Kamis, Maret 28, 2024

Don Quixote (Volume I): Garis Hidup Kesatria

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Don Quixote volume I diterbitkan pada 1605, sekitar tahun setelah The Heptameron, Gargantua and Pantagruel (1532-1564) dan Lazarillo de Tormes. Banyak kritikus bersepakat bahwa Don Quixote adalah novel modern pertama. Tetapi perlu juga dicermati bahwa Don Quixote volume I ini menjadi modern sebagai wakil karya-karya pertengahan abad ke-16 bukan dalam pemahaman yang dimengerti secara umum.

Kisah Don Quixote adalah tentang seorang pria miskin yang sopan namun tertipu karena terlalu banyak membaca roman kesatria murahan. Ia mengambil pedang, perisai, dan helm lalu meninggalkan rumahnya dengan Rocinante (seekor kuda tua) guna melakoni hidup sebagai ksatria. Dia mempekerjakan seorang squire (kesatria junior) bernama Sancho Panza buat membantunya. Dia mengabdikan dirinya untuk seorang gadis tempatan (namun tidak pernah berbicara kepadanya), yang dinamainya Dulcinea. Dia terlibat konflik dan salah paham dengan banyak pihak; penunggang keledai, penggembala kambing, penjaga penginapan, pecinta yang tragis, pendeta, polisi, dan pengembara. Cerita ini menegaskan bagaimana gambaran masyarakat Spanyol di bawah pemerintahan Raja Philip III adalah cerita mengenai dunia ratu dan kastel serta kesatria dan pesonanya.

Miguel de Cervantes, si pengarang, menggunakan delusi dengan beberapa cara. Sejumlah bagian terbaik dari novel ini adalah percakapannya dengan Sancho Panza, saat Sancho berupaya untuk mengoreksi Quixote dari ilusinya yang terobsesi tentang keunggulan mereka. Quixote sering mengalami cedera dan acapkali diejek dalam perjuangannya sebagai seorang ksatria. Dia pernah jatuh dari kuda dan dipukuli bertubi-tubi. Beberapa kali ia terlibat dalam pertempuran dan menjadi tontonan atau hiburan teman-temannya. Ia pada akhirnya memenangkan kepercayaan Sancho, bukan karena Sancho percaya kepada dunia romantis Quixote tetapi karena Sancho menyukai tuannya. Ia memilih untuk membela Quixote di atas keraguan orang lain. Ketika keduanya akhirnya kembali ke desa masing-masing dan Sancho bertemu istrinya, dia memadamkan keraguan istrinya (sebagian lewat ancaman tentang kekuatan perkawinan) dan berjanji kepada istrinya bahwa Don Quixote telah membuatnya bangga.

Kisah Don Quixote dan perjalanan Sancho Panza juga berfungsi sebagai bingkai untuk beberapa kisah lain, termasuk perjumpaan mereka dengan para pelancong di banyak tempat. Kisah-kisah ini memiliki kemiripan yang relatif mencolok dibandingkan cerita-cerita yang ditemui pada The Decameron dan The Heptameron. Don Quixote volume I ini bukanlah novel modern dalam makna bahwa ia menggambarkan transformasi unik dan signifikan dari kondisi mental protagonisnya. Quixote tertipu begitu meninggalkan rumah dan tertipu kembali setelah pulang ke rumah. Yang mungkin berbeda adalah minat dan simpati pembaca kepadanya. Sebagai pengarang, Cervantes relatif berhati-hati dalam menyeimbangkan suasana komik, cerita kepiluan, dan kisah keagungan demi memberikan ruang komentar tentang protagonisnya melalui dialog karakter-karakternya.

Empat kisah—Kisah Marcela; kisah Cardenio, Don Fernando, dan Dorotea; Kisah Anselmo, Lothario, dan Camila; dan Kisah Wanita Berkerudung—berhubungan dengan banyak tema yang sama dan beberapa ide alur yang juga sama seperti kisah-kisah dalam koleksi Marguerite de Navarre.

Sebagaimana dalam The Heptameron, semuanya menyangkut bagaimana seorang wanita cantik seharusnya menegosiasikan hak-hak dan kewajibannya di dunia para pemerkosa dan penggoda. Marcela menghadirkan suasana ketika dia menyatakan bahwa kematian kekasihnya, Grisóstomo, adalah kesalahannya sendiri. Dia enggan disalahkan karena kurangnya belas kasihan. Dia secara terbuka menyatakan kemerdekaan finansial dan emosional dari dunia laki-laki. Dan kecantikannya, yang telah membuat kekasihnya terpikat kepadanya, bukanlah kesalahannya tetapi karunia Tuhan. Tak lama kemudian Marcela, Don Quixote dan Sancho bertemu dengan Cardenio—seseorang yang baru saja ditinggalkan dan dikhianati tunangannya Luscinda demi Don Fernando yang nyatanya adalah konco erat Cardenio sendiri. Tak lama setelah Cardenio menceritakan kisahnya, Don Quixote dan Sancho bertemu dengan seorang wanita yang menyamar sebagai seorang pria (ketahuan ketika rambut pirangnya menyentuh tanah). Ia mengutarakan kisah dukanya karena dikhianati. Wanita ini rupanya adalah korban rayuan dan ditinggalkan tunangannya, Don Fernando. Tidak lama setelah itu, sekelompok orang bertemu Don Fernando dan Luscinda yang dilanda kesedihan, yang baru saja dicegah dari bunuh diri.

Luscinda dan Cardenio bersatu kembali, sementara Don Fernando bertobat dan kembali dengan Doretea. Semuanya mendengar kisah Anselmo yang menikah dengan Camila, yang membujuk sahabatnya Lothario untuk menarik cintanya kepada kekasihnya sekadar untuk menguji wanita yang dicintainya itu. Ini agak mirip dengan kisah terakhir dari The Decameron, saat Gualtieri menguji kecintaan istrinya Griselda dengan cara-cara yang tampak kejam demi membuktikan kebenaran sumpah perkawinannya. Hal yang sama juga tampak pada uraian Kisah 47 (Tale 47) dalam The Heptameron. Di sini si suami diganggu oleh teman-temannya di masa kecil yang menyebut bahwa istri barunya dan temannya lamanya adalah sepasang kekasih. Sementara Kisah Wanita Berkerudung—putri seorang Moor yang kaya-raya, Haji Murad—merekayasa penculikannya sendiri sehingga dia bisa pergi bebas ke Spanyol dan menjadi seorang Kristen. Ini juga mengingatkan pada nuansa pan-Mediterania dari beberapa kisah Boccaccio di mana orang-orang Kristen dan Muslim melakukan perjalanan antara Eropa dan Dunia Islam disebabkan peperangan, pembajakan, dan perdagangan.

Agaknya kerangka Cervantes tidak bekerja dengan baik ketika ia memperkenalkan kisah-kisah ini. Dia membuat Don Quixote ‘tidur’ dan membiarkan karakter lain mengambil alih untuk sementara waktu. Baik Quixote maupun Sancho tak memiliki banyak hal untuk ditawarkan dalam menganalisis tema cinta ini, karena Sancho adalah seorang petani dan Quixote tidak pernah memiliki hubungan dengan seorang wanita. Kisah-kisah ini sendiri menunjukkan bahwa masalah yang diangkat dalam kisah-kisah Prancis tidak bisa diselesaikan lima puluh tahun kemudian pada kisah-kisah Spanyol, meskipun waktu telah berubah sejak era Boccaccio—ada momen dalam kisah Anselmo dan Lothario di mana pembaca dapat membayangkan Boccaccio mengakhiri kisahnya dengan tawa, persis ketika Anselmo dan Lothario menikmati Camila. Boccaccio menganggap cuckolding (suami yang memiliki istri tak setia) sebagai hukuman yang adil atas ketidakpercayaan Anselmo dan kekasih yang penuh perhatian sebagai hadiah yang sama adilnya atas perlawanan awal Camila.

Ketika, dalam kisah sebelumnya, Don Fernando sadar dan menerima Dorotea sebagai istrinya, pembaca bisa menilai komentar pro dan kontra teman-teman Marguerite atas hak dan kewajiban Don Fernando sebagai bangsawan penuh semangat yang menentang arah tindakan Dorotea setelah kehilangan sisi baiknya, atas kegagalan Luscinda untuk melakukan aksi bunuh diri yang telah dijanjikannya, dan atas kegagalan Cardenio untuk balas dendam pada temannya. Secara khusus, psikologi balas dendam Don Fernando terbaca jelas oleh para pengkritik Marguerie dibandingkan pembaca. Fernando tidak mengalami perubahan karakter. Hanya saja mereka mengingatkannya pada aturan dan kewajiban kelas sosialnya. Seusai itu dia melakoni perannya sebagai dermawan bagi beberapa karakter yang membutuhkan bantuan uang, termasuk Don Quixote yang menolak untuk membayar tagihannya di penginapan karena hematnya tak ada dalam kamus bahwa seorang ksatria membayar tagihan.

Sulit untuk mengatakan apa yang dianggap “modern” dalam Don Quixote volume I ini, kecuali nilai-nilai kesusastraan ala Cervantes sendiri; membenturkan kebohongan kisah roman ksatria yang popular terhadap karya-karya yang lebih mencerahkan dari pengarang kontemporer yang serius. Ini tampak, misalnya, manakala ia membela adanya diskusi antara dua pendeta yang menemani Quixote di desa asalnya. Tapi premis utama Cervantes—gagasan mengenai seorang pria yang mencoba menjalani hidup sebagai ksatria di Spanyol di zaman Cervantes—adalah ide sederhana dan cemerlang yang mengungkapkan betapa berbedanya Cervantes sendiri dan zamannya dibandingkan periode Abad Pertengahan.

Selain itu, Don Quixote adalah contoh yang baik tentang cara terbaik untuk menulis novel—Cervantes tegak di atas premisnya yang sederhana dan konsisten mengikuti alur logisnya. Banyak karya brilian menggambarkan bagaimana meraih dan menjalani kesederhanaan adalah upaya yang cerdas, sebagai misal The Metamorfosis karya Franz Kafka (seorang pria berubah menjadi serangga) atau Christmas Carol oleh Charles Dickens (seorang pria tua yang kikir dikunjungi oleh mimpi masa lalunya, masa kini, dan masa depan). Banyak cerita-cerita besar hadir dengan konsep yang mudah dipahami. Ia menyuguhkan pelbagai kemungkinan sehingga mendorong pengarang membuka diri dan mengeksplorasi ide, karakter, tema, dan bahkan gaya, seperti yang dilakukan Miguel de Cervantes dengan kisah-kisahnya.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.