Kamis, Maret 28, 2024

Ekonomi Indonesia – Tiongkok: Menjadi Pembantai atau Pawang Naga? (2-Habis)

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.

 

Melihat secara strategis keluar adalah hal kelima yang ditunjukkan oleh pembangunan Tiongkok. Alih-alih mengambil sikap menutup diri seperti yang ditunjukkan oleh AS di bawah Trump, Tiongkok sudah cukup lama menyadari bahwa berpartisipasi dalam ekonomi global adalah jalan yang perlu ditempuh untuk meningkatkan kemakmurannya. Sebagai negara yang berada di Asia dan memiliki sejarah panjang sebagai bagian dari Jalan Sutra dan jalur-jalur perdagangan lainnya, Tiongkok jelas ingin membangkitkan dan meningkatkan perannya dengan membangun One Belt One Road itu.

Tetapi, bahkan sebelum proyek ambisius itu dilaksanakan, keterbukaan Tiongkok atas investasi asing dan investasinya sendiri di banyak negara—termasuk di Indonesia, dalam ukuran yang relatif kecil—telah menunjukkan bahwa memang Tiongkok mengambil jalan memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan dirinya. Sangat jelas pula bahwa kepentingan diri mereka itu dilihat berkelindan dengan kepentingan negara-negara lain.

Tiongkok melihat bahwa kolaborasi ekonomi—bukan pengambilan keuntungan sepihak, apalagi kolonialisme dan peperangan—dengan sebanyak mungkin negara adalah jalan satu-satunya bagi kemakmuran.

Keenam, perusahaan Tiongkok adalah ladang tumbuhnya fusi dari tiga ideologi: Konfusianisme, Sosialisme, dan Kapitalisme. Sangat jelas bahwa perusahaan dan bisnis di Tiongkok—atau di negara mana pun juga—tak bisa tumbuh dengan Komunisme sebagai dasarnya.

Penelitian secara saksama menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan paling sukses di sana benar-benar melihat pentingnya harmoni di antara para pemangku kepentingan, sebagaimana yang diajarkan Konfusius; melihat cita-cita kesetaraan dan pemerataan kemakmuran dari Sosialisme sebagai visinya; namun memanfaatkan Kapitalisme sebagai cara untuk meraih efisiensi pemanfaatan sumberdaya.

Harmoni, cita-cita kesetaraan dan pemerataan, serta efisiensi adalah kunci dari kesuksesan perusahaan Tiongkok, yang terus-menerus mereka sebutkan berbeda dari perusahaan-perusahaan di Barat. Salah satu kritik yang mereka lancarkan kepada konsep corporate social responsibility (CSR) yang lahir di Barat adalah ketidaktegasannya soal pentingnya harmoni dan kesetaraan dan pemerataan.

CSR-nya sendiri secara tegas dikembangkan para pakar Tiongkok dengan menggunakan pendekatan harmoni interpersonal Konfusianisme dan harmoni manusia-alam dari Tao.

Kemampuan otokritik adalah pelajaran ketujuh yang saya serap. Tiongkok sangat menyadari bahwa terdapat kesenjangan antara visi dan pencapaiannya hingga sekarang. Para pemimpin politik dan bisnisnya sangat mawas diri. Mereka mengakui bahwa keterampilan teknis mungkin mereka sudah kuasai hingga level yang memuaskan, namun dalam soal-soal non-teknis mereka masih jauh tertinggal.

Mereka sadar sepenuhnya atas keterbatasan itu ketika mereka mulai menjalankan berbagai proyek di dan/atau untuk negara-negara lain. Mereka tahu persis bahwa mereka punya “kebudayaan korupsi” yang (seharusnya) tak mereka manfaatkan untuk memenangkan bisnis di luar negerinya.

Mereka juga sadar betul bahwa dalam pengelolaan sosial mereka kedodoran dan mengaku membutuhkan bantuan dalam hal itu. Mereka tahu bahwa perusahaan-perusahaannya baru mulai belajar pengelolaan lingkungan yang memadai. Sementara, mereka harus maju ke berbagai proyek di luar negerinya karena perintah dan arahan dari pemerintah, dan kemudian berhadap-hadapan dengan kenyataan risiko yang selama ini tak mereka temukan di dalam negerinya.

Mereka sadar sepenuhnya mereka ketinggalan dan merasa perlu belajar dan mendapat bantuan untuk bisa menjadi lebih baik. Kesadaran ini merupakan modal terpenting mereka untuk maju, sekaligus untuk tetap tidak menonjolkan diri. Apabila mereka ditanya apakah ingin menjadi nomor satu, jawaban rendah hati mereka adalah bahwa mereka masih punya segudang persoalan yang harus diselesaikan, dan penyelesaian itulah yang menjadi ambisi mereka.

Menjadi Denton Van Zan atau Hiccup Horrendous Haddock III?
Pertanyaannya kemudian, apa yang Indonesia perlu dan hendak lakukan dengan kenyataan soal Tiongkok sekarang dan potensinya di masa mendatang itu? Kalau kita gunakan metafora Tiongkok sebagai naga, maka Indonesia sesungguhnya bisa memilih untuk menjadi Denton Van Zan atau menjadi Hiccup Horrendous Haddock III.

Buat yang tak akrab dengan dua tokoh fiktif yang sangat terkenal tersebut, saya akan memberi penjelasannya. Denton adalah tokoh di Reign of Fire, sebuah film tentang para pembantai naga. Sementara, Hiccup muncul di film How to Train Your Dragon, seorang anak brilian yang dengan segala keberanian dan kecerdikannya bisa menjadikan naga menjadi sahabatnya dan hidup dalam simbiosis mutualisme.

Tentu, yang pertama kali perlu dilakukan bila Indonesia hendak menjadi Hiccup adalah memahami secara detail bagaimana situasi ekonomi dan bisnis Tiongkok ke depannya. Kita perlu melihat kompatibilitas perdagangan dan investasi dengan mereka, sesuai dengan visi dan strategi pembangunan Tiongkok ke depan.

Terkait perdagangan, jelas kita perlu merumuskan apa saja produk yang bisa kita sediakan untuk pasar mereka sesuai keunggulan kita; dan di sisi lain mengetahui secara persis apa yang bisa mereka sediakan untuk pemenuhan kebutuhan kita.

Terkait investasi, sangat jelas bahwa pekerjaan rumah kita memang seabrek. Peringkat Ease of Doing Business kita perlu terus ditingkatkan, agar Indonesia semakin menarik bagi investasi. Tapi, kita sangat perlu menyadari bahwa tidak semua investasi kita butuhkan. Kita harus memutuskan investasi dalam negeri dan asing apa saja yang kita butuhkan untuk keberlanjutan Indonesia, bukan sekadar untuk ekonomi konsumtif dan pertumbuhan jangka pendek.

Dari kumpulan investasi asing yang kita butuhkan, kita kemudian perlu memutuskan investasi mana yang memang bisa disediakan oleh Tiongkok, bukan hanya dalam bentuk modal finansial, namun terutama adalah teknologi yang bermanfaat untuk kemajuan Indonesia.

Dalam hal ini, di antara yang sangat jelas adalah Tiongkok kini menjadi negara penghasil energi terbarukan terbesar. Dan tak ada tanda-tanda mereka bakal melambat. Target mereka dalam energi surya di tahun 2020 akan segera dilampaui sebelum tahun 2018 berakhir. Di awal 2017 ini mereka mengumumkan investasi dalam energi terbarukan sebesar US$360 miliar hingga 2020, menjadikannya negara dengan investasi energi terbarukan terbesar.

Tentu, kalau Indonesia terus mengimpor pembangkit listrik tenaga batubara, yang oleh Tiongkok sendiri dianggap sebagai teknologi usang, sebetulnya kita tidak sinkron dengan kemajuan mereka.

Berikutnya, kita perlu memastikan regulasi sosial dan lingkungan kita sendiri ditegakkan tanpa kompromi. Ini pekerjaan rumah sendiri, yang perlu dilakukan untuk investasi dalam negeri maupun investasi asing dari mana pun. Perusahaan-perusahaan Tiongkok terkenal sangat pragmatis. Mereka bisa mengikuti standar tertinggi, namun juga tak masalah bila harus memberikan barang dan jasa pada standar yang rendah. Mereka mengikuti kehendak pasar dengan sangat lentur, sehingga kitalah yang perlu menjadi mitra ekonomi yang tegas.

Lebih awal dan lebih penting daripada penegakan hukum adalah memastikan bahwa perusahaan-perusahaan asal Tiongkok benar-benar memahami regulasi tata kelola, sosial dan lingkungan (juga aspek-aspek lainnya) yang berlaku di Indonesia, juga nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia. Hubungan harmonis antara perusahaan (dari mana pun) dengan masyarakatnya didasari oleh perilaku, sehingga memberikan pengetahuan sosial, terutama komunikasi lintas-budaya, adalah keniscayaan. Perusahaan-perusahaan Tiongkok sangat membutuhkan bantuan untuk memahaminya, sebelum mereka memulai pekerjaannya di Indonesia.

Jelas diperlukan adanya pihak-pihak yang bisa menjadi jembatan di antara perusahaan-perusahaan asal Tiongkok dengan masyarakat di mana perusahaan itu beroperasi. Sebagai jembatan, pihak-pihak itu juga perlu memiliki pengetahuan tentang budaya Tiongkok sekaligus budaya perusahaan-perusahaan Tiongkok.

Pekerjaannya bukan cuma memberikan bantuan bagi perusahaan yang sudah beroperasi di Indonesia, melainkan masuk sampai persiapannya, hingga sebelum keputusan investasi diambil. Saya berpendirian bahwa unsur terpenting yang harus ditekankan kepada perusahaan-perusahaan Tiongkok adalah bagaimana nilai-nilai harmoni Konfusianisme (dan Tao) bisa dilaksanakan ketika mereka berinvestasi di Indonesia.

Terakhir, Pemerintah Indonesia juga sangat perlu menggunakan kekuatan diplomatiknya untuk memastikan standar pengelolaan sosial dan lingkungan yang diberlakukan bagi investasi di Tiongkok juga berlaku ketika melakukan investasi di Indonesia, atau bahkan mereka harus memilih standar yang lebih tinggi (yang mana pun itu). Sebagai misal, Tiongkok sudah memiliki regulasi komprehensif tentang sustainable financing, termasuk dalam penapisan investasi dan pelaporan. Penapisan dan pelaporan tersebut harusnya juga berlaku ketika perusahaan Tiongkok beroperasi di Indoneia.

Tetapi, di luar hal-hal yang rasional itu, pekerjaan rumah terbesar bagi Pemerintah dan masyarakat Indonesia mungkin adalah mengikis sentimen rasisme yang bukan saja masih kuat, namun malah cenderung menguat belakangan ini. Jelas, sentimen negatif tersebut mempengaruhi bagaimana publik di Indonesia memandang investasi dari Tiongkok.

Hantu Komunisme—yang kerap dihubungkan dengan pengalaman buruk Indonesia terkait Partai Komunis Indonesia—semakin sering dipergunakan untuk melancarkan kampanye anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa. Padahal, ekonomi Tiongkok sudah didorong oleh pasar (market-driven economy) sejak 1979, dan mereka sama sekali tak memandang penting penyebaran ideologi dalam hubungan antar-bangsa.

Yang jelas, apa yang kita pilih untuk percayai tentang Tiongkok, dan bagaimana kita membangun hubungan dengan mereka berdasarkan kepercayaan itu, akan menentukan bagaimana nasib kita ke depan. Hubungan Indonesia dengan Tiongkok, sebagai kekuatan ekonomi terbesar, jelas akan menentukan nasib Indonesia ke depan, for better or worse, termasuk apakah kita akan benar-benar menjadi kekuatan ekonomi global nomor 4 di tahun 2050, sebagaimana ramalan PriceWaterhouse Coopers itu.

Menurut hemat saya, Indonesia seharusnya cukup cerdas untuk memilih menjadi Hiccup yang hubungannya produktif dengan sang naga, bukan menjadi Denton yang kemudian tewas sebelum ujung film. Tentu, untuk bisa menjadi Hiccup yang mahir, kita benar-benar perlu untuk menuntut ilmu di—juga tentang, dan bersama—Negeri Tiongkok. Bukankah nasihat bijak yang kerap diatribusikan kepada Nabi Muhammad itu sangat populer di antara mayoritas penduduk Indonesia?

Saatnya menjalankan nasihat bijak itu dengan sungguh-sungguh, demi masa depan Indonesia.

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.