Bagaimana Indonesia dapat menikmati keuntungan ekonomi dari kunjungan bersejarah Raja Salman dari Arab Saudi? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya sedikit menilik perkembangan ekonomi Arab Saudi selama lima tahun terakhir.
Sejak lima tahun terakhir negeri ini terpukul secara ekonomi karena penurunan harga minyak dunia. Pada 2012 harga minyak masih bertengger di angka sekitar US$ 110 dolar per bbl (unit penghitungan minyak mentah), namun saat ini hanya mencapai US$53 per bbl. Angka US$ 53 per bbl sudah meningkat karena pada pertengahan 2015 menyentuh US$30 per bbl. Akibatnya, anggaran pemerintah Arab Saudi mengalami defisit sebesar minus 15% dari PDB-nya. Padahal pada 2014 defisit atas PDB cuma minus 2,3%.
Pemerintah Arab Saudi sudah mengambil langkah-langkah penting untuk mengurangi defisit tersebut. Langkah tersebut mencakup pengurangan subsidi dan pengeluaran yang tidak perlu lainnya. Pemerintah Arab Saudi juga mencanangkan reformasi dalam bidang ekonomi yang bertujuan mengurangi ketergantungannya pada minyak. Ketergantungan Arab Saudi kepada minyak mencapai 57% pada 2010, dan akan terus dikurangi hingga mencapai kurang dari 40%.
Langkah Arab Saudi ke timur dapat bermakna ganda. Pertama, mencari mitra atas rencana reformasi ekonomi, dan kedua, menanamkan investasi di negara-negara Indonesia, Malaysia, China dan Jepang. Pemerintah Arab Saudi saat ini memang mengalami situasi anggaran yang sulit, namun masih memiliki kekayaan dalam bentuk lain yang dapat digunakan untuk berinvestasi.
Sumber-sumber pendanaan investasi yang dapat digunakan Arab Saudi ada beberapa macam. Yang paling sering disebut media adalah rencana penjualan saham perdana Aramco, BUMN di sektor minyak, sebesar 5% dari total sahamnya. Penjualan perdana tersebut diperkirakan akan mencapai sekitar US$100 miliar. Selain Aramco, Arab Saudi juga memiliki lembaga keuangan bernama Public Investment Fund (PIF) yang dikendalikan oleh Pangeran Mohammed Salman.
PIF ini semacam BUMN yang dimiliki kerajaan. Nilai asetnya diperkirakan mencapai US$160 miliar yang tersebar di berbagai industri, baik di dalam atau luar negeri Arab Saudi. Malah ada yang berani menaksir total aset PIF akan meningkat ke sekitar US$500 miliar. Jika aset Aramco dimasukkan dalam perhitungan sebagai asset PIF, maka total asetnya akan mencapai US$2 triliun. Tentu saja perhitungan tersebut dapat diperdebatkan, terutama cara menilai aset Aramco. Namun tidak dapat dihindari Arab Saudi mampu membentuk capital senilai US$2 triliun.
Satu langkah transformasi ekonomi yang diadopsi Pangeran Salman ialah melakukan investasi di luar Arab Saudi dalam bidang minyak, gas, dan sektor bukan-minyak dan gas. Diharapkan keuntungan dari investasi tersebut akan mampu menopang ekonomi Arab Saudi. Tahun lalu PIF menanamkan investasinya di Uber senilai US$3,5 miliar. PIF memberikan komitmen untuk menanamkan investasi pada Softbank, perusahaan teknologi informasi dari Jepang, senilai US$45 miliar.
PIF dan Softbank berencana membuat perusahaan patungan senilai US$100 miliar. Tahun lalu PIF membeli saham POSCO, perusahaan baja dari Korea Selatan, sebanyak 38% senilai US$1,1 miliar. Dari sedikit contoh tersebut kebijakan menengok ke timur ini tampak dipersiapkan dengan baik oleh Pangeran Salman sebagai pemimpin PIF sekaligus perancang transformasi ekonomi Arab Saudi.
Sebelum ke Indonesia, Arab Saudi mencapai kesepakatan dengan Petronas, perusahaan milik negara dari Malaysia, senilai US$7 miliar. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Arab Saudi berkomitmen untuk membangun kilang minyak Cilacap dengan menanamkan investasi senilai US$6 miliar. Selain itu, Arab Saudi berkomitmen membantu pembangunan sektor keuangan senilai US$1 miliar. Apakah sasaran itu cukup bagi Indonesia?
Tampaknya pemerintah Indonesia sekarang berniat menarik investasi senilai US$25 miliar. Jumlah ini tentu tidak sedikit, sekitar 0,04 PDB Indonesia. Dengan menilai kondisi saat ini tampaknya masih banyak pekerjaan rumah yang mesti dilakukan oleh pemerintah, terutama tim ekonominya, untuk memperbaiki kemudahan investasi.
Pada 2017 peringkat kemudahan investasi yang dibuat oleh Bank Dunia, yaitu Doing Business, berada di urutan 91. Ini merupakan kenaikan yang cukup baik karena pada 2016 masih berada di posisi 109. Peringkat negara-negara tetangga pada 2016 seperti Malaysia jauh lebih baik (18), Thailand (49), Vietnam (90), Filipina (103). Pada 2016 Indonesia lebih baik dari Kamboja yang berada di posisi 127.
Indonesia tentu saja dapat menawarkan berbagai investasi bagi Arab Saudi. Apalagi saat ini Indonesia memerlukan dana segar yang tidak sedikit untuk menggenjot pembangunan infrastruktur. Ada banyak proyek infrastruktur yang bisa ditawarkan, mulai dari pembangkit tenaga listrik hingga pembangunan jalan tol.
Yang saat ini paling mungkin ditawarkan adalah sektor industri pariwisata. Dari pola investasi Arab Saudi di beberapa negara memang terlihat adanya peluang yang cukup baik, walau Arab Saudi terlihat juga berambisi menanamkan modalnya di bidang teknologi informasi.
Dari segi pembiayaan diperkirakan Indonesia akan fleksibel mengikuti kebiasaan Arab Saudi. Jika Arab Saudi menginginkan pembiayaan berbasis syariah, saat ini ada beberapa instrumen keuangan ataupun di pasar modal yang sudah menggunakannya.
Naiknya peringkat Indonesia merupakan buah manis kebijakan ekonomi yang sedang dilakukan oleh pemerintah di bawah kendali Presiden Joko Widodo. Sebetulnya ada satu wilayah yang masih perlu ditingkatkan perbaikannya: kapasitas birokrasi dan sekaligus mengubah cara berpikirnya. Birokrasi diperlukan untuk melayani masyarakat, termasuk pelayanan dalam bidang investasi dan segala kegiatan yang terkait dengannya. Namun, kebijakan tersebut tentu masih belum cukup karena masih ada penyakit kronis, yaitu koordinasi dengan pemerintah daerah.