Senin, Oktober 7, 2024

Deddy Corbuzier Tidak Tahu, Monster Itu Bukan Testosteron

Ghina Ghaliya Quddus
Ghina Ghaliya Quddus
Wartawan media keuangan nasional yang berkantor di Jakarta, sehari-hari menulis isu sektor fiskal dan moneter.

Di bangku sekolah, ada satu ungkapan guru yang saya ingat betul: testosteron ada baik dalam tubuh lelaki maupun perempuan. Belakangan, testosteron diangkat dalam tayangan yang diunggah oleh pesulap yang beralih profesi menjadi presenter sekaligus kreator di Youtube: Deddy Corbuzier.

Selain salah mengucapkan “testosteron” menjadi “testoteron”, argumen Deddy Corbuzier soal hormon yang menurutnya hanya ada di tubuh lelaki ini patut kita tertawakan bersama. Meskipun dalam klip itu, bila Anda lihat baik-baik, Deddy menyelipkan disklaimer bahwa konten itu bukan konten hiburan.

Berbekal pengetahuannya tentang hormon “testoteron”, Deddy mencoba mengomentari nafsu dan moral lelaki dan hubungannya dengan bagaimana seharusnya perempuan berpakaian, tetapi ia gagal total. Bahkan sedari ide.

Sebagai argumen awal, dalam video itu, ia berujar, “Kalau saya sebagai pria dan saya diperkosa sama perempuan, saya akan nikmati. Kalau perempuan diperkosa, saya tidak yakin dia menikmati hal tersebut. Itulah gender.”

Kegagalan pertama, ia menggeneralisasi kasus perkosaan hanya berdasarkan gender. Ia enggan memberi perhatian kepada pria-pria yang diperkosa oleh perempuan dan tidak menikmatinya sama sekali. Inilah yang membuat argumen Deddy selanjutnya soal kekerasan seksual minim simpati, bahkan cenderung menyalahkan korban.

Deddy Corbuzier mungkin tidak tahu bahwa anak laki-laki dan pria dewasa menjadi korban seksual pada tingkat yang tinggi. Menurut MaleSurvivor, situs dukungan untuk lelaki yang mengalami pelecehan seksual saat anak-anak atau dewasa, setidaknya satu dari enam anak laki-laki mengalami pelecehan seksual di masa kecil dan satu empat pria mengalami beberapa bentuk trauma seksual dalam kehidupan mereka.

Adapun kebanyakan pelecehan seksual terhadap lelaki tidak selalu dilakukan oleh lelaki homoseksual. Situs ini menyebut bahwa itu sangat keliru. Pusat Perlindungan Anak Nasional Gunderson menyatakan, kekerasan adalah kekuasaan dan kontrol dan tidak pakem pada gender. Itu bisa dilakukan oleh siapa saja dengan orientasi seksual apa pun.

Korban laki-laki juga dapat dirusak oleh keengganan masyarakat untuk menerima fakta bahwa lelaki bisa menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Banyak lelaki yang menjadi korban mengungkapkan bahwa upaya mereka untuk melaporkan dipandang skeptis oleh penegak hukum, dokter, dan bahkan personel layanan sosial, terutama jika pelakunya adalah perempuan.

Junot Díaz, penulis pemenang Pulitzer, menulis tentang pemerkosaan anak-anak, penyakit mental, dan bunuh diri dalam artikelnya di The New Yorker berjudul “The Silence: The Legacy of Childhood Trauma”. Ia menyoroti kesulitan yang dihadapi para pria saat mereka menjadi korban pelecehan seksual.

Karya Díaz membahas masalah maskulinitas dan latar belakang Dominikan yang membuatnya diam atas pemerkosaan yang dihadapinya saat masih kecil. Dia menulis bahwa ada anggapan, “Pria Dominika sesungguhnya, bagaimanapun juga, tidak diperkosa.”

Argumen Deddy soal lelaki pasti menikmati saat diperkosa itu tak jauh berbeda dengan apa yang disinggung Díaz dalam tulisannya. Akibatnya, orang-orang yang menjadi korban kekerasan seksual menjadi bungkam dan trauma berkepanjangan. Argumen ini dangkal dan merusak.

Kegagalan kedua, dengan logika Deddy itu, maka perempuan yang tidak menikmati ketika diperkosa—tidak seperti lelaki—seharusnya tidak berpakaian minim. Bukan karena itu salah, kata Deddy, tapi karena pakaian minim lebih mudah dibuka. Tentunya oleh lelaki yang tidak punya moral, yang tidak bisa mengontrol nafsunya. Lebih berisiko.

Atas nafsu lelaki ini, Deddy juga berujar, “Kan Anda mengatakan baju-baju saya. Ini juga pikiran-pikiran saya. Kenapa kalian tidak mengerti? Karena perempuan tidak punya hormon TESTOTERON!”

Sungguh, ini gawat. Seolah-olah testosteron adalah sumber masalah, monster bermulut besar, dan manusia hanya bisa kocar-kacir agar tak masuk ke dalam mulutnya.

Pertama, Deddy tak paham bahwa harga diri seseorang tidak dinilai dengan cara berpakaian, baik itu perempuan maupun lelaki. Kedua, ia juga tak paham bahwa perempuan bukan barang yang terbuka atau tertutupnya tergantung orang lain. Itu hak mereka sendiri sebagai manusia.

Lagipula, tolok ukur tinggi atau rendah, berharga atau tidak berharganya manusia bukan di situ, melainkan kecerdasannya. Bagaimana ia bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi orang-orang di sekitarnya.

Ketiga, Deddy bilang bahwa nafsu itu boleh, tapi jangan lalu melecehkan dan melakukan perbuatan yang tidak menyenangakan. Orang yang tak bisa mengontrol nafsunya adalah orang yang tak bermoral.

Baik.

Namun, menyebut bahwa tidak salah bila Anda memiliki nafsu dalam konteks ini adalah dangkal. Mental memaklumi nafsu dalam konteks ini tidak boleh dipelihara. Sebagai orang yang opininya didengar oleh banyak khalayak, seharusnya Deddy Corbuzier membuat argumen yang lebih asertif.

Ya, semua orang punya nafsu, tetapi bukan berarti nafsu bisa menjadi tameng yang menjustifikasi pelecehan dan kekerasan seksual. Nafsu, testosteron, apapun itu bukanlah sebuah metafora. Ia memang bertanggung jawab untuk reproduksi, tetapi tidak untuk mendefinisikan maskulinitas dengan cara yang negatif.

Logika memaklumi nafsu itu kira-kira seperti, “Ya tak apa-apa, perempuan kalau pakai terbuka berarti pantas dilecehkan. Sialnya dia kalau ketemu pria yang tak bisa mengontrol nafsunya.”

Beberapa waktu lalu, di Belgia digelar pameran baju korban pemerkosaan. Di sana terpampang bahwa korban yang memakai baju panjang dan tertutup pun pernah merasakan kekerasan seksual. Apakah Deddy Corbuzier sengaja menutup mata bahwa perempuan bisa diperkosa dengan pakaian apa pun sehingga apa yang menimpa korban sama sekali bukan salah mereka sendiri?

Bagaimanapun, apa pun alasannya, seharusnya sebagai manusia Deddy paham bahwa korban tetap korban. Masak masih mau tetap menyalahkan korbannya?

Satu lagi, testosteron dimiliki semua orang. Bukan cuma pria. Dan bila pertanyaannya bisakah manusia mengontrol testosteron? Bisa. Selama hukum, kebiasaan, dan tradisi diarahkan pada kontrol sosial testosteron. Sayangnya, apa yang diungkapkan Deddy Corbuzier dalam videonya jauh dari solusi kontrol sosial itu.

Ghina Ghaliya Quddus
Ghina Ghaliya Quddus
Wartawan media keuangan nasional yang berkantor di Jakarta, sehari-hari menulis isu sektor fiskal dan moneter.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.