Jumat, Maret 29, 2024

Dunia Terancam Sampah Plastik*

Nuran Wibisono
Nuran Wibisono
Penulis buku dan perjalanan. Menggemari musik Hair Metal.

dom-1454837701Salah seorang anggota kelompok swadaya masyarakat (KSM) Selayar memilah sampah plastik di Tempat Pengelolaan Sampah 3R (reduce reuse recycle) di Kelurahan Pulubala, Kota Gorontalo, Minggu (7/2). KSM Selayar mengumpulkan sampah plastik, kardus, daun dan kaleng dari tempat sampah maupun rumah warga untuk didaur ulang ataupun dijual kembali. ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin.

HARI PEDULI SAMPAH NASIONAL, 21 FEBRUARI

Pemakaian plastik terus meningkat. Berbahaya bagi alam dan makhluk hidup. Saatnya mengurangi ketergantungan pada plastik.

Amerika Serikat, medio 1907. Ilmuwan Dr Leo Baekeland menemukan Bakelite. Ini adalah resin sintetik yang mengawali industri plastik modern. Berkat penemuan itu industri melesat lebih maju.

Plastik menjadi bahan yang kuat, antikarat, murah, dan efisien. Lebih dari satu abad kemudian plastik menjadi permasalahan amat besar bagi lingkungan.

Sudah sejak lama plastik dituding menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan. Plastik memang susah terurai. Di dalam tanah, plastik baru bisa terurai setelah 1.000 tahun. Benjamin Bongardt, pakar sampah dari organisasi Ikatan Perlindungan Alam Jerman, mengatakan banyak plastik di laut dan sungai yang baru bisa terurai setelah 450 tahun. Tiap tahun volume sampah plastik semakin meningkat.

“80 persen plastik datang dari darat, bukan dari laut. Ini artinya plastik datang dari turis, juga penduduk, yang dibawa sungai dan angin ke lautan,” kata Benjamin pada media Jerman Deutsche Welle.

Laut dan sungai menjadi kawasan yang paling terdampak oleh sampah plastik. Para peneliti sampah plastik memperkirakan di setiap kilometer persegi permukaan air terdapat sekitar 18 ribu partikel plastik yang mencemari. Partikel plastik itu bisa berbentuk kantong plastik atau botol plastik utuh. Banyak pula yang ukurannya berupa serpihan kecil. Karena itu, banyak hewan yang mengira plastik sebagai makanan.

Pada September 2009 fotografer Chris Jordan berburu gambar kehidupan burung albatros di Kepulauan Atol Midway di Pasifik Utara. Wilayah itu sangat terisolasi. Permukiman manusia terdekat berjarak sekitar 1.600 kilometer. Di salah sebuah pulau Chris terkejut, banyak albatros mati karena tercekik sampah plastik.

Burung albatros memang memakan hewan laut yang hidup dekat dengan permukaan. Ternyata mereka tak bisa membedakan makanan dan sampah plastik yang mengapung. Akhirnya banyak albatros mati karena memakan sampah plastik. Lebih buruk lagi, lebih dari 10 ribu bayi albatros mati, dengan sampah plastik di dalam tubuh mereka.

Kisah tentang burung albatros dan plastik ini diabadikan dalam film dokumenter The  Midway. Film yang bisa disaksikan di situs resminya ini membuka mata kita bahwa dunia semakin terancam oleh sampah plastik.

Premis yang diajukan film ini sebenarnya sederhana: jika di sebuah tempat yang sangat terpencil saja plastik begitu membahayakan, bagaimana dengan di permukiman manusia? Padahal, penggunaan plastik–yang kemudian menjadi sampah plastik–dari tahun ke tahun kian besar.

Berdasarkan data lembaga Plastics Europe, pada 2012 produksi plastik di dunia mencapai 288 juta ton, meningkat 2,8 persen dari tahun 2011. Kecenderungan ini meningkat tiap tahun.

Tiongkok menjadi negara produsen plastik terbesar di dunia, mencapai 57,6 juta ton tiap tahun. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan total produksi plastik gabungan semua negara Asia, yang mencapai 49,9 juta ton per tahun.

Di Asia, Jepang merupakan negara yang paling sedikit memproduksi plastik. Negeri Sakura hanya memproduksi 4,9 persen plastik dari total produksi dunia.

Jepang juga menjadi contoh baik bagaimana negara di Asia bisa melepaskan diri dari ketergantungan plastik. Padahal, di era 1960 hingga 1970-an, Jepang dikenal sebagai negara industri besar yang memakai plastik dan memproduksi limbah plastik dalam jumlah berlimpah.

Pada pertengahan 1970-an, beberapa kelompok masyarakat di Jepang mulai
menggagas chonaikai, gerakan masyarakat peduli lingkungan. Gerakan ini tak didukung pemerintah, karena saat itu urusan lingkungan dirasa belum layak jadi prioritas. Namun, kelompok masyarakat tetap gigih menjalankan gerakan ini.

Baru pada dasawarsa 1990-an, Pemerintah Jepang meloloskan undang-undang tentang pengelolaan sampah. Pada 1997 Jepang punya Undang-undang Kemasan Daur Ulang, dan pada 2000 melahirkan Undang-undang Daur Ulang.

Jalan yang ditempuh masyarakat dan Pemerintah Jepang memang panjang. Proses mengurangi penggunaan plastik dan pengurangan sampah plastik dilakukan tahap demi tahap.

Sebagai contoh, mereka memulai kesadaran mengurangi sampah dan sampah plastik sejak dini. Sejak kelas 3 Sekolah Dasar, anak-anak Jepang diajari memilah sampah. Selain peran aktif masyarakat, pemerintah juga aktif dengan terus-menerus memberikan penyuluhan dan pembekalan tentang pentingnya membuang sampah dan memilah sampah. Dengan langkah yang dimulai masyarakat sejak puluhan tahun lalu itu akhirnya Jepang mulai terlepas dari ketergantungan pada plastik.

Di Indonesia, penggunaan plastik masih jadi bagian dari keseharian masyarakat. Tak mengherankan, produksi sampah plastik Indonesia mencapai 5,4 juta ton per tahun. Dari kantong plastik hingga botol minuman kemasan.

Menurut Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association Sri Bebassari, berdasarkan data statistik persampahan domestik, jumlah sampah plastik tersebut merupakan 14 persen dari total produksi sampah di Indonesia.

Dalam kehidupan sehari-hari, plastik menjadi bahan utama pembungkus. Untuk makanan, misalnya, strefoam lebih banyak dipakai, menggantikan kertas atau daun yang dulu populer di masyarakat.

Plastik dianggap lebih murah dan lebih praktis ketimbang kertas. Namun, dampak kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih parah ketimbang kertas. Dan yang perlu digarisbawahi: menolak plastik sama sekali juga bukan solusi terbaik.

“Yang harus dilakukan saat ini bukan memusuhi plastik, melainkan menemukan formula yang tepat untuk mempercepat proses penguraian plastik agar bisa kembali ke alam,” kata Sri.

Memilih plastik yang ramah lingkungan menjadi salah satu solusi untuk mengurangi jumlah sampah plastik. Plastik ramah lingkungan ini biasanya bisa terurai dengan cepat. Ada beberapa produk plastik ramah lingkungan di pasaran Indonesia saat ini.

Oxium dan ecoplas, misalnya. Kantong plastik oxium bisa terurai dalam 2 tahun, sedangkan kantong plastik ecoplas bisa terurai dalam 6 bulan saja apabila syarat degradasi alamiahnya terpenuhi. Produk kantong plastik ini sudah banyak digunakan ritel besar di Indonesia.

Satu lagi produk kantong plastik yang ramah lingkungan adalah enviplast. Produk ini diklaim terbuat dari bahan alami, seperti singkong atau sawit. Dengan proses  kimiawi, bahan alami ini bisa menjadi kantong plastik yang ramah lingkungan. Kantong plastik ini akan hancur jika terkena air serta kala dikonsumsi organisme makro dan mikro-alami. Sewaktu plastik enviplast sudah terdegradasi, residunya bisa digunakan sebagai pupuk.

Langkah lain untuk mengurangi sampah plastik adalah menggunakan produk daur ulang dari plastik. Hal ini sudah dilakukan secara masif Greeneration Indonesia. Organisasi yang didirikan Muhammad Bijaksana Junerosano ini menggalakkan kampanye diet kantong plastik sejak 4 tahun lalu di beberapa kota besar.

Unit usaha mereka memproduksi BagGoes, tas belanja yang bisa jadi alternatif pengganti kantong plastik. Tas ini tahan lama dan bisa dipakai minimal 1.000 kali. Pada 2013 organisasi ini memproduksi 150 ribu tas BagGoes. Dengan perkalian sederhana, tas produksi Greeneration Indonesia bisa mengurangi pemakaian 150 juta tas plastik.

Sayang, gerakan mereka baru terbatas pada masyarakat kelas menengah atas. Padahal, penggunaan tas plastik kebanyakan di pasar.

Untuk masyarakat kelas menengah bawah yang merupakan pemakai terbesar plastik, langkah yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan bank sampah. Melalui bank ini, pemerintah juga bisa mengubah persepsi masyarakat yang selama ini menganggap sampah tak bernilai ekonomi. Dengan itu, masyarakat tak akan membuang sampah plastik sembarangan, tetapi akan mengumpulkannya dan menjadikannya uang.

Untuk skala lebih besar dan kompleks, mungkin masyarakat di kota dan desa mesti mulai mempelajari dan mengenal jenis plastik. Dengan mengenal jenis plastik yang digunakan, masyarakat diharapkan memilih plastik yang lebih ramah lingkungan.

Untuk apa? Untuk memudahkan pengelolaan sampah plastik pada skala rumah tangga. Ini penegasan Mochamad Syamsiro, mahasiswa pascasarjana di Tokyo Institute of Technology, Jepang, yang juga aktivis komunitas Olah Sampah.

Plastik juga bisa dijadikan bahan daur ulang untuk dijadikan sumber energi. Salah satu konsep daur ulang plastik ini adalah menggunakan metode pirolisis. Sampah plastik dipanaskan dalam suhu sekitar 500 derajat celcius sehingga berubah menjadi gas. Setelah itu plastik merekah dan pecah. Setelah didinginkan kembali, sampah plastik itu akan berbentuk bahan bakar cair yang setara dengan bensin dan solar.

Salah satu negara yang menerapkan konversi plastik menjadi bahan bakar adalah Jepang. Ada skala kecil yang bisa dipakai kelompok masyarakat serta skala medium dan besar yang bisa dipakai untuk industri. Teknologi untuk konversi ini sudah ada dan beragam.

Di Indonesia, metode pirolisis sudah diterapkan di Tempat Pembuangan Akhir Sukoharjo, Pati, Jawa Tengah. Setiap hari sekitar 50 ton sampah yang masuk. Pekerja di sana lantas memilah sampah organik dan non-organik, termasuk plastik. Sampah non-organik didaur ulang untuk berbagai keperluan.

Sampah plastik itu lantas diolah dengan metode pirolisis yang kemudian menghasilkan gas metan yang digunakan sebagai bahan bakar. Tempat Pembuangan Akhir Sukoharjo memanfaatkan bahan bakar dari sampah plastik itu sebagai bahan bakar generator penghasil listrik (genset).

Langkah yang juga tak kalah penting adalah undang-undang daur ulang yang seharusnya dibuat pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo. Masyarakat tentu tak bisa dibiarkan sendiri. Dengan segala langkah yang sudah dilakukan masyarakat–dari membuat bank sampah, hingga menggunakan tas daur ulang–pemerintah seharusnya tak tinggal diam. Selain undang-undang, pemerintah juga harus mulai meningkatkan mutu tempat pembuangan akhir.

Pandji Prawisudha, dosen Department of Environmental Science and Technology Tokyo Institute of Technology, mengatakan, dalam jangka pendek, pemerintah seharusnya fokus mengembangkan teknologi pengurangan volume dan bau sampah secara ekonomis dan lebih mudah dilakukan oleh tempat pembuangan akhir.

“Saya mengembangkan teknologi hidrotermal di Tanah Air. Dengan teknologi tersebut,  volume dan bau dapat dikurangi. Selain itu, produknya dapat digunakan sebagai bahan bakar di pabrik-pabrik yang biasa menggunakan bahan bakar padat (batu bara),” kata Pandji.

*Tulisan ini pernah tayang di majalah GeoTIMES edisi 31, 27 Oktober – 2 November 2014.

Nuran Wibisono
Nuran Wibisono
Penulis buku dan perjalanan. Menggemari musik Hair Metal.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.