Bulu kuduk siapa pun akan berdiri usai mencermati draft RUU Pertembakauan yang kini beredar. Membayangkan konsekuensi dari pasal-pasal yang termuat di dalamnya ihwal nasib bangsa ini ke depan, kita benar-benar tak habis pikir dengan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang mengajukannya. Jelas mereka bertindak sebagai wakil industri rokok, bukan wakil rakyat sama sekali.
Pada Pasal 3 (Tujuan), tujuan pertama adalah meningkatkan produksi tembakau, kemudian meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Setelah menyatakan tujuan mengembangkan industri dan meningkatkan pendapatan negara, baru kemudian muncul tujuan melindungi kesehatan masyarakat di posisi terakhir.
Bagaimanapun, orang sangat mungkin membacanya sebagai prioritas. Produksi tembakau, yang dinyatakan dilakukan oleh petani tembakau nasional, adalah prioritas tertinggi. Tapi betulkah begitu? Melihat keseluruhan pasal-pasal lain, kita akan segera mengetahui bahwa kepentingan petani di situ hanyalah pajangan belaka. Demikian juga tujuan-tujuan lainnya, kecuali tujuan mengembangkan industri!
Dalam Bab 5, Pasal 12-16 tentang distribusi, mengemukakan bahwa distribusi dimaksudkan untuk membela kepentingan petani dan pelaku usaha. Namun di situ tak ada pembatasan impor sama sekali. Padahal, kenaikan tembakau impor sangat cepat terjadi beberapa tahun belakangan. Kini bahkan mayoritas tembakau yang dipergunakan untuk produksi rokok Indonesia berasal dari negara lain.
Juga sama sekali tak ada pengutamaan pembelian tembakau lokal. Memang, di Pasal 20 muncul pernyataan bahwa kandungan tembakau lokal minimal 80% dan impor maksimal 20% di setiap produk. Tetapi, itu adalah pasal yang ompong, lantaran tak ada sanksi bila pelaku usaha melanggar ketentuan ini. Mencermati Bab X Pasal 51-56 yang mengatur sanksi akan menunjukkan hal itu secara gamblang.
Pasal yang mengatur Peringatan Kesehatan, yaitu Pasal 26, mengembalikan Indonesia ke masa lampau, benar-benar menjadi pariah dalam pengendalian dampak negatif rokok di seluruh dunia. Pasal tersebut mengusulkan peringatan kesehatan tertulis, bukan peringatan bergambar. Besar hurufnya hanya 5 milimeter, dan tak ada lagi pengaturan lainnya yang substansial. Padahal, seluruh dunia bukan saja bergerak ke arah peringatan bergambar—karena berbagai riset menunjukkan keampuhan gambar untuk mencegah orang mulai merokok—melainkan hingga penyeragaman bungkus rokok (plain packaging).
Bagaimana dengan pengaturan iklan, promosi, dan sponsor? Pasal 36 mengaturnya dengan sangat mengambang, yaitu “…jumlah terbatas dan waktu tertentu.” Seberapa banyak jumlah itu dan kapan waktunya, tak ada penjelasan lebih lanjut. Iklan dan promosi yang menggunakan mereka yang di bawah usia 18 tahun memang dilarang dengan ancaman sanksi, namun jelas tak perlu pengiklan atau promotor sebaya untuk tetap bisa menarik perhatian anak-anak di bawah umur untuk mulai mencoba merokok.
Selama paparan iklan dan promosi merajalela, selama itu pula anak-anak terbujuk untuk mencoba merokok. Demikian juga dengan sponsor, yang dilarang untuk kegiatan mereka yang di bawah 18 tahun. Tetapi, apakah mata anak-anak terlindungi dari kegiatan itu?
Kemunduran besar juga ditunjukkan pada Pasal 41 tentang Kawasan Tanpa Asap Rokok. “Asap” adalah kata kuncinya. Di tempat-tempat yang disebutkan di situ asap rokok memang dilarang. Tapi kegiatan penjualan, iklan, promosi, dan sebagainya sama sekali tidak dilarang.
Jadi, kalau pasal tersebut diterapkan, kita mungkin saja akan melihat rokok dijual atau diiklankan di rumah sakit dan sekolah. Lebih gila lagi, tak ada sama sekali sanksi bagi siapa pun yang melanggar aturan tersebut. Baik pengelola gedung maupun orang yang merokok sembarangan akan melenggang dari konsekuensi apa pun. Ketika ancaman sanksi tak ada—atau ada ancaman namun tiada penegakan—tentu pelanggaran akan marak.
Sementara itu, berbagai pelanggaran lainnya mendapatkan sanksi sangat ringan. Di Pasal 51, misalnya, menjual rokok kepada anak-anak hanya diganjar hukuman paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10 juta. Karena ketentuannya maksimal, tak salah bila nantinya hakim memutuskan bahwa pelakunya dihukum 1 detik dan/atau didenda Rp 10 ribu.
Kita tahu potensi pelanggaran atas ketentuan penjualan rokok terhadap anak-anak sangat tinggi. Hingga kini hampir tak ada penjual rokok yang memenuhi ketentuan pembatasan umur penjualan. Kalau ketahuan menjual rokok kepada anak-anak, lalu diprotes masyarakat yang peduli, mereka dengan mudah bilang bahwa si anak mengaku membelinya untuk orang tuanya.
Dengan segala ketentuan yang condong kepada kepentingan industri, kita akan melihat konsumsi rokok meroket di negeri ini. Ini akan membuat generasi yang bukan saja status kesehatannya memburuk dan produktivitasnya menurun, tapi juga secara agregat akan membuat bencana demografis.
Kita sedang berada pada ambang sebuah periode bernama bonus demografi, di mana penduduk usia produktif kita menjadi besar, melampaui yang tidak produktif. Namun, bonus tersebut benar-benar terancam menjadi bencana bila penduduk di usia produktif itu malah digerogoti produktivitasnya oleh masalah kesehatan dan pengeluaran yang menurunkan kemampuan belanja barang dan jasa yang lebih esensial.
RUU tersebut juga membebani pekerja pabrik rokok. Tak ada sama sekali pasal yang memberikan perlindungan kepada mereka dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan rokok. Kita tahu sejak tahun 2008 jumlah pekerja perusahaan rokok terus menurun. Bukan karena pengetatan regulasi soal rokok, apalagi konvensi pengendalian tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC)—yang tak kunjung kita ratifikasi—melainkan karena industri rokok terus saja melakukan mekanisasi, menggantikan tenaga kerja dengan mesin.
Ini terlihat dari terus naiknya proporsi produksi sigaret kretek mesin dibandingkan dengan produksi yang lain. Karena persaingan dengan mesin juga, para pekerja industri rokok tetap berada pada kasta terbawah para pekerja di Indonesia dalam urusan upah. Banyak pekerja pabrik rokok yang hingga kini diupah di bawah upah minimum regional (UMR).
Setelah menyengsarakan petani, konsumen, dan pekerja, RUU juga bakal membuat bangkrut pemerintah kita. Beban rehabilitasi mereka yang sakit dirancang untuk ditanggung oleh pemerintah, seperti bisa dilihat di Pasal 45. Padahal, sebagaimana dibeberkan dalam penelitian Dr Soewarta Kosen (2015), ketika di tahun 2013 industri rokok membayar pajak Rp 26 triliun dan konsumennya membayar Rp 103 triliun cukai—yang merupakan denda karena suatu produk memiliki dampak negatif—pada saat yang sama total biaya yang timbul akibat masalah kesehatan saja melampaui Rp 387 triliun!
Belum lagi kalau biaya kerusakan sosial dan lingkungan juga dihitung dengan seksama. Seluruh biaya itu akan menjadi beban pemerintah. Semakin banyak rokok diproduksi dan dikonsumsi, semakin besar pula biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat.
Akankah kita membiarkan Indonesia menjadi asbak raksasa tempat puntung rokok dibuang oleh industri rokok yang sekitar 45% pangsa pasarnya kini dikuasai perusahaan asing?
Pemerintahan Yudhoyono dulu pernah menjanjikan lewat Roadmap Industri Hasil Tembakau bahwa mulai tahun 2015-2025 produksi rokok di Indonesia akan dipatok sebesar 260 miliar batang, dan kesehatan akan menjadi perhatian utama. Produksi rokok di tahun 2014 dilaporkan sudah mencapai 362 miliar batang, atau 102 miliar batang di atas yang dijanjikan. Pemerintah SBY gagal memenuhi janjinya.
Jelas RUU yang kini digodok DPR akan terus meningkatkan produksi. Kalau ini dibiarkan, janji soal produksi dan perhatian terhadap kesehatan akan teringkari. Akankah pemerintahan Joko Widodo menyetujui pengkhianatan segelintir anggota DPR terhadap rakyat Indonesia, khususnya generasi mendatang, melalui RUU yang hanya melayani kepentingan industri?
Kalau setuju, berarti Jokowi setali tiga uang dengan mereka yang mengajukan RUU tersebut.