Jumat, April 26, 2024

Ekonomi-Politik Turki Pasca Kudeta

Airlangga Pribadi Kusman
Airlangga Pribadi Kusman
Meraih PhD dari the Asian Studies Centre, Murdoch University. Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya. Direktur Centre of Statecraft and Citizenship Studies, Universitas Airlangga.
turki1
Para pendukung Presiden Turki Tayyip Erdogan menghadiri demonstrasi pro-pemerintah di Taksim Square di Istanbul, Turki, Minggu (17/7). ANTARA FOTO/REUTERS/Ammar Awad

Selang beberapa jam setelah kudeta superpendek (tidak lebih dari 24 jam) yang gagal atas kepemimpinan Presiden Tayyip Erdogan beberapa saat lalu, ruang diskusi sosial media dipenuhi analisis dan perdebatan tentang konstelasi politik di Turki. Dalam perdebatan ruang cyber di Indonesia, debat tentang kudeta militer dan posisi Erdogan secara umum terwakili oleh dua pandangan dominan yang sayangnya cenderung “lebay” dan berlebihan.

Pandangan pertama melihat keberhasilan pemerintahan Presiden Erdogan menangani kudeta militer disambut sukacita. Kelompok ini melihat sosok Erdogan sebagai pemimpin Muslim yang mewakili citra sosok khalifah masa depan pelindung umat Islam dari musuh-musuhnya. Sementara berkebalikan dengan posisi sebelumnya, pandangan kedua melihat Presiden Erdogan beserta Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) tidak lebih dari antek Barat berkedok Islam, pemimpin yang lebih pas menjadi agen imperialisme daripada representasi kekuatan Islam.

Anehnya, perdebatan tentang Erdogan, AKP, dan Turki ini menjadi isu lanjutan dari para die hard dari kandidat Pemilihan Presiden 2014. Posisi pertama diusung oleh pendukung Jenderal Prabowo, sementara posisi kedua diusung oleh pembela Presiden Joko Widodo.

Sebelum memahami apa yang tengah terjadi di Turki seputar kudeta dan kegagalannya, perlu sebelumnya kita memahami terlebih dahulu secara umum sosiologi politik dan ekonomi-politik dari pertarungan sosial yang menyejarah di Turki dalam pemahaman interseksi antara politik identitas beserta relasi kapital dan kekuasaan.

Sekelumit wawasan tentang pemahaman sejarah dan teoritik atas realitas di Turki menjadi penting bukan untuk menjadikan pembahasan soal ini elitis jauh di atas jangkauan obrolan warung kopi, namun agar perspektif kita tentang politik internasional tidak menjadi semakin distortif di bawah persepsi-persepsi ilusif yang tidak punya pijakannya dalam realitas konkret.

Kontestasi Kekuatan Sosial
Yang pertama-tama perlu dipahami adalah bahwa pertarungan panjang politik identitas antara kaum Sekuler-Kemalis (yang didukung faksi-faksi utama tentara) dan kaum Islamis yag saat ini dimotori oleh AKP bukan saja selalu terkait dengan politik identitas, tapi juga berhubungan dengan pola-pola afiliasi bisnis-politik yang menopangnya.

Kubu kaum Sekuler Kemalis merupakan kekuatan sosial yang tumbuh dari warisan negara birokratis sentralistik yang dibangun oleh rezime Kemal Ataturk sejak keruntuhan kekhalifahan Ustmani tahun 1924. Proyek nation state modern yang dipelopori oleh Kemal Ataturk tidak hanya mengusung proyek politik sekularisme berbasis pemisahan agama dan negara, tapi dalam perkembangan sejarahnya terbangun negara birokrasi sentralisme yang dikawal oleh aparat militer yang solid dan desain pembangunan ekonomi etatisme yang menghasilkan kelompok “borjuasi Istambul”.

“Borjuasi Istambul” menggantungkan kepentingan ekonominya pada strategi substitusi impor dan relasi patronase bisnis yang berpusat pada negara.

Di sisi lain, basis penopang kekuatan sosial dari rival kaum Kemalis, yaitu kelompok Islamis yang saat ini tereprentasikan oleh kekuatan politik dominan Partai AKP dan pemimpinnya Presiden Erdogan adalah kekuatan “borjuasi Anatolia”. Karakter bisnis dari kaum borjuasi Anatolia ini memiliki perbedaan mendasar dari rivalnya kaum “borjuasi Istambul”.

Kekuatan bisnis-politik dari penopang kekuatan Islamis ini adalah kelompok pengusaha yang pada awal perkembangannya relatif berjarak dari kutub kekuasaan negara sekuler. Berbeda dengan kelompok bisnis Istambul, kaum borjuasi Anatolia adalah kaum entrepreneur yang menggantungkan hajat hidupnya pada mekanisme pasar, dan lebih menambatkan keuntungan ekonomi-politiknya dari perluasan ekonomi ekspor dan desain pasar bebas yang sering disebut dengan istilah neoliberalisme.

Neoliberalisme Islami
Dalam perkembangannya koalisi antara kekuatan politik Islamis dan kaum borjuasi Anatolia yang menapak kekuasaan melalui jalan demokrasi ini memunculkan arsitektur kekuasaan yang khas, yang menandai perjumpaan antara agenda politik berbasis moralitas Islam dan kebijakan ekonomi yang pro-pasar dan outward looking.

Seperti diuraikan Yildiz Atasoy (2009) dalam Islam’s Marriages with Neoliberalism: State Transformation in Turkey bahwa transformasi politik yang terjadi di Turki bukan saja menampilkan perubahan kekuasaan dari kubu Kemalis ke arah kubu Islamis. Lebih dari itu, pergeseran kekuasaan ini juga mengarah pada perubahan corak kekuasaan ekonomi-politik dari rezim yang berkarakter sentralistis, inward looking, dan mengadopsi kapitalisme setengah hati menuju rezime Islamis yang semakin dalam menginternalisasi tatanan pasar bebas bernuansa Islami.

Hal ini terjadi karena kepentingan kekuatan bisnis yang menjadi penopang kekuatan politik AKP lebih menggantungkan pada strategi ekspor yang menggantungkan pada aturan pasar bebas daripada proteksi dan patronase negara.

Dalam perspektif ekonomi, Turki di bawah AKP dan Erdogan semakin terintegrasi dalam ekonomi global dan paradigm neoliberal, secara politik global legitimasi dari rezime Islamis AKP lebih menggantungkan pada pengakuan poros utama kekuatan internasional seperti Uni Eropa, NATO maupun Amerika Serikat. Kekuatan politik AKP dan Erdogan melakukan strategi diplomasi internasional bahwa Turki di bawah kendali mereka telah menuju New Turkey yang bernuansa Islam pro-pasar bebas, pro-demokrasi elektoral, dan terbuka terhadap asing. Ini berbeda dengan gambaran Turki di bawah rezime Kemalis.

Strategi politik internasional ini penting untuk mencari legitimasi atas rezim Erdogan yang kerapkali mendapat gangguan dari kubu rivalnya kaum sekuler maupun dukungan agar kebijakan represif terhadap kaum minoritas suku Kurdi tidak mendapat sorotan internasional.
Namun, ada harga yang harus dibayar oleh Turki di bawah Erdogan dari karakter pro-pasar bebas, outward looking, dan sikap yang ramah dari Turki terhadap poros utama kekuasaan global tersebut. Konsekuensi geo-politik dari perjuangan untuk mendapatkan dukugan geo-politik NATO dan aliansinya.

Contohnya, dalam kasus konflik yang melibatkan Turki-Israel-Palestina, Turki dipaksa mengambil langkah moderat dari sikap awalnya yang menekan Israel untuk mengakhiri pendudukan ilegal atas wilayah Gaza. Di bawah tekanan Amerika Serikat dan NATO, Turki dipaksa untuk puas dengan kesepakatan bahwa Turki diperbolehkan memberikan bantuan sipil dan rehabilitasi infrastruktur publik.

Kesepakatan yang sebenarnya lebih menguntungkan Israel karena secara tidak langsung menempatkan Turki sebagai kekuatan yang melegitimasi tindakan di luar hukum internasional dari Israel terhadap rakyat Palestina, dan memberikan keuntungan bagi kalangan borjuis Anatolia untuk terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur ekonomi sebagai imbas dari kesepakatan tersebut.

Sementara itu, dalam dinamika ekonomi-politik domestik, strategi merangkul desain neoliberal dari kekuatan politik Islamis AKP ini juga tidak tanpa konsekuensi. Strategi pengetatan anggaran publik, privatisasi, dan integrasi ekonomi Turki ke dalam desain neoliberalisme memunculkan proses pemiskinan sosial serta melemahnya basis-basis sosial dari kelompok AKP di kalangan kelas menengah ke bawah dan kekuatan kelas sosial buruh dan kelompok miskin lainnya.

Inilah yang terjadi dalam serangkaian protes sosial dan gugatan warga Turki, kekuatan kelas buruh dan kelompok aktivis mahasiswa terhadap rezim AKP dan Erdogan beberapa waktu lalu.

Penjelasan panjang lebar tentang dinamika ekonomi-politik dalam rangkaian sejarah di atas berguna untuk memperlihatkan bahwa dinamika politik yang berlangsung di Turki dalam proses yang terjadi di internal dan global tidak berhubungan sama sekali dengan penilaian agama yang menampilkan Erdogan, baik sebagai pejuang Islam maupun musuh Islam. Manuver politik dan langkah-langkah yang diambil oleh kekuatan Islamis AKP di bawah Presiden Erdogan adalah wujud dari strategi yang diambil dalam proses pertarungan sosial dan kontradiksi-kontradiksi sosial yang menyertainya.

Masa Depan Turki
Dari sekelumit gambaran tentang pertarungan sosial di antara kekuatan dominan di Turki di atas, apakah implikasinya dengan pemahaman kita atas realitas terkini dari Turki pasca kudeta? Keberhasilan Erdogan mengakhiri kudeta militer singkat atas dirinya menjadi sebuah episode penting bagi AKP dan Erdogan untuk memperoleh legitimasi dari para pendukung Islamisnya mengambil tindakan apa pun guna menyelamatkan negara. Meskipun harus melalui jalan represi dan anti-demokrasi sekaligus memperdalam proyek kekuasaan ekonomi neoliberal.

Dengan demikian, corak kekuasaan yang diusung oleh Erdogan akan berkarakter kekuasaan populis neoliberal yang bertendensi otoritarian. Populis dalam artian bahwa kaum Islamis akan semakin memperkuat jargon dan sentimen moralitas agama bagi para pendukungnya di kalangan akar rumput; neoliberal untuk memperkuat basis pendukung ekonomi dari penopang kekuasaannya dan berkarakter otoritarian melalui operasi pembersihan terhadap kekuatan oposisi dengan dalih mendukung kudeta.

Namun, itu baru satu episode dari proses konsolidasi kekuasaan Turki pasca kudeta. Ketika euforia dan antusiasme kekuasaan pendukung Erdogan semakin menguat melalui jalan “sapu bersih”, maka keadaan ini hanya akan memancing usaha-usaha kudeta yang lebih sistematis dan rapi dari kekuatan militer.

Akibatnya, masa depan politik Turki di bawah Erdogan dan AKP tidak selalu berimbas pada stabilitas politik tapi bisa jadi justru mengarah pada instabilitas politik di mana melemahnya kanal politik demokrasi akan mengalihkan proses dan konflik politik pada politik kekerasan yang sulit dihentikan. Dalam situasi seperti ini Erdogan seharusnya sadar bahwa dukungan internasional yang menjadi salah satu penopangnya berkarakter pragmatik dan tidak selalu bisa dipegang.

Bukankah langkah politik eksklusif dan antagonistik terbukti berkali-kali menjadi awal dari kehancuran politik Islam seperti pernah terjadi pada era pendahulunya ketika aktivis Islamis Turki di bawah pimpinan Necmettin Erbakan. Atau Mesir di bawah Presiden Mursi yang kekuatan Islamnya hancur berkeping-keping di bawah kudeta militer.

Airlangga Pribadi Kusman
Airlangga Pribadi Kusman
Meraih PhD dari the Asian Studies Centre, Murdoch University. Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya. Direktur Centre of Statecraft and Citizenship Studies, Universitas Airlangga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.