Rabu, Oktober 16, 2024

Kewarganegaraan Ganda, Siapa Takut ?

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) asal Jawa Barat Gloria Natapraja Hamel (kanan) dan Alldy Padlyma (kiri) mengekspresikan kegembiraan seusai bertugas sebagai Tim Penjaga Gordon saat Upacara Penurunan Bendera HUT ke-71 Kemerdekaan RI di Halaman Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8). Penjaga Gordon adalah Paskibraka yang berdiri dan bertugas di sisi belakang podium tempat Presiden dan Wapres saat Upacara HUT ke-71 Kemerdekaan RI di Istana Merdeka. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/16.

Status warga negara Indonesia (WNI) kontroversial akhir-akhir ini memunculkan pemikiran bahwa Indonesia sebaiknya menganut saja kewarganegaraan ganda. Pemikiran ini sangat relevan mengingat dunia sekarang nyaris tanpa batas (borderless) karena kemajuan zaman lengkap dengan konektivitas transportasi udara maupun internet.

Dwi kewarganegaraan akan memudahkan mereka yang bermukim di negara lain bisa keluar-masuk Indonesia. Mereka yang sudah warga negara asing (WNA) bisa berinvestasi di dalam negeri. Makin besar investasinya di Indonesia akan semakin besar pula kemungkinan mereka untuk kembali. Karena, bagaimanapun, investasi itu harus mereka amankan dengan tangan mereka sendiri. Jadi, dwikewarganegaraan juga punya dampak ekonomi.

Kewarganegaraan ganda tidak akan menggerus nasionalisme, karena faktanya orang Indonesia bukan bangsa lain yang doyan ngendon di luar negeri melupakan tanah airnya. Orang Indonesia adalah kelompok diaspora yang unik. Mereka cintanya setengah mati pada Indonesia. Mereka cuma ingin meraih berkah ekonomi di negara-negara tempat bermukim. Mereka mau balik lagi ke Indonesia asalkan gaji mereka cocok atau sudah merasa cukup mencari nafkah di luar negeri.

Buktinya ada. Meski sudah WNA, banyak orang Indonesia yang memperpanjang passport RI mereka. Padahal, passport hijau itu tidak bisa dipakai jika masuk Indonesia. Ini menunjukkan bahwa mereka suatu saat ingin kembali.

Ketika bertugas di Singapura dan Amerika, saya mendapati banyak warga tua asli Indonesia tapi sudah menjadi WNA ingin kembali ke tanah air ingin menikmati masa tua dan dimakamkan di tanah air. Dalam beberapa kesempatan, saya menyaksikan kedutaan memberikan kemudahan bagi mereka.

Sekali lagi, ini bukti nasionalisme orang Indonesia. Sekarang soal kekhawatiran terjadi brain drain atau banyak orang Indonesia yang pintar-pintar yang pergi ke luar negeri tapi tidak mau balik lagi. Hal ini hanya perasaan yang sifatnya emosional belaka tanpa ada data yang cukup. Faktanya itu tidak terjadi. Banyak orang kita yang pintar-pintar terpaksa ganti kewarganegaraan bukan karena benci ndonesia.

Mereka menjadi WNA hanya untuk mempermudah mobilitas mereka dalam mencari nafkah, mengembangkan diri serta menyebarkan keilmuannya hingga mengharumkan nama Indonesia, tanpa harus urus visa. Seperti yang dilakukan Arcandra Tahar dan banyak orang-orang pintar kita yang kini bermukim disana. Jika diberi atau ada kesempatan, kita yakin mereka akan berbondong-bondong ke Indonesia karena negara memperlakukan mereka dengan sangat layak.

Lihat saja ada seorang ahli nuklir Indonesia yang sekarang mengajar di Korea Selatan. Dia sekarang mengajar cara membuat reaktor nuklir mini untuk negara-negara di Timur Tengah. Di tanah air, keahliannya tidak atau belum terpakai karena baru sampai tahap gagasan, ide pembangunan reaktor nuklir sudah ditolak. Dia akan dengan serta merta menanggalkan jabatan dan gaji besar jika tanah air memanggil.

Karena, pada dasarnya, itulah penantian dia selama ini. Masalahnya, harus diakui bahwa dalam banyak hal negara belum sanggup memberikan ruang bagi mereka. Tapi itu bukan hambatan. Dengan dwi kewarganegaraan, mereka bisa memberikan sumbangsihnya, meski tidak total kepada negara, misalnya mendirikan perusahaan di tanah air atau menjadi konsultan. Dengan demikian, dwi kewarganegaraan mempermudah mobilitas mereka. Dari sini jelas bahwa kewarganegaraan hanyaah status.

Tak ada hubungannya dengan nasionalisme ataupun brain drain. Orang Indonesia pasti balik sejauh dia masih menangis menyanyikan Indonesia Raya atau Tanah Airku. Jadi, dwi kewarganegaraan bisa dipandang sebagai satu bentuk penghormatan negara bagi mereka yang hatinya selamanya tetap Indonesia…

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.