Garam adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Hampir tiada hari di meja makan tanpa adanya garam. Lebih dari itu, garam bukan semata penopang ekonomi dan swasembada pangan, melainkan sebuah tradisi dan kebudayaan yang harus dilestarikan.
Sebuah ironi sekaligus misteri bagi Indonesia, negara maritim yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, ternyata mengalami krisis garam. Negara tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional akan senyawa kristalin yang lebih dikenal sebagai pengasin itu.
Menurut data Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), kebutuhan garam nasional setiap tahun mencapai 4,23 juta ton. Sedangkan stok yang ada saat ini hanya 112.671 ton. Sementara itu, jumlah produksi garam dalam negeri pada 2016 lalu hanya 116 ribu ton.
Kebutuhan garam untuk masyarakat (seperti kebutuhan rumah tangga, pengawetan ikan, dan pengasinan) mencapai 750 ribu ton juta per tahun. Sedangkan kebutuhan garam untuk industri, lebih besar lagi (dibanding konsumsi rumah tangga). Dalam setahun, kebutuhan garam untuk untuk industri lebih dari tiga juta ton.
Karena produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan industri, baik dalam segi mutu maupun jumlah, kebutuhan garam industri dan farmasi dipenuhi oleh impor.
Fokus Produksi
Memang, tidak semua dari 95 ribu kilometer garis pantai kita itu dapat dijadikan lahan potensial untuk pertanian garam. Hanya 34 ribu hingga 40 ribu kilometer garis pantai yang diperkirakan dapat dijadikan ladang garam.
Namun, bila melirik negara tetangga, Australia, mereka mampu memproduksi garam tujuh kali lipat dari hasil industri garam Indonesia. Bahkan kita mengimpor garam dari negara yang garis pantainya tak lebih dari separo dari Indonesia itu. Sungguh fakta yang memilukan.
Apa yang salah dengan industri garam di Indonesia? Apakah produksinya? Atau soal distribusi? Atau kedua-duanya?
Dalam soal produksi, kuantitas dan kualitas produksi garam sangat ditentukan kondisi area yang ideal untuk industri. Yaitu, daerah dengan curah hujan terendah, berpantai landai, tak ada muara sungai, dengan kadar garam laut tinggi, memiliki musim kemarau panjang, dengan tingkat kelembaban yang sangat rendah dan evaporasi yang tinggi.
Di Australia, mereka menumpukan produksi garamnya di daerah bagian selatan. Faktanya bagian selatan Australia ini mampu memberikan kontribusi hingga 90% dari produk nasional Negeri Kanguru itu.
Saat ini ada tiga titik ekspor yang berdekatan dengan lokasi produksi garam di bagian selatan, yaitu Dampier (1960), Port Hedland (1960), dan Onslow (2001). Tiga titik pengolahan tersebut memiliki kemampuan untuk menghasilkan 9.3 Juta ton garam per tahunnya.
Salah satu daerah yang terkenal adalah Pilbara. Area ini terkenal dengan daerah yang memiliki iklim yang panas dan tingkat kadar garam laut yang tinggi, sehingga wajar saja bila daerah ini menjadi pusat industri garam yang berkontribusi terhadap 75% produk garam di Australia. Iklim yang panas hampir sepanjang tahun membuat area ini dapat menghasilkan garam dengan cara evaporasi lewat bantuan matahari (Pramono, 2012).
Untuk produksi, tambak-tambak garam di wilayah pantai yang beriklim basah, dekat muara sungai, tidak bisa lagi dipertahankan. Di Indonesia, tambak-tambak garam layaknya lebih difokuskan ke daerah Madura, Nusa Tenggara Timur, sebagian Nusa Tenggara Barat, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Tenggara, dan Teluk Palu.
Distorsi Pasar
Soal distribusi garam pun tak luput dari cengkeraman kartel. Kita dapat berkaca pada kasus kartel perdagangan garam ke Sumatera Utara pada 2005 lalu. Dalam kasus ini, pihak terlapor adalah PT Garam, PT Budiono, dan PT Garindo dengan PT Graha Reksa, PT Sumatra Palm, UD Jangkar Waja, dan UD Sumber Samudera.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan bahwa para terlapor telah melakukan pelanggaran terhadap Ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, di antaranya Pasal 6 mengenai diskriminasi harga.
Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan yang menemukan adanya kesepakatan secara lisan yang dilakukan PT Garam, PT Budiono dan PT Garindo (G3) dengan PT GrahaReksa, PT Sumatera Palm, UD Jangkar Waja dan UD Sumber Samudera (G4) untuk menetapkan harga produk PT Garam lebih tinggi dibandingkan dengan harga produk PT Budiono dan PT Garindo.
Mengapa itu bisa terjadi? Herbert Hovenkamp dalam The Law of Competition and It’s Practice (1995) menyebutkan, pada suatu struktur pasar yang kompetitif, ketika pelaku usaha yang berusaha di pasar tersebut jumlahnya banyak, serta tidak ada hambatan bagi pelaku usaha untuk masuk ke dalam pasar, membuat setiap pelaku usaha yang ada di dalam pasar tidak akan mampu menyetir harga sesuai keinginannya.
Mereka hanya menerima harga yang sudah ditentukan oleh pasar dan akan berusaha untuk berproduksi secara maksimal agar dapat mencapai suatu tingkat yang efisien dalam berproduksi.
Namun, sebaliknya, dalam pasar yang berstruktur oligopoli, di mana di dalam pasar tersebut hanya terdapat beberapa pelaku usaha saja, kemungkinan pelaku usaha berkerjasama untuk menentukan harga produk dan jumlah produksi dari masing-masing pelaku usaha menjadi lebih besar.
Karena itu, biasanya praktik kartel garam dapat tumbuh dan berkembang pada pasar yang berstruktur oligopoli: lebih mudah untuk berkongkalikong dan menguasai sebagian besar pangsa pasar. Ironis!