Kekuasaan memang selalu berkelindan dengan penyalahgunaan. Semakin besar kekuasaan, potensi penyalahgunaan juga semakin besar (Lord Acton). Dalam konteks tertentu, yang terjadi tidak hanya penyalahgunaan kekuasaan,tetapi juga bertindak di luar kekuasaan dan menyalahgunakannya.
Kasus dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto bisa dielaborasi dalam konteks tersebut. Dugaan ini dituding tidak selaras atau bahkan bertentangan dengan fungsi dan tugas DPR, khususnya pimpinan DPR.
Praktik korupsi di kalangan anggota DPR seolah telah menjadi tabiat, kebiasaan, tidak hanya sebagai tindakan individu tetapi juga sudah mengarah pada tindakan yang dilakukan dan dimaklumi secara bersama-sama. Dimensinya juga beragam, mulai yang terkait dengan fungsi DPR hingga praktik yang berada di luar fungsi tersebut.
Pertama, korupsi dalam konteks fungsi anggaran. Modus korupsi jenis ini adalah yang paling sering dan rentan dilakukan karena sifatnya yang berulang (periodik), di mana setiap tahun telah menjadi rutinitas untuk melakukan pembahasan anggaran dengan pemerintah. Hal ini bisa dilacak dalam beberapa kasus korupsi terkait alokasi dana tertentu yang berujung pidana. Misalnya dalam korupsi pengadaan barang dan jasa. Setelah ditelusuri ternyata tidak hanya proses pengadaannya yang bermasalah, tetapi juga telah direncanakan sejak pembahasan anggaran di DPR.
Politik alokasi telah menjadi sasaran empuk bagi anggota DPR untuk melakukan tawar menawar terhadap instansi tertentu guna mendapatkan keuntungan pribadi. Oleh Mahkamah Konstitusi (MK), peluang korupsi ini kemudian dilihat sebagai ancaman bagi efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran negara.
Maka, dalam salah satu putusannya, MK telah menetapkan pembatasan terhadap fungsi anggaran DPR. Pembatasan ini menyatakan bahwa kewenangan DPR terkait pembahasan anggaran yang sifatnya sangat rinci (satuan tiga) tidak lagi diterjemahkan sebagai bagian fungsi anggaran DPR.
Kedua, korupsi dalam konteks legislasi. Sudah menjadi praktik lazim bahwa pembahasan sebuah undang-undang sarat dengan kepentingan, baik yang bersifat ekonomi ataupun politik. Terhadap undang-undang yang berdimensi ekonomi atau memiliki dampak terhadap sumber daya ekonomi, misalnya, praktik suap-menyuap biasanya menjadi modus yang umum.
Dalam konteks politik, penggunaan instrumen legislasi memang tidak berdimensi suap tetapi ditujukan untuk mengkooptasi sistem/kelembagaan tertentu yang memungkinkan praktik korupsi leluasa terjadi. Misalnya revisi terhadap undang-undang yang ditujukan untuk memutilasi kewenangan lembaga penegakan hukum dan antikorupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, dan seterusnya).
Ketiga, korupsi dalam konteks pengawasan. Seperti halnya dalam hal fungsi legislasi, korupsi di sektor pengawasan setidaknya juga berdimensi motif ekonomi (suap) dan politik. Pengawasan DPR kerap berujung suap, salah satunya ketika DPR diberi wewenang untuk memilih anggota lembaga negara/komisi negara. Misalnya kasus suap dalam pemilihan deputi gubernur bank sentral yang banyak menyeret anggota DPR ke penjara.
Hal sebaliknya juga mungkin terjadi. Praktik suap tidak terjadi tetapi ada kesepakatan politik untuk memilih atau tidak memilih individu tertentu dengan tujuan menguntungkan kelompok tertentu. Dalam dimensi yang lain (politik), pengawasan atas kinerja pemerintah juga mengalami bias fungsi. Misalnya ketika instrumen panitia khusus (pansus) dibentuk, namun selalu berakhir antiklimaks. Bahkan dalam situasi tertentu pembentukan instrumen pengawasan sekali lagi hanya sebagai alat tawar menawar politik.
Dari ketiga fungsi di atas, apa yang dilakukan Setya Novanto memiliki dimensi yang justru berada di luar konteks fungsi DPR. Kuat dugaan bahwa ini terjadi karena peluang korupsi di tiga fungsi di atas semakin mengalami penyempitan, atau minimal “lapangan bermainnya” sudah dipenuhi oleh “pemain lain” dan semakin terbuka.
Tindakan Setya Novanto sebetulnya hanya satu dari sekian banyak perilaku anggota DPR yang tak terungkap ke permukaan. Praktik menggunakan pengaruh tertentu untuk kepentingan di luar jabatan dan tugasnya sebetulnya telah diatur dalam Kode Etik DPR.
Pasal 6 ayat (4) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR menyebutkan, “Anggota dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, sanak famili, dan golongan”. Sayangnya rumusan norma yang baik ini tidak diimbangi dengan kebijakan penegakan etiknya.
Di dalam peraturan DPR tidak ada pemilahan atau kategorisasi yang tegas terhadap pelanggaran yang diatur di dalam kode etik tersebut, apakah masuk dalam pelanggaran ringan, sedang, atau berat. Hal ini membuka peluang besar di internal DPR untuk mengurangi bobot pelanggaran, walaupun sebetulnya sudah mengarah pada tindak pidana.
Kelemahan penegakan etik ini berpotensi melokalisir kasus atau minimal mengurangi bobot hukumannya. Maka, pilihan terakhir hanya bisa ditumpangkan pada proses hukum pidana. Situasi ini tentu akan membawa penegak hukum berhadapan dengan kuatnya proteksi politik di DPR. Apalagi berhadapan dengan kelompok politik dengan suara mayoritas (pemenang pemilu).
Oleh karena itu, laju perburuan rente (saham) yang dilakukan DPR dengan menggunakan pengaruh jabatan harus diselesaikan melalui jalur hukum pidana. Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk dalam memerangi penyalahgunaan jabatan oleh pejabat publik, khususnya di DPR.