Rabu, Oktober 9, 2024

Duka Nawa Cita Jokowi-JK

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Jokowi menanam padi di kalimantan. ©Setpres RI/agus s
Presiden Joko Widodo menanam padi di Kalimantan. ©Setpres RI/agus s

Seperti pendahulunya, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mematok target ambisius: swasembada beras, jagung, dan kedelai dalam tiga tahun. Swasembada gula dan daging ditargetkan lima tahun lagi. Tak ada yang salah dengan target-target itu. Dengan target akan ada ukuran capaian kinerja dan langkah-langkah lebih fokus. Masalahnya, bagaimana cara mencapai target itu? Strategi apa yang bakal ditempuh?

Jokowi-Jusuf Kalla berjanji akan menempatkan sektor pertanian pada posisi penting untuk mengembalikan kedaulatan pangan. Ini ditempuh lewat sejumlah langkah: membagikan 9 juta hektare lahan ke petani; menambah kepemilikan lahan dari 0,3 hektare jadi 2 hektare per keluarga petani; perbaikan irigasi di 3 juta hektare sawah; membangun 25 bendungan; mencetak 1 juta hektare sawah baru dan 1 juta hektare lahan pertanian kering baru di luar Jawa-Bali; mendirikan bank pertanian; mendorong industri pengolahan; 1.000 desa berdaulat benih; dan 1.000 desa go organic.

Rencana ini cukup bagus. Namun, bagaimana peluang implementasinya?

Menambah lahan baru, memperbaiki infrastruktur irigasi, dan membangun bendungan adalah keniscayaan. Berpuluh-puluh tahun lahan pangan tidak bertambah. Yang terjadi justru sawah-sawah subur dan beririgasi teknis diuruk untuk ditanami beton, untuk jalan, rumah, atau pabrik.

Karena tak ada tambahan lahan, setidaknya empat komoditas berebut di lahan yang sama. Berpuluh-puluh tahun tak ada pembangunan bendungan dan irigasi baru. Irigasi warisan Orde Baru bahkan tidak dipelihara dengan baik. Saat ini sekitar 52 persen infrastruktur irigasi rusak, baik ringan maupun berat.

Salah satu contohnya swasembada kedelai. Produksi kedelai pada 2014 mencapai 921 ribu ton, jauh dari target 2,5 juta ton. Untuk mencapai target produksi 2,5 juta ton, tanpa peningkatan produktivitas, dibutuhkan tambahan lahan baru 1,2 juta hektare. Artinya, hampir separo dari rencana pembukaan lahan baru tersedot untuk mengejar swasembada kedelai. Padahal, untuk mencapai target produksi jagung, gula, dan beras juga memerlukan tambahan lahan baru.

Membuka lahan baru dan memperbaiki atau membangun infrastruktur irigasi perlu waktu dan anggaran besar. Administrasi pertanahan yang kusut membuat perluasan lahan pangan tak mudah dilakukan. Di atas kertas, potensi ekstensifikasi bisa dilakukan di puluhan juta hektare lahan. Namun, di lapangan tak sepenuhnya clear. Kebutuhan anggaran yang besar juga tidak memungkinkan memperbaiki/membangun irigasi dalam satu tahun anggaran. Uraian singkat ini bermakna: tidak mudah mencapai target swasembada.

Tak banyak disadari, Jawa masih menjadi pulau penyumbang produksi pangan terbesar negeri ini. Peran Jawa dalam produksi padi, jagung, kedelai, dan gula masing-masing 52,6%; 54,5%; 66,9%; dan 67,4% dari produksi nasional. Ketika dihadapkan pada kondisi lapangan yang sulit dan desakan pencapaian target, birokrasi akan senantiasa “menggarap” daratan Jawa, Madura, dan Bali yang relatif matang.

Dominasi peran Jawa bisa dipastikan membuat birokrat tak berani mengambil keputusan drastis. Misalnya menggeser basis produksi pangan dari Jawa ke luar Jawa. Keputusan ini amat berisiko.

Dengan konfigurasi seperti itu, diperkirakan menteri Kabinet Kerja Jokowi yang berurusan dengan pangan akan terjebak pada pragmatisme pencapaian-pencapaian jangka pendek. Bagi mereka, yang paling realistis adalah mempertahankan lahan-lahan subur di Jawa, dan sebisa mungkin mencegah konversi. Pada saat yang sama, ekstensifikasi di luar Jawa digenjot. Dengan cara ini target swasembada bisa dicapai dan kursi menteri aman.

Masalahnya, pragmatisme jangka pendek ini tidak memberikan fondasi apa pun bagi pembangunan pertanian di masa depan. Berbeda apabila Kabinet Kerja Jokowi memilih memperkuat dan membangun fondasi kemandirian dan kedaulatan pangan. Cara ini dilakukan dengan membuat langkah-langkah gradual memperbesar kepemilikan lahan petani, menggeser basis produksi ke luar Jawa, membangun infrastruktur (irigasi, dam, bendungan, jalan) yang memadai, dan menggelar riset-riset intensif untuk merakit pelbagai inovasi.

Tanpa itu semua, sepertinya kita harus siap-siap menerima kenyataan pahit: bukan pencapaian program-program Nawa Cita Jokowi-Jusuf Kalla, melainkan justru kabar duka.

(Kolom ini pernah dimuat di majalah GeoTIMES edisi 15-21 Desember 2014)

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.