Kami kira ketika dulu sempat menjadi bakal calon gubernur Sumatera Barat adalah sebuah langkah yang sangat halusinatif, seperti orang mengigau, mimpi di siang bolong. Tidak mungkin anak muda yang baru genap tiga puluh tahun menjadi gubernur orang-orang Sumbar yang mana banyak orang pintar dan rasional.
Namun setelah menonton debat Cagub Sumbar kemaren, saya merasa kalah halusinatif. Ternyata, diskusi teman-teman mahasiswa yang saya temui di Sumbar jauh lebih bermutu, lebih menguras otak.
Tidak ada tawaran yang benar-benar sesuai dengan masalah yang berada di depan batang hidung warga Sumatera Barat. Ibarat dokter, semuanya bawa obat, namun tanpa diagnosis yang jelas. Rasa-rasa dan suka-suka saja berbicaranya. Sakit jantung, ditawari obat kudis. Sakit jerawat batu, disuruh minum obat sakit kuning. Ini adalah awal dari malpraktek demokrasi. Banyak janji, tapi tidak terealisasi.
Yang akan rugi siapa? Ya, yang pasti adalah semua warga Sumatera Barat. Kita akan merasakan overdosis janji kampanye yang menimbulkan berbagai efek samping. Kami yakin banyak warga Sumbar yang kecewa dari debat semalam. Kecuali “tim hore”, pasti bilang “bapak hebat”, selalu, biar argonya jalan terus.
Kita bicara masalah bangkit dari Covid-19, tentunya jaminan sosial yang paling penting. Direct cash bagi masyarakat harus dilakukan sebaik-baiknya. Hanya langkah ini penyelamat ekonomi jangka pendek yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu, mempercepat belanja pemerintah, kemudian memastikan kualitasnya baik. Jangan sampai itu tidak terawasi dan banyak tindakan koruptif, apalagi sekarang jumlahnya berkurang sekitar 600 Milyar rupiah. Setiap sen harus dinikmati oleh warga Sumbar.
Daya beli harus kembali menguat segera. Percuma memberikan kredit macam-macam kalau daya beli tidak ada. Ini disebut dengan Keynesian Economics. “Negara tidak boleh berhemat” adalah prinsipnya. Dua tahun awal kepemimpinan, hanya ini langkah yang paling realistis dapat diambil oleh seorang Gubernur Sumatera Barat terpilih. Sekali lagi, sistemnya harus dipastikan berjalan baik.
Bapak-bapak ini akan memimpin dalam situasi yang sangat tidak ideal. Jadi, harusnya tidak perlu banyak berdebat soal-soal yang ideal. Janji hanya akan menjadi janji. Akibatnya, warga akan semakin benci kepada politik, semakin skeptis terhadap kelompok berkuasa.
Jika disederhanakan penjelasan mengenai situasi ekonomi Sumatera Barat, maka dapat disimpulkan masalahnya bukan hanya pada ukuran ekonomi yang sangat kecil, tetapi juga produktivitas ekonomi yang rendah.
Ukuran ekonomi Sumatera Barat hanya sekitar sepertujuh hingga seperlima dari daerah-daerah di Pulau Jawa. Bahkan, Kita tertinggal jauh dari Riau, Kepulauan Riau, dan Sumatera Utara. Mereka mengambil pekerjaan orang Sumatera Barat. Tawaran menarik dari daerah-daerah tersebut membuat Sumatera Barat jadi tidak terlalu dilirik. Invesasi bukan infaq atau sumbangan, jadi harus ada keunggulan yang ditonjolkan, agar orang datang.
Sebagai perbandingan, PDRB Sumatera Barat di tahun 2019 adalah sekitar Rp. 246 Triliun Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB). PDRB Perkapita kita di angka 44.97 juta rupiah atau sekitar 3.7 juta rupiah per orang per bulan. Sementara, Jambi berada di angka 61.05 juta per tahun atau sekitar 5 juta rupiah per bulan. Sedih hati kita bicarakan Riau yang mencapai 111 juta rupiah, apalagi Kepulauan Riau, yang PDRB perkapitanya menyentuh 119 juta rupiah, jadi mudah sekali menemukan orang memiliki pendapatan lebih dari 10 juta rupiah setiap bulannya di sana.
Langkah untuk mengatasi akar persoalan adalah peningkatan investasi dalam sektor yang memiliki nilai tambah, yakni industri pengolahan. Di sini, peran negara harus hadir secara optimal.
Misalnya, meningkatkan potensi nelayan adalah mendorong investasi dalam pemindangan dan kamar es. Memberikan alat tangkap yang canggih, tidak akan serta merta menyelesaikan masalah. Percuma alat canggih bila harga tangkapannya tidak baik. Hilirasisi ini harus menjadi orientasi utama.
Tranformasi menuju ekonomi nilai tambah adalah kunci. Semua kandidat tampak begitu frustasi untuk berbicara peluang investasi. Ukuran ekonominya harus diperbesar dahulu, sebelum semuanya dibagikan untuk kesejahteraan warga. Kan ini sedang Covid-19, mana ada yang mau investasi? Ya, justru ini momentum, di saat semua tempat mengalami pelambatan.
Sektor pertanian dan pertambangan memang menjadi kontributor ekonomi mayoritas di Sumatera Barat, namun harga-harga dari komoditas sangat tergantung pada pasar dan alam. Kalau lagi bagus, kita baralek gadang. Kalau lagi jatuh, melarat lah kita semua.
Pemerintah tidak bisa intervensi harga pasaran dan situasi alam. Selain itu, pekerja dalam sektor ini sangat berpotensi kehilangan kesejahteraan. Belum lagi, sektor ekstratif kebanyakan tidak memberikan jaminan sosial dan kesehatan bagi pekerjanya.
Jadi, anggaran 10% sampai 12% untuk pertanian, sampai membentuk BUMD Pertanian jelas tidak menjawab persoalan Sumatera Barat. Sebanyak 844.064 pekerja yang bekerja di sektor pertanian pada 2019, sekitar 54 Triliun Rupiah ukuran ekonomis yang dimiliki sektor ini, dimana setiap orang rata-rata menghasilkan 64.73 juta rupiah per tahun atau 5 juta rupiah per bulannya.
Namun dalam sektor pertanian formal, pendapatan pekerjan mengalami penurunan sebesar seratus ribu rupiah dari tahun 2018 ke 2019, di saat yang sama sektor lainnya mengalami kenaikan. Sektor pertanian adalah kaki-kaki yang rapuh, sulit kita untuk berlari kencang.
Bandingkan dengan sektor industri pengolahan, hanya dengan 232.639 pekerja saja dapat menghasilkan 20 Triliun rupiah. Setiap orang menghasilkan 88.68 juta per tahun atau nyaris 7.4 juta rupiah setiap bulannya.
Bekerja di industri pengolahan membuat pekerja lebih produktif 50%, dibanding sektor pertanian. Kalau di pertanian kita bisa menghasilkan 3 juta rupiah, artinya di industri pengolahan bisa menghasilkan sekitar 4.5 juta rupiah.
Membentuk BUMD Pertanian ini konsep yang lebih aneh, BUMD yang sudah ada saja masih bermasalah. Belum lama ini, DPRD Sumbar heboh-heboh soal pengelolaan BUMD yang kacau balau. Alasannya Gubernur, itu adalah BUMD warisan. Ya, jabatan Bapak kan juga diwarisi dari Gubernur sebelumnya. Diselesaikan dong harusnya.
Apalagi, BUMD ini bergerak di sektor pertanian, yang mana BUMN saja sulit untuk optimal di sektor ini. Jelas sekali, konsep ini sangat mengada-ada.
BUMD digunakan untuk mengurangi tekanan fiskal, sampai saat ini sebagian besar BUMD di Sumbar masih memberatkan keuangan daerah. Strategi ini akan membuat uang negara semakin banyak yang bocor.
Sementara itu, 100.000 entrepreneur juga gagasan yang tampak bagus dari labuah. Bukannya nanti, setelah Omnibus Law Ciptaker dilaksanakam mengurus izin perseroan akan dipermudah? Jangan-jangan indikatornya adalah jumlah PT baru yang didaftarkan. Bisa-bisa ada 1 juta enterprenur baru di Sumatera Barat, punya PT, tapi tidak punya usaha. Tidak ada pitih masuak.
Coba kita lihat data, kenaikan penghasilan orang yang bekerja pada usaha sendiri hanya sekitar angka ribuan rupiah saja dari tahun 2018 ke tahun 2019. Dalam masa Covid-19, pasti ada penurunan. Masalah utamanya adalah meningkatkan pitih masuak dari orang yang sudah menjadi pengusaha.
Strategi utama harusnya mendampingi enterprenur menyerap sebanyak-banyaknya tenaga kerja. Caranya seperti apa? Mau tidak mau, mendorong investasi. Teknologi akan semakin tumbuh, transfer pengetahuan juga akan semakin masif. Tidak bisa mengandalkan kemitraan dan skema amal lainnya. Pengusaha bukan lah orang yang perlu dikasihani, pengusaha bukan pengemis.
Investasi butuh faktor penarik. Tidak hanya presentasi keliling-keliling ke luar negeri. Kita tau sejauh ini hasilnya tidak begitu signifikan. Minyak habis, samba dak lamak.
Kita masih punya kesempatan. UMP kita sebenarnya relatif lebih kecil, berada pada angka 2.45 juta rupiah, angka tersebut tidak jauh berbeda dengan Sumatera Utara yang berada di angka 2.49 juta rupiah. Sementara itu, Riau kembali menaikan UMP menjadi 2.8 juta di tahun 2020 ini.
Kue investasi yang bisa dinikmati oleh Riau seharusnya sedikit demi sedikit dapat direbut dengan menyiapkan berbagai instrumen kebijakan yang menarik, seperti tax holiday, reformasi perizinan, land clearing, dan berbagai cara lainnya. Saya yakin Bapak-bapak yang berpengalaman pasti lebih banyak tahu.
Jadi, urusan investasi ini tidak hanya soal lobby-lobby pemerintah pusat semata. Yang jauh lebih penting, menyiapkan penyelenggaraan daerah yang berkualitas. Gubernur bukan sales, apalagi calo proyek.
Jangan pula bapak-bapak latah bicara 4.0, bahkan 5.0. Kita masih merangkak, ada baiknya berangan-berangan untuk berjalan terlebih dahulu, setelah itu kita berlari bersama-sama.
Lepas dari berbagai halusinasi, ada yang harus diapresiasi, hampir semua kandidat sudah mampu menunjukan pikirannya. Kami berharap pemimpin yang terpilih mampu mendengar, jangan sampai berbagai kekeliruan yang sudah dipertontonkan malam tadi terus berlanjut.