Kamis, April 25, 2024

Don Quixote (Volume II): Ujian Hidup Kesatria

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Miquel de Cervantes menerbitkan volume II Don Quixote pada tahun 1615, sepuluh tahun setelah jilid pertama. Penting untuk dipahami bahwa ini adalah sekuel, bukan bagian dari konsep aslinya.

Bagi novelis, sebuah novel adalah sebuah pengalaman sekaligus sebuah produk, dan bagian dari pengalaman tersebut adalah keadaan pasca penerbitan novel tersebut serta pemikiran lebih lanjut  perasaan sang novelis tentang karakter dan situasi.  Setelah publikasi, dunia berbicara kembali kepada novelis tentang apa yang pernah menjadi pemikiran pribadinya. Dalam kasus Cervantes, dia jelas terinspirasi dalam beberapa cara oleh resepsi publik terhadap Don Quixote. Kritikus modern tampaknya sangat menghargai kecemerlangan “metafiksi” Cervantes—gabungan tanggapan Quixote terhadap volume I yang diduga ditulis oleh Sidi Hamid Benengeli serta tanggapannya terhadap volume II yang palsu, ditulis  oleh plagiator (literary pirate) dan diterbitkan pasca wafatnya Cervantes.

Novel ini menggambarkan Italo Calvino atau Robert Coover. Ketika Milan Kundera berkata bahwa “Don Quixote adalah novel yang akan dijawab oleh semua novel masa depan” mungkin ada benarnya. Novel tampak sangat postmodern karena ia secara bersamaan mengacu pada diri sendiri dan menyenangkan. Namun, pencapaian Cervantes lebih pada menyusun premis yang sederhana dan brilian, bahwa pembaca novel telah menjadi pahlawan sebuah novel dan mengikuti pesannya. Ketika seorang pengarang memprediksi masa depan dengan cara yang luar biasa, itu bukan karena dia menantikan kita melihatnya ke belakang, tetapi karena dia memahami struktur dari beberapa aspek dari posisi tinggalnya dan mahir membuat ramalan (extrapolation).

Volume kedua dari Don Quixote berkisah ketika Quixote, seusai pulih dari luka-lukanya, memutuskan untuk memulai perjalanan ketiga. Dia membujuk Sancho untuk berangkat bersamanya. Cervantes memperkenalkan beberapa karakter baru yang signifikan, yang paling penting adalah Samson Carrasco. Ia seorang penduduk desa dan pemuda terpelajar karena lulusan Universitas Salamanca. Dialah yang memberi tahu Quixote tentang popularitas si kesatria itu. Diam-diam ia memutuskan untuk menyembuhkan Quixote dari kegilaannya. Bagaimana dia memikirkan kegilaan dan memperlakukan Don Quixote adalah tema novel yang konsisten, dan memberikan alur cerita yang lebih tegas dan canggih daripada petualangan di volume pertama.

Don Quixote dan Sancho semakin jauh meninggalkan rumah dibandingkan volume pertama. Petualangan mereka memiliki nuansa metafisik. Suatu hari Quixote mengutus Sancho untuk menyampaikan hasrat cintanya ke Dulcinea. Sancho pulang ke desanya namun tidak berhasil menjumpai Dulcinea. Ketika kembali, dia berbohong dengan mengatakan telah menemui Dulcinea.  Ketika mereka berdua berkunjung ke desanya untuk menemui Dulcinea, Sancho, menutupi fakta bahwa dia tidak mengenal seperti apa Dulcinea (dan Don Quixote juga tidak tahu), mengidentifikasi Dulcinea sebagai salah satu dari tiga gadis petani yang mereka temui saat mendekati desa. Don Quixote kecewa dan kesal dengan sifat kasar gadis itu. Tapi dia sudah terpesona dengan si gadis dan sepanjang novel dipenuhi dengan semangatnya mencarinya sumber kecantikan gadis tersebut.

Bagian terpanjang dari volume II ini adalah terkait siksaan yang dialami Don Quixote oleh duke (bangsawan laki-laki) dan duchess (bangsawan perempuan) saat dia dan Sancho berburu di hutan. Pasangan bangsawan itu juga hadir di volume pertama cerita Don Quixote. Setelah menyadari siapa Don Quixote, mereka bersiasat untuk menjadikannya dan Sancho sebagai objek serangkaian lelucon teatrikal yang rumit. Di akhir episode duke dan duchess, baik Quixote maupun Sancho telah berubah. Sancho tidak lagi tertarik pada tunjangan pemerintah dan ingin kembali ke desa dan keluarganya. Sementara Don Quixote telah kehilangan sebagian semangat dan energinya. Tidak lama kemudian, dia dikecewakan oleh seorang kesatria dan dipaksa untuk mengakui kecantikan istri sang kesatria itu, yang menurutnya sangat mengecewakan.  Quixote kembali ke rumah. Dia punya rencana lain, tetapi segera jatuh sakit. Saat kewarasannya pulih kembali, dia menulis surat wasiatnya dan meninggal.

Di volume pertama, petualangan Quixote adalah ekspresi murni dari delusinya, sebagai misal, dia salah mengira kincir angin sebagai raksasa dan penginapan sebagai kastel. Orang-orang yang ditemuinya memiliki reaksi sederhana terhadap tindakan delusinya; mereka membela diri dengan melawan kekuatan yang lebih besar atau lebih kecil. Narator menceritakan dan pembaca menyaksikan petualangannya. Pada volume II ini, interpenetrasi sudut pandang jauh lebih kompleks. Pertama-tama, Sancho dan Quixote menjadi sadar diri dengan mengetahui bahwa tidak hanya satu tetapi dua buku telah ditulis tentang mereka (satu benar dan satu lagi keliru) sehingga menjadikan mereka lebih waspada tidak hanya terhadap apa yang mereka lakukan tetapi juga pada apakah orang-orang yang telah mereka  temui pernah mendengar tentang mereka. Sering kali orang yang mereka temui pernah mendengar tentang mereka, yang menambahkan lapisan kesadaran lain pada narasinya.

Beberapa dari mereka yang ditemui—tidak hanya duke dan duchess—ingin memanfaatkan mereka sehingga pembaca dapat menyaksikan lebih lanjut pengungkapan karakter mereka (yang dalam kedua kasus tersebut diambil dari sumber sastra; Don Quixote terus-menerus merujuk pada buku-bukunya tentang  kesatria dan Sancho selalu melontarkan peribahasa dan mengatur tindakan dan pikirannya ke dalam kerangka acuan yang umum dan tradisional). Petualangan di volume kedua lebih banyak namun kurang luas, dan sebagian besar terjadi di antara orang-orang berkelas dibandingkan pengemudi keledai dan pemilik penginapan seperti di volume pertama. Konsekuensinya, interpretasi mendapatkan penekanan lebih besar, sementara penekanan yang lebih kecil justru pada tindakan.  Volume kedua jauh lebih sarat sastra daripada yang pertama.

Selain itu, Cervantes lebih canggih dilihat dari caranya menyisipkan kisahnya. Dia masih saja tertarik, misalnya, pada rayuan dan posisi gadis dan wanita di Spanyol dan Moor. Tetapi alih-alih meninabobokan Don Quixote agar dongeng dapat diceritakan, dia memasukkannya ke dalam petualangan Don Quixote atau  ke dalam trik yang dimainkan kepadanya. Pengaang mengetahui protagonisnya lebih baik dan lebih mampu menggambarkan reaksinya.  Protagonisnya juga lebih kompleks. Don Quixote dan Sancho banyak berdiskusi di volume kedua. Ini tidak bisa tidak memperkaya perasaan pembaca tentang siapa dan apa Don Quixote dan Sancho dan membekali pengarang dengan wawasan yang lebih menyeluruh tentang karakternya; salah satu keajaiban novel ini adalah cara karakter dikembangkan dan diungkapkan pada  waktu yang sama. Itulah ilusi keutuhan—rangkaian kata/gambaran menunjukkan apa yang sudah ada dalam diri seorang tokoh, padahal hal-hal yang seolah-olah ditunjukkan itu sebenarnya adalah ide-ide yang barangkali tidak pernah terpikirkan oleh pengarang sebelumnya.

Jika di volume pertama Cervantes terkadang melangkah canggung dari The Heptameron dan Lazarillo de Tormes menuju volume kedua, maka volume kedua melampui volume pertama menuju novel modern. Di sini setiap episode mengisi psikologi karakter sehingga pembaca mulai merasakan apa yang dibicarakan Forster dalam Aspects of the Novel bahwa pengetahuan pengarang tentang karakter yang diciptakannya melebihi wawasannya tentang orang-orang nyata mana pun.

Don Quixote dan Sancho adalah karakter yang dicintai justru karena mereka tidak sempurna. Sukar dinilai apakah Quixote bijak atau gila dan apakah Sancho cerdas atau bodoh.  Penampilan, bakat serta keadaan pikiran mereka berada di bawah kualitas moral mereka. Mereka baik hati, jujur, suci, dan penuh kasih sayang satu sama lain. Mereka memiliki suasana hati, niat, dan keinginan.

Dalam volume kedua, mereka mencapai kedalaman karakter baik dalam pengertian sastra—kompleksitas—dan dalam penggunaan istilah umum —integritas. Mereka diuji oleh kejadian, diuji oleh orang yang mereka temui, diuji oleh satu sama lain. Alur yang lebih terintegrasi dan tidak terlalu episodik telah melibatkan Quixote dan Sancho ke dalam dunia yang cukup jauh dari pembaca. Karena itu, kita merasa dekat dengan mereka, sebagian karena kita adalah satu-satunya saksi untuk semua yang terjadi pada mereka.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.