Sabtu, April 27, 2024

Debat Capres Ke-4: Pemahaman Usang Polugri dan Nasionalisme Semu Prabowo

Eva Kusuma Sundari
Eva Kusuma Sundari
Aktivis Perempuan, Anggota DPR RI.

Pak Prabowo memang tidak kelasnya melawan Pak Jokowi dalam adu gagasan. Pandangannya masih mengawang-awang, retoris dan lawas, sementara Pak Jokowi sangat maju dan taktis menyelesaikan masalah. Setelah gagal paham dengan unicorn dan istilah teknis lainnya terkait perkembangan teknologi, pengelolaan ekonomi, serta pelaksanaan birokrasi di debat kedua, dia kembali menunjukkannya di debat keempat Sabtu lalu (30/3).

Pandangannya tentang politik luar negeri (polugri) Indonesia yang masih terpaku pada pengembangan militer menunjukkan Pak Prabowo belum mengikuti perkembangan dunia internasional kiwari. Masih zaman old. Berhenti di era Perang Dingin ketika perang fisik masih menjadi isu arus utama dan hubungan internasional erat dengan adu kekuatan militer antar negara. Karena dunia saat itu masih terbagi ke dalam dua kutub besar atau bipolar.

Saat ini sudah tidak berlaku lagi. Dunia internasional sudah berubah. Setelah Perang Dingin usai pada awal 90-an, dunia berubah menjadi unipolar dengan dominasi Amerika Serikat yang dianggap sebagai negar sentral. Lalu, milenium kedua membawa kemajuan teknologi yang turut mengubah perekonomian dunia dan membentuk globalisasi. Negara-negara kekuatan ekonomi baru bertumbuhan, seperti Cina, India, Brazil, dan termasuk pula Indonesia sebagai anggota G-20. Struktur dunia menjadi multipolar.

Dalam struktur dunia yang multipolar, perang bukan lagi adu kekuatan alutsista. Melainkan, beralih ke perang dagang, perang terhadap terorisme, dan perang siber. Isu internasional di era ini juga sudah berkembang kepada lingkungan, kemanusiaan dan iklim yang di masa lampau dianggap sebagai low politics issues.

Perubahan mendasar tersebut, tidak lepas dari persoalan dunia saat ini yang meliputi kritisnya kondisi lingkungan dan iklim, massifnya bencana kemanusiaan di seluruh dunia, serta terlibatnya aktor-aktor non-negara atau aktor non-konvesional seperti NGO dan MNC dalam hubungan internasional.

Pak Jokowi memahami itu semua yang merupakan konteks internasional zaman now. Terbukti dari pandangannya dalam debat yang menyebut ekonomi, siber dan kemanusiaan sebagai unsur-unsur polugri Indonesia. Dan, memang selama 4,5 tahun ke belakang telah berhasil dilaksanakan. Seperti pemberlakuan tax amnesty yang mampu membawa banyak uang kembali masuk ke dalam negeri, keterlibatan Indonesia dalam penyelesaian konflik Rohingya dengan menekan pemerintah Myanmar segera menyelesaikan repatriasi di Cox’s Bazar untuk kembali lagi ke Rakhine State yang memberikan hasil.

Lalu membuat DILAN (Digital Melayani) untuk mempermudah pengurusan izin yang akan memberi citra baik bagi negeri ini di mata pelaku ekonomi internasional sehingga mereka tidak ragu berinvestasi di sini. Tentu saja investasi berbeda dengan membiarkan asing menguasai ekonomi Indonesia. Sebaliknya investasi penting untuk memajukan ekonomi negeri ini di tengah persaingan ekonomi global. Investasi bisa meningkatkan daya produksi, konsumsi serta menyerap tenaga kerja.

Keberhasilan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia tahun lalu telah membuat Indonesia memiliki citra baik sebagai negara tujuan investasi. Pengakuisisian Freeport bukan etok-etok atau palsu seperti tuduhan Pak Prabowo. Benar-benar untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi atas sumber daya alam milik negara. Potensinya membawa Rp80 triliun per tahun untuk APBN. 80 kali lipat dari sebelum akuisisi. Begini kok dibilang etok-etok. It’s business never done before.

Secara diplomasi, Indonesia di era Pak Jokowi telah mampu meredam dukungan negara-negara Asia Pasifik terhadap kemerdekaan Papua. Hanya menyisakan Fanuatu yang masih mendukung OPM. Juga, telah berhasil menjaga kedaulatan Natuna tanpa perlu teriak-teriak perang. Kini, kawasan tersebut sudah tidak lagi disebut Laut Cina Selatan, tapi Laut Natuna. Tanpa konflik seperti yang dilakukan Filipina ke Cina dalam memperebutkan klaim kedaulatan Laut Cina Selatan.

Akan tetapi, Pak Jokowi bukan lantas melupakan angkatan perang. Karena, angkatan perang masih tetap dibutuhkan sebagai benteng kedaulatan teritori. Makanya dia berkomitmen meningkatkan anggaran alutsista sampai 1,5 persen ke depannya. Di periode ini pun sudah ditingkatkan kok, sudah sekitar 1,1 persen dari GDP kita.

Tuduhan Pak Prabowo bahwa Indonesia dikangkangi Singapura soal pertahanan tidak benar. Pemerintah telah menguatkan kedaulatan ruang udara di seluruh wilayah negeri ini melalui Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara RI, termasuk merebut kedaulatan ruang udara di Kepulauan Riau dari Singapura.

 

Nasionalisme Semu Prabowo

Dalam debat malam itu, Pak Prabowo telah menegaskan pula karakternya sebagai pribadi yang emosional. Ia marah-marah dan melarang penonton debat tertawa. Satu hal yang tidak mungkin terjadi apabila ia memang punya watak santun. Toh, seorang pemimpin memang harus siap ditertawakan seperti halnya siap dikritik rakyatnya. Beda dengan Pak Jokowi yang suka tebar senyum dan berlaku menyenangkan rakyat.

Namun, yang paling memprihatinkan, adalah Pak Prabowo telah membuktikan bahwa selama ini nasionalismenya semu. Ia menyebut banyak uang negara ini dibawa ke luar negeri, tapi tidak sadar dirinya sendiri dan wakilnya Sandiaga Uno termasuk pelakunya. Mereka disebut dalam Panama Papers Paradise Papers. Nama Pak Prabowo juga tercatat dalam salah satu dokumen rilisan International Consorsium of Investigative Journalist (ICJI) yang menyebutnya pernah menjadi direktur dan wakil ketua Nusantara Energy Resources. Perusahaan itu terdaftar di Bermuda yang menjadi salah satu tempat suaka pajak dunia.

Nasionalisme macam opo iku, memarkir duit di luar negeri buat ngeles dari tanngung jawab bayar pajak. Pret. Semu. Kalau Pak Jokowi kan tidak punya rekam jejak semacam itu. Malah membuat tax amnesty untuk mengembalikan pajak negara yang dikemplang pengusaha-pengusaha nakal.

Komitmennya mempertahankan Pancasila pun masih sebatas moral, bukan praktik. Karena Pak Prabowo malah berdampingan dengan orang-orang dan kelompok yang berusaha merongrong Pancasila dari dalam, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dia biarkan bendera HTI berkibar waktu kampanye di Sulut. Padahal organisasi itu secara hukum telah dilarang.

Hal ini berbeda dengan Pak Jokowi yang telah mempraktikkan nasionalisme dengan membuat BPIP, Keppres pendidikan ideologi Pancasila, menetapkan 1 Juni sebagai hari kesaktian Pancasila, termasuk memperkuat peran santri dalam menjaga harmonisme agama dan Pancasila melalui bantuan ke pesantren dan penetapan Hari Santri Nasional.

Dari semua itu, bisa saya simpulkan kemampuan dan gagasan Pak Jokowi jauh di atas Pak Prabowo untuk negara ini. Nanti, di debat terakhir, saya yakin kita akan menyaksikannya lagi dan 17 April Jokowi-Ma’ruf akan menang.

Eva Kusuma Sundari
Eva Kusuma Sundari
Aktivis Perempuan, Anggota DPR RI.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.