Minggu, Desember 8, 2024

Hak Asasi Ekonomi dan Intoleransi

Mukhaer Pakkanna
Mukhaer Pakkanna
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta
- Advertisement -

Setiap 10 Desember, masyarakat internasional memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM). Penetapan tanggal tersebut adalah untuk memperingati pengadopsian Deklarasi Universal HAM 1948 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki setiap manusia yang telah ada sejak lahir dan hak ini tidak bisa diganti atau diganggu gugat oleh siapa pun. Sejatinya, tiap warga negara menjunjung tinggi hak asasi manusia tanpa membedakan antara satu warga dengan warga lain.

Dalam bidang ekonomi, Hak Asasi Ekonomi (property rights) tentu diwujudkan dalam bentuk hak memiliki, membeli, menjual, dan memanfaatkan sesuatu. Dalam ekonomi, kesetaraan (equality) dalam hak ekonomi hukumnya wajib dilindungi negara. Tentu mekanismenya, negara harus menciptakan atmosfir yang mendukung melalui peraturan perundangan (Idjehar, 2003).

Karena itu, negara melalui aparatur pemerintahnya tidak boleh melakukan diskriminasi, favoritisme, pemberian privilege pada orang dan kelompok tertentu, ekslusifitas, dan lainnya. Di sinilah letaknya, keadilan ekonomi sebagai pilar pertama yang harus diperjuangkan.

Selain keadilan ekonomi, nasionalisme ekonomi harus menjadi pilar kedua. Nasionalisme ekonomi merupakan hak asasi ekonomi suatu negara untuk melindungi diri dari imprealisme bangsa asing. Kata Bung Karno (1966), nasionalisme ekonomi mengejawantah dalam konsep Berdiri di Atas Kaki Sendiri (Berdikari).

Ketika berpidato dihadapan Sidang Umum IV MPRS (1966), Bung Karno menegaskan: “…bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerja sama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka. Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kepada kerja sama yang sama derajat dan saling menguntungkan. Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama derajat dan saling menguntungkan.”

Ketidakadilan Ekonomi

Banyak kasus ketidakadilan atau ketidaksetaraan ekonomi kasat mata di depan kita. Ketidakadilan ekonomi, justru banyak yang diproduksi oleh negara melalui aparaturnya. Kasus reklamasi teluk Jakarta misalnya, yang secara kajian akademik tidak layak (unfeasible) justru dipaksakan negara dengan pertimbangan keuntungan ekonomi. Keuntungan bagi pelaku usaha kakap (taipan) dengan terang benderang telah mendiskriminasi lingkungan biota dan hajat hidup rakyat, terutama nasib nelayan.

Sejatinya, bisnis reklamasi teluk di mana pun adalah bisnis paling empuk. Bayangkan, lahan (tanah) yang awalnya hanya hamparan lautan kosong menjadi lahan yang bernilai puluhan hingga ratusan juta rupiah per meter. Pada kasus reklamasi teluk Jakarta, tanah urugannya diangkut dari beberapa kawasan penyangga yang tidak jauh dari ibu kota Negara.

Jutaan ton telah diangkut untuk mereklamasi teluk. Para taipan, membeli tanah urugan dari rakyat yang harganya sangat rendah. Jika proyek reklamasi teluk Jakarta itu sudah tuntas, yakin harga lahan per permeter minimal Rp25 juta (harga taksiran saat ini di Jakarta Utara). Jika harga itu dikali dengan rencana luasan areal reklamasi sekitar 5.100 hektar, maka hasilnya mencapai ribuan triliun rupiah yang bakal diperoleh para pengembang taipan.

Jelas nilai ini belum memperhitungkan, jika di atas lahan itu telah berdiri aset gedung-gedung mewah pencakar langit, mall, apartemen, hotel, tempat wisata, areal perkantoran dan lainnya. Tentu, harganya jika dijumlahkan menjadi puluhan ribu triliun rupiah hanya dalam waktu lima tahun seuai jangka waktu proyek reklamasi..

Ketidakadilan selanjutnya pada kasus reklamasi teluk Jakarta adalah adanya 17 pulau buatan yang bakal di bangun dan satu bendungan terbesar di dunia (Giant Sea Wall/GSW) yang diprediksi GSW menelan biaya Rp500 triliun (Tanjung, 2016). Tentu, 17 pulau sudah dikavling-kavling oleh sekitar sembilan perusahaan kakap, entah dengan prosedur bagaimana proses pengavlingannya itu!.

- Advertisement -

Bagaimana proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)-nya publik banyak yang gagal paham. Semuanya serba ajaib! Justru yang unik, selain para taipan properti yang terlibat dalam proses pengavlingan, ada beberapa nama perusahaan yang dicurigai berkuasa sejak zaman Orde Baru dan berafiliasi dengan tokoh-tokoh nasional Bahkan, jika ditelesik, komisaris hingga direksi perusahaan taipan itu, banyak yang beralatar pensiunan jenderal.

Kasus ketidakadilan yang diproduksi negara seperti kasus reklamasi teluk Jakarta itu, jamak terjadi di daerah lain. Hak asasi ekonomi rakyat untuk bisa hidup layak, hak memiliki dan hak untuk sejahtera sesuai makna imperatif konstitusi negara selalu diabaikan demi kepentingan pengusaha taipan. Bahkan, ada gejala bahwa proses pengavlingan kawasan di dukung pula keterlibatan pihak asing dengan dalih investasi. Jebakan teori konspirasi dan praktik korportokrasi global bisa mendapat justifikasi.

Korporatokrasi

Awal tahun 2000-an, Jhon Perkins menulis buku testimoni menakjubkan: Confession of An Economic Hitman (2004). Perkins menyebut dirinya Bandit Ekonomi atau Economic Hitman (EHM). Korporatokrasi menurut Perkins, suatu sistem pemerintahan yang dikendalikan/dikuasai/dijalankan oleh beberapa korporat. Para korporat ini biasanya para pengusaha taipan yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan-kebijakan politik ekonomi sosial budaya, dan lainnya dalam suatu negara.

Di Tanah Air, yang unik adalah, para pengusaha taipan ini enggan berafiliasi pada parpol dan kandidat tertentu dalam perebutan kekuasaan. Tapi, mereka ini acapkali menyuplai dana tidak terhingga kepada Parpol dan kandidat dalam kontenstasi pilpres, pemilu dan pilkada. Inilah konsekuensi dari biaya politik yang sangat mahal di negeri Pancasila kita.

Dalam filosofi para penguasaha taipan, no free lunch (tidak ada makan siang gratis) dalam politik dan bisnis. Dengan demikian, tidak mungkin hak asasi ekonomi bisa tegak jika ketidakadilan atau ketidaksetaraan masih menjamur di mana-mana. Apalagi jika nasionalisme ekonomi sudah digadai aparatur negara demi jejaring korportokrasi global.

Sangat tepat ucapan Frans Magnis Suseno, usai berdialog dengan President of Rissho Koesi-kai, sekte Budhis dari Jepang pada Jumat (24/11): ”Ketidakadilan adalah akar semua sikap intoleran”. Artinya, jika hak-hak ekonomi tidak berjalan dengan baik alias terjadi diskriminasi dan segregasi sosial-ekonomi terhadap pelaku ekonomi lemah misalnya, pasti sikap-sikap intoleran bakal menyeruak. Dengan demikian, sikap intoleran terjadi karena diproduksi oleh aparatur negara karena telah bersikap tidak adil bagi bangsanya sendiri…

Mukhaer Pakkanna
Mukhaer Pakkanna
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.