Pernahkah Anda merenungkan betapa cepatnya seseorang dapat membaca dalam bahasa baru? Ambil contoh bahasa Italia atau Finlandia. Sungguh mencengangkan, dalam kurun waktu satu tahun pertama belajar, seorang siswa biasanya mampu mencapai tingkat akurasi membaca yang luar biasa, yakni sekitar 90%! Sebuah pencapaian yang patut diacungi jempol, bukan? Namun, ironisnya, kemudahan ini seolah sirna ketika kita beralih ke bahasa Inggris. Para pelajar bahasa Inggris seringkali harus mencurahkan waktu hampir dua kali lipat hanya untuk mencapai tingkat pemahaman membaca yang setara. Mengapa demikian? Para linguis dan ahli bahasa sepakat bahwa biang keladinya terletak pada sistem ejaan bahasa Inggris yang unik—atau mungkin lebih tepatnya, keanehannya.
Coba kita telaah lebih lanjut. Bahasa Inggris memang hanya memiliki 26 huruf dalam alfabetnya. Namun, tahukah Anda bahwa dari 26 huruf tersebut, kita menghasilkan lebih dari 44 bunyi yang berbeda? Sebuah ketidaksesuaian yang cukup signifikan! Lebih membingungkan lagi, satu huruf tunggal dapat menjelma menjadi beragam bunyi, tergantung pada konteksnya. Sebagai contoh, huruf ‘a’ bisa dilafalkan berbeda dalam kata ‘cat’, ‘car’, atau ‘cake’. Kejanggalan tidak berhenti di situ.
Kata-kata yang terlihat memiliki kemiripan ejaan seringkali enggan untuk menghasilkan rima yang harmonis. Pikirkan saja ‘cough’ dan ‘though’—penampilan visual yang serupa, namun bunyi yang jauh berbeda. Belum lagi “serangan” tak terduga dari huruf-huruf bisu yang dengan liciknya menyelinap dalam kata-kata tanpa menyuarakan diri, seperti ‘knight’ atau ‘debt’. Singkatnya, bahasa Inggris jauh dari kata fonetik—hubungan antara huruf dan bunyi seringkali tidak langsung dan tidak dapat diprediksi. Lebih lanjut, tidak ada standarisasi yang ketat dalam ejaannya, membuka pintu bagi berbagai variasi dan pengecualian yang semakin mempersulit proses pembelajaran.
Maka, pertanyaan krusial pun muncul: Mengapa sistem ejaan bahasa Inggris ini terasa begitu rumit dan tidak perlu dipersulit? Dan yang lebih menarik lagi, adakah upaya serius yang pernah dilakukan untuk menjinakkan kekacauan ejaan ini, untuk menyederhanakannya agar lebih mudah dipelajari dan digunakan? Laporan kami selanjutnya akan mengupas tuntas misteri ini. Namun, sebelum itu, mari kita bermain-main dengan sebuah gagasan yang menggelitik: Bayangkan jika Anda diberi tugas untuk merancang sistem ejaan yang paling membingungkan dan menyiksa di muka bumi. Apa saja elemen “penyiksaan” yang akan Anda pilih? Apakah Anda akan memasukkan huruf-huruf bisu yang menjebak? Perubahan bunyi vokal yang tak terduga?
Mungkin Anda akan menyelipkan akar kata dari bahasa Latin dan Norse yang saling bertentangan? Atau mungkin menambahkan sufiks-sufiks Yunani yang asing di telinga? Nah, apa pun “resep” kejam yang Anda racik, kemungkinan besar hasilnya tidak akan jauh berbeda—atau bahkan mungkin tidak seburuk—sistem ejaan bahasa Inggris yang sudah ada. Pasalnya, ejaan bahasa Inggris telah mewarisi semua “elemen penyiksaan” ini, dan bahkan lebih banyak lagi, menjadikannya sebuah labirin linguistik yang menantang bagi siapa pun yang berani memasukinya.
Jejak akar bahasa Inggris dapat ditelusuri jauh ke masa lalu, bermula dari sebuah bahasa Jermanik yang sederhana. Perjalanannya mengalami akselerasi dramatis pada abad kelima, seiring dengan invasi ke tanah Britania. Namun, layaknya benih yang tertiup angin, bahasa ini tak lagi terbatas pada satu wilayah. Dorongan untuk menjelajahi dan mendiami tanah-tanah baru telah menyebarkan bahasa Inggris ke seluruh penjuru dunia. Ironisnya, ekspansi global ini membawa konsekuensi yang unik: kini, diperkirakan sekitar 1,5 miliar jiwa di muka bumi bergumul dengan kerumitan bahasa ini, seringkali merasa “tersandung” dan “meraba-raba” dalam upaya mereka untuk menguasainya.
Mungkin Anda merasa skeptis dengan pernyataan ini? Coba saja ucapkan kata “soup” dan “southern”. Perhatikan bagaimana keduanya menggunakan huruf “u” dalam ejaannya, namun menghasilkan bunyi yang sama sekali berbeda. Bandingkan pula dengan kata “to,” “shoe,” “flu,” dan “glue.” Di sini, kita menjumpai beragam kombinasi huruf yang mengeja bunyi “oo” yang serupa.
Kontradiksi ini hanyalah permulaan. Amati bagaimana “air” dan “bear” memiliki kesamaan bunyi di akhir kata (rima), sementara “laughter” dan “daughter,” meskipun memiliki akhiran yang terlihat mirip, justru tidak berima sama sekali. Lalu, mari kita bahas huruf “c.” Dalam kata “city,” ia meluncur dengan lembut bagai desisan “s,” namun dalam “cat,” ia menggeram keras bagai “k.” Dan jujur saja, fenomena huruf-huruf bisu yang misterius itu? Kita sangat meragukan bahwa Anda menganggapnya sebagai aspek yang mudah dipahami dari bahasa ini. Keberadaannya seolah menjadi teka-teki abadi bagi para pembelajar.
Fakta-fakta ini bukan sekadar anekdot. Penelitian ilmiah pun menggarisbawahi betapa menantangnya ejaan bahasa Inggris. Studi menunjukkan bahwa para siswa yang mempelajari bahasa-bahasa Eropa lain, seperti Prancis atau Italia, umumnya mampu mencapai pemahaman yang baik dalam tahun pertama. Namun, kecepatan perkembangan kemampuan berbahasa Inggris jauh tertinggal, bahkan lebih dari dua kali lebih lambat.
Lebih lanjut, penelitian lain mengungkapkan bahwa penutur bahasa Inggris yang mengalami disleksia menghadapi kesulitan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan individu dengan kondisi serupa yang berbahasa lain. Namun, sebenarnya kita tidak memerlukan data statistik untuk menyadari ketidakteraturan ejaan bahasa Inggris. Kenyataannya, sejak bahasa ini mulai dituliskan, kerumitannya telah menjadi sumber frustrasi bagi banyak orang, termasuk tokoh terkemuka seperti Benjamin Franklin.
Jauh di tahun 1768, seorang tokoh terkemuka bernama Benjamin Franklin merasa gerah dengan kerumitan ejaan bahasa Inggris. Dengan visi untuk membuatnya lebih mudah diakses, ia mengusulkan sebuah langkah radikal: menghapus enam huruf—C, J, Q, W, X, dan Y—dari alfabet yang sudah mapan, serta mencoba merasionalisasi cara kata-kata dieja. Meskipun idenya tergolong revolusioner pada masanya, namun tidak mendapatkan dukungan yang cukup luas untuk mengubah lanskap ejaan secara signifikan.
Kemudian, muncul seorang pionir di bidang leksikografi, Noah Webster. Jauh sebelum namanya diabadikan dalam kamus-kamus yang kita kenal, Webster melancarkan kritik pedas terhadap keberadaan huruf-huruf bisu yang dianggapnya tidak perlu. Pada tahun 1789, ia bahkan mengusulkan penggantian ejaan kata “daughter” menjadi “DAWTER,” sebuah representasi yang lebih mendekati pelafalannya. Meskipun visinya tidak sepenuhnya terwujud, usahanya memberikan kontribusi terhadap evolusi ejaan di Amerika Serikat, menjadikannya sedikit lebih ringkas dan lebih fonetik dibandingkan dengan varian yang digunakan di Inggris.
Puncak dari gerakan penyederhanaan ejaan ini terjadi pada awal abad ke-20. Presiden Amerika Serikat saat itu, Theodore Roosevelt, mengambil langkah berani dengan mengeluarkan perintah eksekutif yang mewajibkan penggunaan ejaan yang disederhanakan dan fonetik dalam semua dokumen federal publik. Namun, langkah ini menuai badai kritik dan penolakan yang hebat, bahkan beberapa surat kabar mengejeknya dengan melafalkan namanya menjadi “Roosevelt” sesuai dengan ejaan yang ia usulkan. Sejak saat itu, gagasan untuk menyederhanakan ejaan bahasa Inggris cenderung dianggap sebagai gerakan pinggiran, sebuah ide yang menarik namun sulit untuk diimplementasikan secara luas.
Kendati demikian, perubahan—disadari atau tidak—mungkin sedang berlangsung saat ini. Kita semakin sering menjumpai ejaan yang lebih pendek dan lebih sederhana dalam tulisan sehari-hari. Fenomena ini sebagian besar dipicu oleh kehadiran internet, di mana algoritma pencarian Google cenderung memprioritaskan hasil dengan ejaan Amerika Serikat secara global. Tentu saja, ada pula komunitas daring seperti halaman Reddit yang dengan sengit menentang tren ini.
Namun, “Googleisasi”—atau lebih tepatnya, globalisasi—ini menjadi salah satu alasan utama mengapa penutur non-pribumi, seperti para pelajar dari Thailand, lebih memilih ejaan Amerika yang dianggap lebih ringkas dan mudah. Alasan signifikan kedua di balik pergeseran menuju ejaan yang lebih sederhana adalah pengaruh Generasi Z. Melalui setiap ketukan tombol dan setiap unggahan “real” di media sosial, mereka secara aktif membentuk evolusi bahasa, termasuk cara kita mengeja kata-kata.
Dengan demikian, ejaan bahasa Inggris sedang melalui masa-masa yang penuh gejolak dan perubahan. Namun, kemungkinan besar akan membutuhkan waktu yang sangat lama sebelum ia benar-benar dikorbankan di altar standarisasi yang menyeluruh. Sambil menunggu masa depan yang belum pasti itu, kita masih dapat mengandalkan fitur koreksi otomatis yang setia pada perangkat kita, sambil berharap kita tidak membuat kesalahan konyol seperti staf pers Gedung Putih yang pernah menyerukan “perdamaian abadi” (lasting peace) menjadi “persik abadi” (lasting peach) di Asia Barat—sebuah pengingat lucu betapa rumitnya ejaan bahasa Inggris!