio pajak terhadap PDB rata-rata sebesar 34 persen. Padahal, pajak sangat diperlukan untuk pembiayaan pembangunan. Tanpa pajak yang mencukupi, pembangunan harus mencari sumber pembiayaan seperti utang luar negeri.
Hal inilah yang membuat DJP tertatih-tatih mengejar pajak dari masyarakat. Mereka menggunakan berbagai upaya untuk menarik minat masyarakat. Kebijakan tax amnesty tahun lalu, misalnya, mampu meningkatkan rasio pajak dari 10.3 persen menjadi 10.8 persen. Kenaikan ini masih sedikit jika dibandingkan potensi pajak di Indonesia. Pada tahun 2011, laporan IMF menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi pajak terhadap PDB sebesar 21 persen.
Dari sisi swasta, perusahaan besar membutuhkan kemudahan proses dan transparansi dalam pajak. Aturan yang banyak membuat beberapa pihak enggan untuk membayar pajak secara legal. Hal ini belum ditambah lagi dengan pegawai pajak yang menawarkan “jasa” untuk mempermudah proses, atau praktik korup lainnya.
Praktik korup, misalnya, dengan menawarkan pengurangan jumlah nominal pajak. Sebagai gantinya, petugas mendapatkan bagian atau “fee” karena melakukan itu. Akibat regulasi yang tidak menentu, swasta memiliki kepercayaan yang rendah terhadap regulator.
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh DJP untuk membuat kemudahan proses dan transparansi pajak, misalnya dengan mempunyai basis pajak yang terintegrasi dengan sistem informasi dan teknologi. Integrasi sistem bisa dengan cara pelaporan menggunakan dalam jaringan (daring). Hal ini akan mengurangi potensi kecurangan atau cara-cara kotor petugas pajak. Dengan menggunakan layanan daring, data bisa diakses dari berbagai tempat, yang memungkingkan semakin terintegrasinya basis pajak
Selain itu, pembenahan staf operasional diperlukan agar praktik kecurangan tidak terjadi lagi. Sumber daya manusia di DJP harus dilatih untuk mengedepankan transparansi dalam bertugas. DJP dalam hal ini juga harus menyusun tata cara pemungutan pajak yang benar agar mengembalikan kepercayaan korporat maupun wajib pajak lainnya.
Sebagai penutup, DJP seharusnya bisa menggunakan Paradise Papers dengan bijak. Penelusuran ini penting agar rasa keadilan dirasakan oleh masyarakat dalam hal pajak karena kita telah melihat bahwa penanganan nama-nama dalam Panama Papers tidak maksimal. Padahal, menurut UU No. 11/2016 jelas disebutkan bahwa perlu dilakukan tindakan tegas terhadap setiap orang yang laporan pajaknya tidak benar.
Kolom terkait:
Setelah Panama Papers Makan Korban