Rabu, April 24, 2024

Benarkah Daya Beli Masyarakat Tergerus?

Mukhaer Pakkanna
Mukhaer Pakkanna
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta
Pedagang di antara barang-barang dagangannya yang diobral di Sentral Pasar Raya (SPR) Plaza, Padang, Sumatera Barat, Rabu (1/11). Menurut data Marketing SPR Plaza, nilai transaksi di pusat perbelanjaan itu merosot hingga 50 persen di pertengahan semester II 2017 dibandingkan periode yang sama tahun 2016 lalu sebagai dampak penurunan daya beli yang terjadi secara nasional. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Perdebatan tentang apakah daya beli masyarakat makin tergerus atau tidak dalam enam bulan terakhir di tahun 2017 menjadi menarik ditelaah, terutama jika dikaitkan kontradiksi beberapa variabel ekonomi makro. Bagaimana sesungguhnya fakta kehidupan masyarakat level bawah terhadap fenomena daya beli ini?

Fenomena tergerusnya daya beli masyarakat dengan hanya melihat variabel, mulai dari sepinya pusat-pusat perbelanjaan, seperti mall Matahari, Ramayana, Glodok, Roxi, Lotus, hengkangnya Debenhams di Senayan City dan terkaparnya gerai Sevel hingga menurunnya omzet beberapa gerai retail tradisional, merupakan simplikasi yang sangat gegabah. Selain itu, anggapan bahwa variabel sepinya pusat-pusat perbelanjaan dipicu terjadinya shifting (pergeseran) pola belanja tradisional ke transaksi ritel online perlu juga dikaji keabsahannya.

Semua variabel dan dugaan itu terpatahkan, buktinya penjualan ekonomi digital hanya berkontribusi 1,2 persen dari total PDB dan hanya 0,8 persen dari total penjualan ritel nasional. Kendati diakui, bahwa tiga kuartal 2017, pertumbuhan transaksi ekonomi digital bergerak eksponensial, tapi belum mampu memukul transaksi ritel konvensional.

Buktinya, pertumbuhan ekonomi hingga triwulan III-2017 tetap tumbuh sebesar 5,01 persen. Dan ternyata kontribusi terbesar pertumbuhan itu masih ditopang konsumsi rumah tangga sebesar 56,5 persen, diikuti pembentukan modal tetap bruto 32,57 persen, dan ekspor 19,08 persen. Sementara sektor investasi melambat. Ini artinya, geliat laten konribusi konsumsi masyarakat ternyata masih sangat tinggi.

Banyak yang bertanya mengapa di satu sisi transaksi ritel konvensional terlihat makin melemah, sementara di sisi lain transaksi digital belum berkontribusi signifikan terhadap PDB? Apakah itu pertanda, bahwa ada dana masyarakat untuk alokasi konsumsi rumah tangga yang mengalami pola pergeseran perbelanjaan? Ataukah terjadi pola di mana masyarakat sengaja mengendapkan dananya?

Mengonfirmasi data Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan terjadi peningkatan signifikan jumlah tabungan, deposito, dan giro masyarakat di lembaga perbankan. Bayangkan, hingga medio 2017, dana pihak ketiga perbankan tercatat tumbuh 10,2 persen menjadi Rp 4.911 triliun.

Bahkan hingga akhir Juni 2017 pertumbuhan giro lebih tinggi ketimbang tabungan dan deposito, yakni terdongkrak 11,5 persen menjadi Rp 1.116 triliun. Deposito menjadi instrumen simpanan terdongkrak signifikan 10 persen menjadi Rp 2.222 triliun. Persentase itu lebih tinggi ketimbang Mei 2017 yang naik sebesar 9,2 persen. Mengonfirmasi data di atas, maka kenaikan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan kredit mengindikasikan masyarakat memang cenderung menahan belanja.

Menurut Kajian ekonomi PP Muhamadiyah, fenomena hebohnya daya beli dan shifting pola belanja masyarakat hanya merupakan fenomena wilayah perkotaan. Fenomena perkotaan ini ditandai dengan kebangkitan kelas menengah ekonomi. Kelas menengah ini diasumsikan oleh Bank Dunia adalah mereka yang memiliki pengeluaran antara US$2-10 per hari.

Hingga kwartal ketiga 2017, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), kelas konsumen seperti ini mencapai 57 persen dari total penduduk. Mereka ini rerata mengeluarkan uang Rp 2,28 juta per bulan. Salah satu ciri konsumen kelas menengah ini adalah bergesernya pola konsumsi mereka dari yang awalnya didominasi belanja makanan dan minuman menjadi hiburan dan jenis kesenangan lainnya.

Tatkala warga perkotaan memasuki kelas menengah yang diiringi meningkatnya derajat pendidikan, tentu pola belanja warga perkotaan juga mulai bergeser dari  konsumsi barang yang berbasis fisik dan tahan lama menjadi pola belanja yang bersifat services, lebih menyenangkan dan lebih berdampak aktualisasi diri seperti yang pernah diulas Abraham Maslow (1962).

Maka tidak mengherankan, data BPS menunjukkan, pada triwulan II-2017, belanja gaya hidup (life style) tumbuh di atas 6 persen, sementara belanja non-gaya hidup tumbuh sekitar 4,7 persen, melambat dari kisaran 5 persen pada 2016.

Pola shifting itulah yang mengonfirmasi mengapa pusat-pusat perbelanjaan mulai sepi, bahkan hengkang. Kalaupun beberapa pusat perbelanjaan itu masih survive, tentu mereka membuat konsep bauran pemsaran baru, yakni memadukan transaksi kesenangan, misalnya, lifestyle, kuliner, kafe, resto, dan lainnya dengan pola pemasaran konvensional, dengan menjual produk pakaian, sepatu, dan peralatan rumah tangga.

Selain itu, bergesenya pola konsumsi ini juga ditopang oleh menggeliatnya secara masif generasi milenial, yakni generasi di bawah usia 40 tahun. Generasi ini jumlahnya 43,3 persen dari total penduduk Indonesia. Generasi ini digambarkan sebagai konsumen yang paling “terkoneksi” di dunia. Mereka inilah yang menggeser (disruptive) pola-pola perbelanjaan konvensional.

Fenomena pergeseran pola belanja di masyarakat perkotaan ini ternyata belum mampu menekan angka kemiskinan perkotaan. Artinya, pola perbelanjaan ini hanya menyentuh level kelas menengah dan generasi milenial dari golongan menengah. Ihwal ini terlihat dari data BPS Maret 2017, ternyata indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan di wilayah perkotan makin tergerek naik. Indeks kedalaman kemiskinan mencapai 1,83, naik dari September 2016 yang hanya 1,74.

Sementara indeks keparahan kemiskinan juga terdongrak naik dari 0,44 pada September 2016 menjadi 0,48 pada Maret 2017. Ini artinya pergeseran pola belanja ini masih bersifat eksklusif dan alienatif, bahkan jika tidak hati-hati bisa memproduksi keparahan kesenjangan atau ketimpangan sosial masyarakat di wilayah perkotaan.

Ternyata setali tiga uang dengan wilayah perkotaan. Mengonfirmasi kembali nilai indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan di daerah perdesaan, bergerak lebih tinggi dari perkotaan. Pada Maret 2017, nilai indeks kedalaman kemiskinan wilayah perkotaan sebesar 1,83 dan di perdesaan 2,49.

Nilai indeks keparahan kemiskinan perkotaan adalah 0,48, sedangkan perdesaan 0,67. Sejalan dengan itu, rasio gini (tingkat ketimpangan) pada Maret 2017 tercatat 0,393 atau nyaris tidak ada perubahan dari posisi September 2016 yang sebesar 0,394. Ini artinya pergeseran pola belanja tidak mampu mendongkrak tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Dengan demikian, daya beli masyarakat pada level kelas menengah dan generasi milenial kelas menengah justru masih bertahan kuat, kendati mengalami pergeseran pola belanja. Sementara, daya beli masyarakat pada level masyarakat miskin baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan tetap pada kondisi yang semakin parah.

Itu artinya model pendekatan pembangunan dan perubahan teknologi informasi belum optimal mendongkrak kesejahteraan masyarakat miskin. Diperlukan inovasi disruptif yang familiar dengan masyarakat bawah.

Kolom terkait:

Mengapa Daya Beli Masyarakat Rendah?

Ekonomi Indonesia – Tiongkok: Menjadi Pembantai atau Pawang Naga? (1)

Ekonomi Indonesia – Tiongkok: Menjadi Pembantai atau Pawang Naga? (2-Habis)

Tugas Negara dan Kebijakan Ekonomi

Mukhaer Pakkanna
Mukhaer Pakkanna
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.