Kamis, April 25, 2024

Dua Wajah Modernitas

Airlangga Pribadi Kusman
Airlangga Pribadi Kusman
Meraih PhD dari the Asian Studies Centre, Murdoch University. Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya. Direktur Centre of Statecraft and Citizenship Studies, Universitas Airlangga.
Dokumen pribadi

Oleh: Airlangga Pribadi*

Pembunuhan di kantor majalah Charlie Hebdo, Paris, adalah peristiwa mengerikan. Tak ada argumen waras yang bisa membenarkan tindakan itu! Seluruh dunia, termasuk kalangan pemuka umat Islam yang beradab, sepakat mengutuk serangan tersebut.

Problem baru muncul. Sebagian besar kaum liberal, yang mengisolasi tragedi kemanusiaan ini, menilai kasus ini semata sebagai problem internal peradaban Islam. Dalam pandangan kaum liberal, problem kekerasan terhubung dengan masalah kebudayaan, ketika sebagian umat Islam tak terserap dalam disiplin kemodernan yang berpusat di Barat yang dengan tulang punggung sekularisme, kebebasan berekspresi, dan demokrasi liberal.

Saya memahami masalah global yang secara simptomatik meletup dalam kasus Charlie Hebdo sebagai bagian dari persoalan modernitas. Tatanan kemodernan yang dalam proses kesatuan dialektikanya digerakkan oleh kontradiksi antara kekuatan modernitas imperial dan modernitas progresif (membebaskan).

Akar genealogis dari culture talk dalam peradaban Islam bermula dari produksi pengetahuan sejarawan Islam orientalis asal Universitas Princeton, Bernard Lewis (1990), dalam The Roots of Islam Rage. Lewis menyatakan keterasingan masyarakat muslim atas teori dan praktik kebebasan Barat dan sekularisme adalah persoalan serius yang mengancam peradaban Barat liberal.

Menurut Lewis, tendensi yang mengancam dari fanatisisme Islam itu harus dilawan dengan memberikan dukungan pada kaum muslim yang budiman. Muslim yang telah terserap dengan nilai-nilai peradaban adiluhung modern.

Dalam politik global, kekuasaan imperial berpijak pada tesis Lewis terkait oposisi biner. Pandangan ini dimanfaatkan baik George Bush maupun Tony Blair. Keduanya menggunakan agitasi oposisi biner muslim yang baik dan yang buruk sebagai dalih pembenar invasi atas Irak dan Afghanistan, tekanan atas Palestina, dan dukungan atas rezim opresif di Pakistan (Mamdani 2004).

Argumen culture talk yang membuat batas demarkasi antara muslim yang baik (liberal) dan muslim yang buruk (fundamentalis) adalah keliru. Dengan menyatakan persoalan utama terletak di internal peradaban Islam antara kaum fanatik terbelakang dan kaum liberal modern, mereka menganggap modernitas adalah sesuatu yang berjarak dengan kiblat-kiblatnya di New York, Paris, dan London.

Mereka abai melihat bahwa gejolak-gejolak sosial di masyarakat muslim dan dunia lebih luas, hasil dari artikulasi pengalaman material yang inheren dalam modernitas. Modernitas yang dalam arus utamanya menampilkan karakter imperial.

Kita perlu mendaras karya klasik Hannah Arendt (1975), The Origins of Imperialism: Part Two Imperialism, bahwa kehendak akumulasi hak milik yang lebih besar membutuhkan proses akumulasi dan ekspansi kekuasaan lebih luas. Kerja kapitalisme sebagai urat nadi modernitas imperial merengkuh keuntungan dan memperluas kekuasaan dengan mekanisme penaklukan dan persuasi, koersi dan ideologi yang terus bekerja.

Sejarah Prancis adalah contoh gamblang dari penggambaran tersebut. Kouachi bersaudara yang diduga bertanggung jawab atas pembunuhan di Charlie Hebdo adalah imigran asal Aljazair, negeri bekas jajahan Prancis yang melewati hubungan traumatik dalam proses pendudukannya.

Hubungan-hubungan traumatik itu tak berhenti setelah kolonialisme usai. Luka sejarah berlanjut dalam gesekan sosial di Aljazair; pemerintah Prancis mendukung diktator militer yang merepresi warganya (sebagian besar muslim) dan merampok miliaran dolar kekayaan negaranya untuk disimpan di bank-bank Eropa (Robert Fisk; 2015).

Dalam proses penindasan yang tak pernah usai itu, sebagian warga Aljazair berimigrasi ke Prancis. Mereka bertarung memenuhi bekal hidup dan mendapati bahwa kebijakan sosial dari negara tujuan tak ramah secara kultural. Mereka acap teragitasi oleh penghinaan secara satire terhadap keyakinan mereka oleh media. Penghinaan demi sensasi publisitas dan persepsi dominan yang merendahkan kaum imigran dengan segenap identitasnya.

Pertautan problem struktural, opresi, dan kultural ini acap memicu benturan dalam momen-momen yang terhubung dengan krisis sosial ekonomi. Sebelum tragedi Charlie Hebdo, kita menyaksikan pembunuhan antara dua imigran (Mouhsin dan Larimi) yang memecah api dalam sekam pergesekan sosial di antara penduduk (November 2007).

Namun, pembacaan atas konteks sosial bukanlah dalih mendukung teror. Dalam pemahaman atas kemodernan sebagai pengalaman inheren yang menghubungkan kita sebagai warga dunia, modernitas juga punya tradisi progresif. Tradisi yang melahirkan semangat demokrasi dan kesetaraan: Revolusi 1848 (Prancis), Revolusi 1783 (Amerika Serikat), dan meluas pada revolusi kemerdekaan warga terjajah Asia-Afrika.

Semangat kemodernan progresiflah yang mempertemukan filsuf Prancis Jean Paul Sartre dan Frantz Fanon dalam seruan kemerdekaan Aljazair. Juga wajah modernitas progresif yang melampaui batasan picik muslim liberal yang tunduk terhadap narasi imperium ataupun muslim fanatis terartikulasi oleh Soekarno. Dia memperjuangkan kesetaraan warga dunia melalui Konferensi Asia-Afrika, cikal bakal World Social Forum.

*Pengajar FISIP Universitas Airlangga, kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University

Airlangga Pribadi Kusman
Airlangga Pribadi Kusman
Meraih PhD dari the Asian Studies Centre, Murdoch University. Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya. Direktur Centre of Statecraft and Citizenship Studies, Universitas Airlangga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.