Yogya menangis. Langit di atas Kentungan muram. Nyanyian burung kutilang di sepanjang selokan Mataram terdengar sedih.
What’s wrong? Ono opo kui?
Rakyat Ngayogyakarta risau, karena sudah tiga pekan dua pimpinan militer puncak mereka lenyap. Keduanya tak pernah kembali. Juga tak ada yang tahu di mana keberadaannya.
Ya, sejak Jumat sore, 1 Oktober 1965, Komandan Korem 072 Pamungkas Yogyakarta — Kolonel Katamso dan Kasrem Letkol Sugiono — hilang. Sudah tiga pekan, kedua petinggi militer Yogya itu tak diketahui di mana berada. Kabarnya, kedua petinggi militer itu, diculik PKI. Dugaan ini muncul berbarengan dengan meletusnya peristiwa 30 September 1965 yang didalangi PKI di Jakarta.
Rakyat Yogya menduga, pastilah pejabat militer nomor satu dan dua yang tinggal di Yogya itu sudah tewas. Kepastian tewasnya kedua orang tersebut muncul setelah Jakarta melakukan prosesi penguburan tujuh pahlawan revolusi di Kalibata, Jaktim, 5 Oktober 1965.
Penculikan terhadap para jenderal Angkatan Darat itumerupakan “show of force” kekuatan PKI di tubuh militer. Untungnya, saat itu, PKI tak berhasil menculik Panglima Angkatan Bersewnjata RI, Jenderal Abdul Haris Nasution. Nasution berhasil melarikan diri loncat pagar belakang, tapi putrinya yang berumur lima tahu, Ade Irma Suryani Nasution dibunuh PKI.
PKI memang telah menyusup ke berbagai elemen di pemerintahan. Di jajaran tentara, polisi, birokrasi, dan politisi. Di Yogya, misalnya, kata Burhanudin, tokoh rakyat yang aktif melakukan perlawan terhadap PKI, 70% elemen negara telah disusupi PKI. Bahkan di Yogya, PKI mendirikan Universitas Respublica. Kampusnya di dekat alun-alun utara, selatan Bank BNI. Tepatnya di gedung CHTH (Cung Hua Tjung Hui) milik organisasi Tionghoa (Baperki).
Apa itu Baperki? Baperki adalah Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Ia didirikan oleh beberapa orang etnis Tionghoa untuk memuluskan integrasi warga keturunan dengan bangsa Indonesia. Baperki pada awalnysvtidak terkooptasi PKI. Tapi seiring menguatnya hubungan PKI dengan Partai Komunis Cina, pengaruh komunisme di Baperki makin kuat. Hal ini sesuai dengan visi-misi Baperki yang menolak menghilangkan tradisi Cina dari warga negara Indonesia keturunan. Karena kedekatan Baperki dengan PKI, banyak anggotanya yang antikomunis membangkang. Salah satunya adalah Yap Thiam Hien, pengacara terkenal Indonesia. Mr. Yap keluar dari keanggotaan Baperki. Soe Hok Gie – adik Dr. Arief Budiman — juga kerap mengkritik tajam Baperki yang condong mendukung PKI.
Nah, karena kedekatannya dengan PKI itu pula, saat PKI mendirikan Universitas Respublika, Baperki memberikan gedungnya untuk kampus. Kampus Universitas Respublika diambil alih pejuang Pro- NKRI, 20 Oktober 1965.
Kembali ke kuburan Kol. Katamso dan Letkol Sugiyono. Sampai dua pekan lebih, sejak Katamso dan Sugiono hilang dari rumahnya, belum ada yang tahu di mana kuburannya. Namun, sebagian masyarakat Kentungan yang rumahnya dekat markas Yon L
sering mencium bau busuk. Mereka bertanya-tanya, bauw apakah itu? Bau busuk itu pun sering tercium intelejen Kodam Diponegoro yang mencari kuburan dua petinggi militer Yogya itu.
Tim intelejen akhirnya fokus mencari kuburan tersebut di sekitar markas Yon L di Kentungan, Condongcatur, yang acap menebar bau busuk itu. Setelah kasak-kusuk mencari tahu, akhirnya bertemulah tim intel dengan orang yang mengetahui di manakah kuburan Danrem dan Kasrem itu. Dia memberi tahu, bahwa kuburan Katamso dan Sugiono ada di sekitar kompleks markas Yon L. Ia pun memberi ancar-ancar letaknya. Jika ada pohon pisang yang berbuah, tapi daunnya layu, di situlah kuburannya.
Karena letak kuburan tersebut di kompleks Yon L, maka tentara yang ada di situ pun harus “disingkirkan” dulu. Patut diduga, semua tentara Batalyon L – jumlahnya sekitar 600 orang – adalah PKI. Setidak-tidaknya pendukung atau simpatisan PKI.
Melihat kondisi tersebut, Pangdam Diponegoro Brigjen TNI Suryo Sumpeno, pada 18 Oktober 1965, memerintahkan sebagian pasukan Yon L diberangkatkan ke luar Jawa dalam rangka tugas Dwikora. Sementara, yang diduga sebagai pelaku penculikan, diperintahkan melaksanakan latihan survival tanpa senjata. Mereka masih patuh kepada perintah Pangdam.
Setelah tentara bersenjata pro-PKI di Yon L disapu bersih, sebuah tim yang dipimpin Mayor CPM Moh Said beserta anggotanya membongkar “tempat” di dalam Markas Yon L yang dicurigai sebagai kuburan mayat dua petinggi Korem 072w Pamungkas itu. Timbunan tanah yang di atasnya berdiri pohon pisang layu itu, dibongkar pada 21 Oktober 1965.
Benar juga, setelah digali, terlihatlah mayat dua perwira tersebut. Mayat Pak Sugiono masih memakai baju tentara lengkap dengan tanda jabatannya. Di jasad kedua mayat itu terlihat bekas-bekas penganiayaan. Terlihat di bagian pinggang ke bawah, kondisinya masih baik. Tapi di bagian pinggang ke atas, kondisinya penuh luka. Di kepalanya masih terlihat bekas darah.
Algojo dari Yon L, Alip Tayo memang membunuh dengan memukul kepalanya dengan obeng mortir. Setelah dipastikan kedua jenasah itu adalah Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono, pada pukul 07.00 WIB, mayat kedua Pamen Korem 072 tersebut diangkat. Kedua jenazah dibawa ke Bagian Kesehatan Korem 072 untuk diautopsi oleh tim dokter militer yang dipimpin Kol Sutarto.
Kedua jenazah lalu dibawa ke Markas Korem Pamungkas. Di situ diadakan upacara militer untuk menghormati kedua beliau sebelum diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir. Selanjutnya, dilakukan prosesi pemakanan agung di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, 22 Oktober 1965.
Kini, tepat di atas lubang tersebut dibangun monumen peringatanw dan diberi lambang Garuda Pancasila untuk mengenang jasa keduanya. Di monumen itu dibangun sejumlah relief yang mengisahkan peristiwa pembunuhan keji tersebut.d
Di depan monumen, berdiri tegak patung Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono. Sedangkan di samping monumen, dibangun sebuah taman kecil. Di taman kecil itu ada replika mobil tank bercorak loreng hijau dan sebuah mobil jeep Gaz warna hijau yang digunakan PKI untuk menculik kedua pimpinan militer Yogya tersebut.
Dengan ditemukannya jenazah Danrem 072 dan Kasrem 072 tersebut, masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah bersyukur. Mayat kedua petinggi puncak militer Yogya yang selama hampir tiga pekan lenyap, akhirnya ditemukan. Sejak itu, luapan amarah rakyat terhadap PKI membuncah.
Bertepatan dengan penemuan mayat tersebut, tanggal 21 Oktober 1965, semua elemen masyarakat Yogya yang anti-PKI, khususnya umat Islam dan ormas-ormas yang mendukung Front Pancasila mengadakan rapat akbar di alun-alun utara, di depan masjid Kauman. Petinggi militer Yogya dan Jateng pun hadir dalam rapat akbar itu. Dalam rapat akbar itu, semua elemen masyarakat, termasuk militer – seperti koor – mengeluarkan pernyataan bahwa kegiatan PKI, Baperki, dan ormas-ormas terlarang yang terafiliasi dengan paham komunisme dibekukan.
Yel-yel “Bubarkan PKI” membahana di alun-alun utara. Saat itu, Danrem 072 Pamungkas juga mengumumkan, di wilayah kekuasaannya, PKI dan ormas-ormasnya dibekukan. Sampai waktu tak terbatas.
Apakah PKI tiarap setelah kuburan Katamso dan Sugiono ditemukan? Tidak. Apakah teror Pemuda Rakyat mengendur setelah rapat akbar dan Danrem 072 mengumumkan pembubaran PKI? Tidak juga.
PKI masih kuat. Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno, belum membubarkannya. Di Yogya, seperti dituturkan Burhanuddin, ketua Faki (Forum Antikomunis Indonesia), tiap hari PKI masih terus melakukan demo. Pemuda Rakyat dengan kaos hitam bergambar kalajengking masih melakukan teror di mana-mana. Terutama di pinggiran kota Yogya seperti Godean, Minggir, Kota Gede, dan Sleman.
Perlu diketahui saat itu PKI adalah mayoritas di Yogya. Hanya tujuh kampung saja yang penduduknya mayoritas Islam. Yaitu Kampung Suronatan, Notoprajan, Kauman, Pakualaman, Karangkajen, Kadipaten Kulon, dan Nitikan. Yang lainnya, dikuasai PKI. Adapun konsentrasi PKI terbesar (penduduknya hampir 100 persen PKI) adalah Sendowo, Kricak, Terban, dan Karang Waru. Hampir seluruh pinggiran Yogya Selatan dan Utara, juga dikuasai PKI.
Kondisi inilah yang menyebabkan PKI lama bercokol di Yogya. Meski Jenderal Soeharto sudah mengumumkan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, 12 Maret 1966 — sehari setelah ia menerima Supersemar — tapi di Yogya, hal itu tak terlalu berpengaruh.
Hampir tiap hari, pawai kader-kader PKI masih terus berlangsung. Sepanjang tahun 1965 sampai tahun 1966, PKI masih terus mengadakan perlawanan. Aktivitas PKI baru benar-benar hilang di Yogya pada tahun 1967.