Senin, April 29, 2024

G20, Indonesia, dan Presiden Jokowi

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Presiden Prancis Emmanuel Macron (dari kiri ke kanan), Presiden AS Donald Trump, Presiden RI Joko Widodo, dan Presiden Meksiko Enrique Pena bersiap berfoto di Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Hamburg, Jerman, pada Jumat (7/7/2017). – Reuters/Wolfgang Rattay

Sejarah yang Kerap Dilupakan

Group of Twenty atau G20 didirikan pada tahun 1999. Maksud utamanya adalah untuk merundingkan kepentingan stabilisasi keuangan global, atau secara lebih luas lagi untuk koordinasi kebijakan ekonomi internasional. Walau kebanyakan orang berpikir bahwa G20 beranggotakan 20 negara paling besar ekonominya, sebetulnya tidak demikian. Hanya ada 19 negara di situ, plus Uni Eropa. Dan, negara-negara yang ada di situ bukan kekuatan ekonomi nomor 1 hingga 19.

Ada beberapa versi sejarah pembentukannya. Yang paling terkenal ada dua. Versi pertama menyebutkan bahwa ide pembentukannya datang dari Hans Eichel, Menteri Keuangan Jerman ketika negara-negara anggota G7 mengadakan pertemuan puncak di Cologne.

Versi kedua menyatakan bahwa pembentukannya adalah ide dari Timothy Geithner, Wakil Menteri Keuangan Amerika Serikat, dan Caio Koch-Weser, Wakil Menteri Keuangan Jerman. Tentu saja Geithner bertindak atas persetujuan bosnya, Larry Summers, dan Koch-Weser juga mewakili Eichel.

Mengapa sejarah ini penting? Karena keanggotaan G20 itu ditentukan secara arbitrari oleh nama-nama yang disebutkan itu. Dalam buku G20 Governance for a Globalized World, pakar politik internasional dari Universitas Toronto, John Kirton, menuliskan bahwa keputusan memasukkan Kanada dan Afrika Selatan dan mencoret Portugal, Nigeria, dan Mesir itu memang dibuat oleh Geithner dan Koch-Weser.

Akibatnya, negara-negara seperti Spanyol (dengan ukuran ekonomi nomor 14) dan Belanda (nomor 17) tidak masuk ke dalam G20, walau mereka secara tidak langsung terwakili oleh keanggotaan Uni Eropa.

Masalahnya adalah apa yang disepakati oleh negara-negara G20 ini kemudian mempengaruhi seluruh dunia. Kini negara-negara anggota G20 memang menghasilkan 85% produk dunia bruto, menguasai 80% perdagangan dunia, dan merepresentasikan 67% penduduk Bumi. Tetapi, apakah lantaran representasi seperti itu kemudian negara-negara lain hanya bisa pasrah menerima apa pun yang diputuskan G20? Apalagi banyak pertemuan G20—termasuk pengambilan keputusan terpentingnya—dilaksanakan secara tertutup.

Respons atas kondisi ini pun beragam. Desakan beberapa negara untuk turut serta dalam pengambilan keputusan kebijakan ekonomi, misalnya, direspons dengan keanggotaan bayangan. Spanyol, misalnya, berstatus sebagai undangan tetap. Demikian juga dengan organisasi Uni Afrika, APEC, dan ASEAN. Organisasi multilateral lainnya seperti PBB, OECD, IMF, World Bank, WTO, Financial Stability Board, dan ILO juga merupakan undangan tetap. Status undangan tersebut membuat mereka punya sedikit pengaruh dalam keputusan.

Tetapi, tetap saja ada banyak sekali negara yang tidak terepresentasikan secara langsung maupun tak langsung. Padahal dampak dari keputusan-keputusan G20 jelas akan mengenai mereka. Oleh karena itu, keanggotaan negara seperti Indonesia di G20 kerap menjadi sorotan dan gantungan harapan negara-negara yang tak terwakili itu.

Mereka berharap Indonesia sebagai kekuatan ekonomi nomor 16 bisa memberikan pandangan yang mewakili kepentingan yang lebih luas. Yaitu, kepentingan negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah. Presiden Joko Widodo yang dianggap lebih polos, tulus, dan tak mementingkan pencitraan, dipandang lebih mungkin merepresentasikan itu.

Gerakan Sosial Menyikapi G20

Menyikapi kondisi G20 tersebut, organisasi masyarakat sipil tampaknya menggunakan dua jalur perjuangan. Ada yang berkumpul dalam Civil20 (C20), yang melancarkan kritik keras atas paradigma ekonomi neoliberal yang masih dianut oleh G20, namun sekaligus memberikan masukan yang berharga bagi keputusan-keputusan yang hendak diambil dalam pertemuan-pertemuan G20.

Tahun 2017 ini C20 melahirkan tujuh rekomendasi kebijakan yang sudah bisa diakses siapa pun sejak April lalu, lebih dari dua bulan sebelum para kepala negara bersidang.

Namun, ada juga yang melihat bahwa tata kelola G20 ini terlampau jauh dari kemungkinan membawa perbaikan kepada dunia. Mereka melihat bahwa keputusan-keputusan G20 malahan merugikan keberlanjutan dan keadilan global. Maka, mereka memilih untuk selalu berdemonstrasi di luar sidang-sidang G20.

Ketika artikel ini ditulis, puluhan ribu aktivis sedang terlibat bentrokan dengan polisi di kawasan Reeperbahn—yang terkenal sebagai kawasan “lampu merah” sekaligus lokasi bersejarah bagi karier internasional The Beatles—di Hamburg. Kali ini, selain memprotes G20 yang secara umum masih bersandarkan pada Neoliberalisme dan Kapitalisme, mereka terutama juga mengekspresikan sentimen negatif terhadap Trump, Putin, dan Erdogan.

Para pengunjuk rasa dalam sebuah demonstrasi menyambut pertemuan G20 di Hamburg, Jerman, Senin (26/6). ANTARA FOTO/REUTERS/Fabian Bimmer

Kalau pilihan yang diambil oleh Civil 20 lebih diperhatikan, maka tuntutannya memang transformasi radikal yang menjauh dari Neoliberalisme itu. Dalam Komunike C20 yang telah disampaikan kepada Kanselir Jerman, Angela Merkel, yang bertindak sebagai pimpinan G20, dinyatakan beberapa tuntutan utama.

Pertama, menghentikan perlakuan atas lingkungan, lautan, dan atmosfer seolah-olah tempat pembuangan sampah tanpa batas untuk beragam jenis polusi dan gas rumah kaca (GRK). Kedua, mengatur pasar keuangan sehingga mereka lagi berperilaku seperti kasino spekulasi, tetapi benar-benar melayani kebutuhan ekonomi yang nyata.

Ketiga, memperkuat investasi publik dan kesejahteraan sosial dengan tidak lagi menoleransi penghindaran dan pengemplangan pajak oleh perusahaan multinasional dan orang-orang super-kaya, serta terus mendorong kebijakan pajak progresif.

Keempat, melaksanakan dengan segera Kesepakatan Paris dengan strategi iklim jangka panjang yang ambisius, menghapuskan subsidi bahan bakar fosil, menetapkan sinyal harga karbon yang efektif dan adil, menggeser arus keuangan untuk mempromosikan transformasi dan ketahanan, serta berpegang teguh pada janji untuk meningkatkan pembiayaan iklim.

Kelima, mereformasi perjanjian perdagangan sehingga memudahkan perdagangan barang dan jasa yang adil, memberi manfaat kepada masyarakat luas dan bukan hanya kepada segelintir orang, serta membatalkan ketentuan-ketentuan terkait deregulasi ekonomi, perlindungan hak kekayaan intelektual, liberalisasi pengadaan, dan pengalihan hak dan kekayaan dari negara kepada investor.

Keenam, mengakhiri kebijakan pemotongan anggaran dan mendorong peningkatan anggaran publik untuk mempromosikan pembangunan, pengentasan kemiskinan dan keadilan sosial. Dan, terakhir, mengatur pasar tenaga kerja melalui cara-cara yang menjamin hak pekerja atas pekerjaan dan upah yang layak.

Kelompok C20 juga menuliskan rekomendasi kebijakan yang mendetail, mengikuti struktur agenda G20. Namun, seluruh rekomendasi tersebut sepenuhnya mengemban pesan bahwa ekonomi yang ada sekarang harus dibuat menjadi lebih adil dan berkelanjutan. Secara umum: menjadi benar-benar diarahkan kepada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Kesepakatan Paris.

Rekomendasi tersebut tentu membuat pergeseran yang cukup jauh daripada sekadar stabilitas finansial global yang menjadi tujuan semula pembentukan G20. Namun, sebagaimana yang sejarah torehkan, Kapitalisme yang tak terkontrol telah membuat dunia terperosok beberapa kali sejak pembentukan G20. Para ekonom yang paling tercerahkan juga menyatakan betapa mustahilnya membuat stabilitas tanpa mengelola isu keadilan dan keberlanjutan itu.

Konsekuensi untuk Indonesia

Pertanyaannya sekarang adalah apakah Indonesia memang mau memanfaatkan forum G20 untuk kepentingan dirinya, dan lebih luas lagi turut memperjuangkan kepentingan negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah, untuk dunia yang lebih baik? Pemeriksaan atas agenda utama yang telah disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri tampaknya menunjukkan minat yang masih terbatas untuk itu.

Presiden Jokowi didaulat untuk berbicara mengenai penanganan terorisme. Sebagai negara yang menjadi korban terorisme sekaligus negara dengan penduduk Muslim terbesar—yang kerap dianggap sebagai proponen terorisme—tentu Presiden Jokowi perlu memanfaatkan momentum ini untuk menyatakan pesan yang kuat kepada dunia agar bersatu menghadapi terorisme, dengan cara-cara yang memang dipandang tepat, sekaligus menunjukkan posisi Islam yang sebenarnya atas masalah ini.

Dunia tidak membutuhkan sikap apologetik, yang hingga sekarang masih kerap ditunjukkan oleh para pemimpin negara-negara Muslim. Permasalahan internal di antara umat Islam perlu disampaikan, sekaligus jalan keluarnya ditunjukkan. Ajakan kerjasama yang strategis dengan bangsa dan umat beragama lain yang sama-sama menghadapi ancaman terorisme perlu disampaikan.

Demikian juga dalam isu perubahan iklim. Indonesia telah kehilangan peluang untuk menjadi pemimpin dalam gerakan menangani perubahan iklim ketika tidak menyatakan dirinya berdiri terdepan di antara negara-negara kepulauan. Pertemuan G20 di Hamburg ini bisa menjadi penebusan bagi keraguan di Paris itu, dengan jalan menyatakan secara tegas pentingnya penyelamatan negara-negara kepulauan di seluruh dunia.

Tetapi, untuk bisa menjadi pemimpin yang kredibel, Indonesia perlu menunjukkan gestur politik yang lebih keras daripada biasanya. Presiden Jokowi perlu menyatakan kekecewaan kepada Amerika Serikat, di hadapan Presiden Donald Trump, atas keputusan mereka keluar dari Kesepakatan Paris.

Meninggalkan Kesepakatan Paris adalah tindakan yang tak bertanggung jawab lantaran Amerika Serikat kini adalah penghasil emisi nomor dua terbesar di dunia, setelah Tiongkok. Harus disampaikan bahwa tindakan tersebut membahayakan seluruh dunia, selain merugikan Amerika Serikat sendiri.

Presiden Jokowi bisa meneruskan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dengan tegas telah menuding Amerika Serikat sebagai biang keladi tak tercapainya kesepakatan tentang pembiayaan berkelanjutan—untuk kepentingan SDGs dan Kesepakatan Paris—pada pertemuan tingkat Menteri Keuangan G20 di awal tahun ini. Kalau negara-negara lain, termasuk Jerman, berani menyatakan kekecewaan bahkan mengutuk keputusan itu, Indonesia juga harus demikian.

Tetapi, dalam isu apa pun, sikap Indonesia perlu dibarengi dengan pernyataan komitmen untuk memperbaiki kondisi dirinya sendiri. Presiden Jokowi perlu menyampaikan apa yang sudah dan akan dilakukan Indonesia dalam menangani terorisme, perubahan iklim, transparansi perusahaan, reformasi perpajakan, dan keuangan berkelanjutan, di antara isu-isu lainnya. Memberikan gambaran kemajuan yang dicapai dan rencana ambisius untuk perbaikan ke depan adalah kunci untuk meraih posisi kepemimpinan dalam G20.

Ketika posisi kepemimpinan itu diraih, Indonesia dapat memanfaatkannya lebih jauh untuk perbaikan-perbaikan internal—selain untuk kepentingan negara-negara lain yang ada di dalam posisi seperti Indonesia. Perbaikan internal inilah yang menurut Dani Rodrik, pakar globalisasi dari Universitas Harvard, menjadi kunci suksesnya suatu negara dalam ekonomi global.

Menarik atau menutup diri dari ekonomi global, terbukti dalam banyak kasus, malah membahayakan negara yang melakukannya. Tetapi mengaitkan diri dengan ekonomi global tanpa perbaikan internal di banyak aspek adalah juga resep bagi kondisi yang akan terus terombang-ambing.

Berbagai “ramalan” menyatakan bahwa peringkat ekonomi Indonesia akan semakin membaik di masa mendatang. PwC, misalnya, menyatakan bahwa di tahun 2030 Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 6 di dunia, sementara McKinsey agak sedikit lebih pesimistik dengan menempatkan Indonesia di peringkat 7. Tetapi, semua “ramalan” itu disertai dengan rekomendasi yang ketat untuk mewujudkannya. Sesungguhnya pula anjuran-anjuran dari para pakar dari dalam negeri pun sejak dulu kurang lebih sama saja.

Gambarannya jelas, bahwa Indonesia akan semakin maju secara ekonomi, sehingga akan semakin diperhitungkan di G20, serta forum-forum internasional lainnya. Namun, yang menjadi tantangan lebih berat adalah apakah kemajuan ekonomi tersebut akan diiringi oleh keadilan yang lebih baik, juga lebih berkelanjutan.

Maka, pertanyaan penting diajukan bagi penyelenggara negara ini, dan seluruh pemangku kepentingannya, setelah pertemuan puncak G20 ini adalah: bagaimana caranya agar pada tahun 2030 Indonesia menjadi kekuatan ekonomi nomor 6 di dunia, mencapai seluruh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan memastikan bahwa generasi mendatangnya terhindarkan dari bencana perubahan iklim?

Melihat semua analisis objektif yang sudah digelontorkan beragam pihak, kita punya cukup bekal untuk mewujudkannya. Tetapi memang terserah pada kita semua untuk memanfaatkan secara optimal atau menyia-nyiakan bekal itu.

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.